Alice bangkit dari tidur, lagi-lagi ada selimut yang sudah melapisi tubuhnya. Alice menggerakkan lehernya ke kanan, ke kiri juga memutar. Ia memijat pelan bahu-bahunya yang kaku karena tertidur dalam posisi duduk dan hanya bersandar pada bangku kayu yang keras.
Nasi kepal di atas mejanya sudah hilang. Alice segera bangkit, melihat bak cuci piring juga sudah bersih dari piring-piring kotor.
Ada sebuah catatan tertempel di pintu kulkas. Kertas yang ditulis dengan buru-buru tanpa menunggu tinta pulpen mengering.
Tertulis nama lelaki itu, alasan kematiannya serta ucapan selamat tinggal di bagian bawahnya. Alice merasa aneh kenapa ada tulisan ‘Selamat Tinggal’ di sana?
Ada juga banyak kertas baru yang ditulis tentang resep-resep memasak yang tidak pernah Alice lihat. Perlahan-lahan ia menelusuri semua kertas. Masih belum memahami apa maksud dari isi semua kertas-kertas ini. Ada juga lembaran yang menuliskan tentang isi dapur yang kosong dan harus segera di isi.
Gadis itu membuka kulkas, mengambil air dingin di dalamnya untuk mendinginkan kepalanya yang saat ini sepertinya berasap karena terlalu banyak berpikir. Ia melihat ada sisa nasi kepal yang sudah terbungkus plastik rapat kedap udara di rak kedua dari pendingin.
Alice mengeluarkannya. Bertanya-tanya kapan ia sempat memasukkan nasi kepal ke dalam kulkas? Sampai ia teringat mungkin saja arwah lelaki itu yang melakukan semua ini. Menuliskan menu-menu baru di kertas kosong serta memasukkan nasi kepal ke pendingin.
Gadis itu bernapas lega, setidaknya ia tidak perlu memasak pagi ini.
Setelah memanaskan nasi kepal di dalam penanak nasi, ia menunggu sejenak sambil melihat-lihat resep yang ada di ponselnya. Lalu kembali melihat ke dalam penanak nasi yang asapnya mulai mengepul-ngepul.
--
Alice menghabiskan hari-harinya seperti biasa, belajar, bekerja lalu pulang masih melewati jalan yang sama. Tidak ada yang berubah, kecuali fakta bahwa ia tidak mendapati arwah lelaki itu menunggu di rumah loteng.
Gadis itu memanaskan air, memutuskan untuk memasak sup telur seperti buatan paman berkepala botak. Sembari menunggu, mungkin saja lelaki itu tiba-tiba muncul dari balik pintu.
Bahkan saat makan pun, tidak ada tanda-tanda bahwa arwah lelaki itu ada di sekitar sana. Lantas ia sengaja membuka jendela di dapur, lalu menatap keluar. Berharap arwah lelaki itu berdiri di bawah lampu jalan, atau mungkin sedang berlari-larian di jalan raya tanpa mengenakan sepatu.
Gadis itu memangku wajahnya dengan salah satu tangannya, rambu-rambutnya yang basah saat mandi mulai bergerak terkena angin sepoi malam. Dingin, membuat perasaanya tidak enak saja. Tapi entah kenapa, Alice tidak mau bergerak dari sana. ia masih berharap untuk beberapa saat. Tanpa tau, ternyata kemarin malam mungkin adalah hari terakhirnya melihat arwah lelaki itu di sana.
Bau hangit muncul dari pancinya, hari itu tepat hari minggu, ia tidak memiliki kegiatan apapun dipagi hari. Muncul ide di kepala Alice untuk mencoba memasak melalui resep baru yang tertulis di pintu kulkas.
Ia memilih menu yang menurutnya paling mudah, tumis daging teriyaki. Untungnya ia memiliki sedikit daging setelah membuat sukiyaki. Alice memotong daging berbentuk kotak-kotak, tapi yang terbentuk hanyalah bentuk tak beraturan.
Lalu ia harus menumisnya dengan bawang putih cincang dan saus teriyaki.
Awalnya tampak mudah, ia mulai mencincang bawang putih dan menumisnya dengan sedikit minyak. Kemudian ia menuangkan saus tiram, minyak yang panas malah terus meluap penuh emosi, meloncat-loncat keluar dari panci dan jatuh tepat di atas tangan Alice. Gadis itu merintih kepanasan dan terus meniup-niup tangannya.
Kali ini, ia mulai menjauhi dirinya dari panci, memegang ujung sutil dengan kedua jarinya. Langkah selanjutnya adalah memasukkan daging yang sudah dipotong.
Perlahan tapi tidak pasti, ia menaruh satu demi satu potongan daging. Saat minyak terus mendesis, Alice akan menarik lagi tangannya dari sutil. Lalu kembali memasukkan potongan demi potongan saat minyak mulai tenang.
Mengetahui bahwa melakukan hal ini berulang kali hanya akan menghabiskan waktu. Alice mengambil mangkuk paling besar, menaruh mangkuk itu di wajahnya. Dengan keberanian, ia melemparkan semua daging ayam dari piring ke dalam panci. Lalu berlari, melihat dari kejauhan sambil bersembunyi di balik dinding.
Suara desis-an minyak semakin beradu kencang, cipratan minyak keluar dari panci, jatuh kemana-mana.
Alice akhirnya kembali setelah mencium bau hangit yang mengerikan, menusuk hidungnya. Bau tidak enak, seperti bau arang pembakaran. Saat melihat ke dalam, bagian bawah dagingnya sudah menghitam padahal bagian atas daging masih kemerahan.
Ia tidak tau salah di mana. Mengikut dari resep yang dituliskan, Alice harus segera menaruh air ke dalam panci.
Dengan mangkuk yang ia gunakan untuk menutup wajahnya, ia menampung air dan memasukkan semuanya ke dalam panci.
Karenanya, uap panas membumbung tinggi, kali ini air meluap-luap penuh kemarahan. Air yang sebanyak itu sekejap saja membuat daging-daging di dalamnya tidak berdaya. Semua daging yang tersiram air malah mengapung.
Alice lagi-lagi mengecek resep dengan matanya yang terbelalak baru memahami kesalahannya. Air yang diletakkan hanya setengah gelas, tidak sampai setengah mangkuk! Dan ia malah dengan gembira menuangkan hampir satu mangkuk air ke dalam panci.
Sekarang, makanan ini harusnya disebut dengan sup daging ketimbang tumis ayam teriyaki.
Alice memegangi pelipisnya, memijatnya lembut. Ia terus menghela napas kesal.
Semalam, ia sudah mencoba menggoreng telur di penanak nasi, ia mengira menggorengnya di penanak nasi akan lebih mudah? Tapi ia malah harus menunggu minyak memanas sampai hampir setengah jam. Belum lagi, setelah menceburkan telur ke dalam minyak, telur itu bahkan tidak matang-matang. Ia sampai bolak balik membuka dan menutup tutup penanak nasi.
Setelah agak matang, bagian luarnya tidak garing, telurnya lebih mirip sup telur super berminyak. Dan akhirnya ia harus membuang semuanya ke dalam tong sampah.
Minyak yang lengket pada mangkuk penanak nasi pun jadi sulit dicuci, ia terus menggosok permukaan mangkuk penanak nasi dengan kawat besi untuk mencuci piring. Dan akhirnya menimbulkan luka gores pada penanak nasi.
Tidak ada yang berhasil sejauh ini, walaupun ia memasak resep-resep lama, rasanya malah menjadi hambar. Seolah ada yang salah dari caranya memasak, meninggalkan rasa yang berbeda dan kurang.
Ia mencoba membaca ulang semua resep-resepnya, melakukannya sama persis seperti yang diperintahkan. Tidak ada yang kurang, tidak ada yang salah. Tapi ia tetap tidak menemukan titik aneh yang merubah masakannya.
Lagi-lagi Alice menatap keluar jendela, ia menemukan tidak ada seorangpun yang ada di sebelahnya. Mengatakan padanya bahwa ini salah, dan ini benar. Tidak ada yang membimbingnya memasak lagi. Kamar loteng pun berubah lebih sunyi daripada biasanya. Benar-benar tidak ada harapan.
Ia memutuskan untuk membuat nasi kepal dengan air garam supaya menunda lapar diperutnya. Sementara waktu terus berjalan dan ia harus segera pergi ke kafe untuk bekerja.
--
David tetap sama dengan raut wajah muak akan hidup di dunia. Ia duduk di konter, sambil memandangi Alice yang terus berusaha membersihkan lantai bekas tumpahan kopi.
Setelah memanggang banyak kue dan tidak memiliki hal lain untuk dilakukan, David hanya akan duduk terbengong di sana menunggu pelanggan datang. Mereka sudah melewati jam-jam sibuk dan waktu mendekati pukul delapan malam.
Sebentar lagi, waktunya tutup dan pulang. Tapi pikiran Alice terus berjalan kemana-mana, entah apa yang ia pikirkan.
Apalagi perutnya yang keroncongan saat ini terus meraung-raung meminta agar ia memakan sesuatu. Tidak mungkin ia memasak lagi, lauk yang tersisa hanya tahu. Sedangkan resep untuk tahu yang ia tau hanya ada dua macam. Dan ia sudah muak dengan keduanya, ia butuh yang baru.
“Bawa pulang beberapa kue ini, masih tersisa cukup banyak.” ucap David yang masih bermalas-malasan di meja konter. Sekarang David mengeluarkan ponselnya dan mulai membaca pesan-pesan yang dikirimkan temannya dengan raut wajah tersenyum yang tidak pernah ia perlihatkan pada Alice.
Alice mungkin bisa membawa lebih banyak sisa roti dan memberikannya pada induk semang. Ia juga berharap malam ini, mungkin saja induk semang akan memberikannya beberapa makanan.
“Aku bisa membungkusnya sekarang?” Alice membalikkan badannya.
“Terserah.” David menaikkan pundaknya.
“Terima kasih,” Alice langsung meletakkan alat pelnya seusai menyelesaikan pekerjaannya.
Gadis itu melipat kotak-kotak besar, meletakkan beberapa kue manis serta roti asin ke dalamnya dan membaginya menjadi dua kotak. Setelah puas mengambil, ia menyisakan beberapanya. Biasanya David akan membawa pulang sisanya dan memberikannya pada teman satu kamarnya.
David mengangkat kepalanya, “Bagaimana kalau kita tutup lebih awal hari ini?”
Alice hanya mengangguk. Malam seolah akan berubah menjadi guyuran hujan karena angin-angin yang terus menggertak kaca-kaca kafe. Orang-orang juga berlarian pulang dengan cepat sebelum basah dihujani.
Seusai mengangkat kursi-kursi ke atas meja, mengelap meja konter serta memastika tidak ada kompor yang hidup, keduanya bergantian menutup lampu-lampu di dalam kafe. Yang terakhir, mengubah plat open menjadi close.
Alice berjalan dengan perlahan, langkah kakinya terasa lemah. Angin terus berhembus melewati tengkuk lehernya, mengibas-gibaskan rambutnya ke kanan dan ke kiri. Tapi, ia harus bergegas, tidak ada seorangpun di jalanan saat ini. Alice tentu saja tak ingin dirinya menjadi korban perampokkan pula.
Setelah melewati distrik pertokoan, ia harus melewati bagian minimarket.
Minimarket yang masih terang, belum ramai didatangi oleh para paman pekerja konstruksi.
Alice bertanya-tanya, apa yang ada dipikiran paman itu kalau mengetahui fakta bahwa teman mereka meninggal dengan kejadian tidak mengenakkan. Ia melangkah maju, memasuki minimarket dengan penuh tanda tanya.
Setelah berbelok ke rak kedua dari meja kasir, ia melihat-lihat berbagai macam mie instan. Terpampang jelas berbagai macam jenis mie instan, dari yang berkuah atau yang goreng. Alice hanya mengambil sembarangan dari rak atas tanpa peduli rasa apa yang ia pilih, toh saat sampai perut semua sama saja. Sama-sama membuatnya kenyang.
Ia meletakkan dua bungkus mie isntan di atas meja kasir, sembari memandangi keluar dari pintu kaca.
Para paman pekerja konstruksi sudah berada di sana, menunggu diantara meja-meja dengan tangan-tangan mereka yang kekar.
Tak diduga, Alice menghabiskan banyak waktu hanya untuk berkeliling satu minimarket menghabiskan waktunya. Ia harus segera pulang sebelum malam.
Bunyi lonceng pintu terdengar, para paman tiba-tiba berdiri mengira bahwa jam sudah menandai pukul sebelas, masih ada setengah jam lagi sebelum waktunya tiba.
Semuanya duduk kembali, bercakap-cakap dengan satu sama lain.
Saat melewati salah satu meja, Alice bisa mendengar suara paman yang lantang.
“Aku dengar dia ditemukan mengapung di sungai di ujung kota.”
“Benar-benar, tak kusangka ia sampai memilih untuk melompat ke sana.”
“Hampir dua minggu, baru ditemukan, kan? Bagiamana kondisi anak perempuannya?”
Paman yang berambut gondrong menggeleng. “Memburuk, harus dioperasi segera. Tapi sekarang, tulang punggung keluarganya saja sudah meninggal. Bahkan masih hidup pun, gajinya sebagai pekerja konstruksi tidak akan bisa membantu. Selama ini, ia tersiksa mencari uang, menghematnya sebanyak mungkin dan harus mendapati kondisi putrinya yang terus memburuk.”
Yang lainnya hanya menghela napas, enggan berucap apapun. Semua orang pasti tau betapa sulitnya kehidupan yang sudah dilewati paman selama ini.
Alice cepat-cepat meninggalkan tempat itu. Ia melangkah dengan langkah berat.
Perjalanannya terasa panjang malam itu, di sela pikirannya terus menggaung tentang ucapan terakhir paman. Apakah paman benar-benar merelakan kepergian putrinya? Apa putrinya tidak ingin terus hidup? Kehidupan sulit yang mereka jalani bahkan tidak membuat semuanya menjadi mudah.
Alice teringat ruangan ICU yang disebut-sebut arwah lelaki dan arwah paman saat gadis itu mengalami sakit perut ekstrim.
“Bukankah di malam hari, ICU sudah tutup? Tidak mungkin aku bisa pergi ke sana...” gumam Alice.
Tanpa disadari, rumah induk semang ada di depannya. Lampu teras dinyalakan seterang mungkin oleh induk semang. Setelah induk smeang tau bahwa Alice pulang larut malam, ia selalu menyalakan lampu di teras. Alice akan mematikan dan menyisakan satu lampu kalau ia pulang.
Melewati jalanan aspal yang dingin, dengan lampu jalanan yang terus berkedip mengingatkannya akan kejadian pada malam itu. Lagi-lagi, ia merasa bersalah pada keduanya. Walaupun Alice sudah berjanji tidak akan bertanggung jawab kalau-kalau penyebab kematian lelaki itu buruk, tetap saja ia ingin meminta maaf meskipun bukanlah kesalahannya.
Namun, sudah dua-tiga hari ini, lelaki itu tidak pernah menampakkan sesosoknya lagi.
Alice melihat induk semang masih terjaga di balik meja tamu. Ia mengenakan kacamata sampai ke ujung hidungnya, sedang mencoret-coret kertas di atas meja.
“Bibi, aku membawa pulang roti dan kue untukmu.”
Induk semang mengulas senyum lega. “Ah, terima kasih. Merepotkanmu selalu membawakan kue untukku.”
“Tidak masalah, induk semang kenapa masih belum pulang?”
“Menunggumu pulang, akhir-akhir ini perasaanku sepertinya tidak tenang kalau mengingat kau masih belum pulang larut malam. Untung saja malam ini tidak selarut itu, ya?”
Alice mengangguk.
“Baiklah, mari pulang.” Induk semang menutup bukunya, meletakkannya disudut meja lalu mematikan sakelar lampu.
Saat berjalan menjauh, rupanya induk semang melihat plastik minimarket yang Alice bawa.
“Kau, memakan nasi kepal dingin lagi?” tanya induk semang.
“Tidak, aku rindu dengan rasa mie instan. Jadi tadi mampir sebentar, dan membelinya.”
“Lain kali, minta bibi menyisihkan beberapa lauk untukmu. Jadi kau tidak perlu susah payah memasak lagi.” ucap induk semang sebelum ia masuk ke dalam ruangannya.
Alice hanya tersenyum dan lagi-lagi mengangguk.
Gadis itu terus memikirkan apakah ia perlu menambahkan nasi ke dalam kaldunya atau tidak. Masih ada sisa nasi dingin di dalam kulkas, ia hanya perlu memanaskannya dan ia akan kenyang semalaman.
“Ada apa?” Alice mencium bau makanan dari dalam. Buru-buru ia membuka kenop dengan kunci, berharap akan menemukan arwah lelaki itu sedang di sana, memasak untuknya.
“Apa yang kalian lakukan di sini?” Alice ternganga lebar.
Pemandangan yang tak biasanya, dua arwah suami-istri yang memakai piyama itu ada di sana. Benar-benar berada di dapur sambil memegang sutil serta panci denga kompor memnyala dengan baranya yang paling besar.
“Ah-“ arwah istri itu meletakkan sutilnya kembali ke dalam panci.
“Sayang! Kau hampir menghanguskan telurnya!” arwah si suami langsung mengambil alih panci dan menjatuhkan penanak nasi tepat ke dalam wastafel dan menjatuhkan hampir separuh beras ke dalamnya.
Kali ini giliran arwah istrinya yang berteriak tidak jelas. “Ah! Kau menjatuhkan beras yang sudah susah payah kau cuci...”
“Bagaimana ini, bagaimana ini?” Keduanya saling berbicara, dan berjalan ke sana kemari ke arah tidak jelas.
Alice menutup kembali pintunya, berjalan masuk ke arah dapur dan segera mengambil alih panci. Dengan tergesa-gesa, gadis itu mengecilkan api kompor.
“Beras ini masih bisa digunakan, kita tinggal memasukkannya kembali dan mencucinya ulang.” ucap Alice sambil berusaha menyerok beras yang jatuh dari wastafel ke dalam mangkuk.
“Begitu? Leganya aku.” Arwah suami itu menghela napas perlahan.
“Anu, maaf, anda bisa mengambil sutilnya kembali.” Alice memberikan sutilnya kembali pada arwah istri tersebut.
“Benar, benar, aduh telur tomatku...”
Alice berjalan mundur, “Jadi apa yang kalian lakukan di sini?”
“Sebenarnya beberapa hari ini kami terus berpikir, apa untungnya bagi kami untuk tetap berada di sini? Sangat mengerikan saat kami hanya bisa melihat orang yang kami cintai tanpa bisa berbicara, tanpa bisa membantunya. Karena itu, kami memutuskan untuk segera pergi dari dunia ini, mengharapkan kehidupan yang lebih baik setelah kami pulang ke alam baka.” Arwah istri itu bercerita sambil mengocok telur dan memasukkannya ke dalam panci.
“Kami tidak pernah memiliki penyesalan, kami juga tau siapa keluarga kami, begitu pula dengan kejadian sebelum meninggal masih teringat jelas pada ingatan. Dan hal-hal itu malah menyiksa kami. Beberapa kali kau pasti melihat kami berada di samping ibu-induk semang.” Kali ini, arwah suami itu buka suara. Ia memasukkan mangkuk penanak nasi ke dalamnya dan menekan tombol masak.
“Tapi, aku tidak ingin melihat arwah lain menghilang, seolah aku yang menyebabkan kematian kedua mereka...” Alice memandangi ke bawah, sembari mengaruk siku tangannya dengan canggung.
Arwah istri itu menekan-nekan sutilnya sampai menghancurkan tomat di dalam. “Tidak, kami tidak meninggal. Kami akan pergi ke alam baka, mungkin saja terlahir kembali? Atau mungkin saja kami sudah tidak memiliki penderitaan nantinya. Itu artinya, kau sudah membantu kami menyelesaikan masalah di alam manusia ini.” ucap arwah si istri.
Sedangkan arwah suami itu mengangguk-angguk meyakinkan ucapan istrinya kepada Alice.
Gadis itu tak pernah berpikir demikian, ia tak mengira alam baka adalah penantian terakhir untuk semua arwah.
“Kenapa kalian tidak bisa pergi ke alam baka?”
Kali ini arwah si istri sedang berkonsentrasi pada masakannya, ia menaburkan garam dan juga banyak gula ke dalamnya.
Arwah si suami yang mengambil alih percakapan mereka. “Kau tidak pernah melihat arwah yang meninggal karena sakit atau tua kan?”
Alice mengangguk.
“DI sini, kebanyakan mereka yang bergentayangan adalah korban kebakaran beberapa puluh tahun yang lalu. Kami mengetahui fakta bahwa arwah seperti kami, yang meninggal sebab kecelakaan, ada menghabisi nyawa sendiri tidak akan bisa kembali ke alam baka lagi.”
“Itu artinya...” mata Alice berbinar-binar, ia tidak percaya.
“Kami selamanya akan terus berada di dunia manusia, bergerak tanpa arah dan menerima semua penderitaan semasa hidup. Istilahnya, tidak ada jalan bagi kami untuk kembali lagi.” sorot mata keduanya berubah.
“Apakah dengan kembali ke alam baka benar-benar akan membantu kalian?” tanya Alice dengan gaya penuh selidik.
“Kau akan memutus penderitaan kami. Memberikan kami kesempatan kedua untuk merasakan hidup di alam lain, sambil terus menikmati sisa-sisa sebelum kami seharusnya dilahirkan kembali ke alam manusia. Karena itu, mohon bantuannya.”
Beriringan dengan itu, arwah si istri menyodorkan sepiring telur tomat, sedangkan arwah si suami membuka tutup penanak nasi.
Mereka menatanya dengan sedemikian rupa di atas meja, tidak terlihat indah juga.
Alice penasaran, ia ingat tidak pernah membeli tomat selama ini.
“Darimana datangnya tomat ini?” Alice mengerutkan alisnya heran.
Arwah si istri tertawa jahil, “Mengambilnya dari dalam kulkas milik ibu. Saat kami membuka kulkasmu, itu benar-benar kosong! Untung saja aku masih ingat resep telur tomat buatan ibu.”
“Wah... artinya masakan ini seenak masakan milik induk semang?” Alice jadi tidak sabar ingin memakannya. Mengingat keterampilan induk semang memasak selama ini memang top nomor satu!
Tapi, arwah si suami hanya tersenyum aneh, rasanya ia canggung sekali dan ada yang dia sembunyikan pastinya.
Saat bersiap untuk makan, pintu rumah Alice diketuk.
Tidak ada kenalannya yang akan datang di tengah malam begini. Karena merasa heran, Arwah si suami mengeluarkan hanya kepalanya dari pintu. Lalu memasukkannya kembali.
“Ibu ada di luar, membawa mangkuk yang harum sekali.” kata arwah si suami.
Alice buru-buru bangkit dari tempatnya duduk, membukakan pintu dan menemukan induk semang membawakan mangkuk berisi makanan dengan napas terputus-putus. Tentu saja, induk semang paling tidak