Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Ghost's Recipe
MENU
About Us  

 Alice mengecek kulkas sebelum pergi ke kampus, ia mencatati sisa bahan makanan dalam kulkas ke sebuah kertas, menempelkannya di pintu kulkas. Persediaan nasi matang sudah tidak ada, artinya ia harus memasak nasi malam ini, di dalam kulkas masih ada dua batang daun bawang, dua butir telur, potongan dada ayam, serta bawang-bawang-an yang sudah dikupas. Setidaknya makanan itu cukup, ia bisa memasak beberapa jenis resep lagi.

 Sedangkan bumbu dapurnya masih lumayan banyak, pengeluaran minggu ini bisa ditekan lebih rendah lagi. ia senang, setidaknya bisa membayar sedikit hutangnya kepada induk semang.

 Arwah lelaki itu menunggu di balik pintu, ia tidak pergi kemanapun pagi itu.

 Alice membereskan tasnya, memakai sepatu sebelum keluar dari pintu. Karena lelaki itu tepat berada di baliknya, saat Alice membuka pintu, bayangan lelaki itu langsung terlihat menembus pintu.

 “Eum, selamat pagi?” ujar lelaki itu sambil menggaruk belakang kepalanya bingung.

 “Oh, Ah, iya. Selamat pagi juga?” Alice langsung buru-buru melewati arwah lelaki itu. Ketika tidur, ia teringat tentang bagaimana tiba-tiba ia meraih lelaki itu, menariknya dekat dengannya lalu berbisik. Adegan yang tidak boleh dilakukan oleh dua orang lawan jenis- mungkin lebih tepatnya disebut seorang dan arwah gentayangan. Apapun itu, melakukannya di malam hari yang dingin, secara tiba-tiba. Memikirkannya saja bisa membuat Alice merinding menyesali perbuatannya.

 Belum lagi, mereka malah menjadi canggung sepanjang pagi.

 Alice berharap bisa bertemu paman, memberinya kabar baik yang terasa buruk ini. Sepanjang perjalanan, ia terus melewati gang-gang berputar, mencoba berkeliling sambil bersenandung. Walaupun matanya terus melirik ke kanan dan kiri.

 Ia lupa, arwah tidak bisa terus berkeliaran ke tempat di mana tidak sering ia lewati. Pada akhirnya ia menyerah dan melewati jalan yang biasanya ia lalui. Sudah hampir lima belas menit ia menghabiskan waktu sebelum akhirnya memilih untuk menggunakan bus ke kampus.

 Ia berpisah dengan arwah lelaki itu di halte bus. Meskipun bus terus melaju ke depan, Alice tetap melihat ke belakang, ke arah arwah lelaki itu berdiri. Tapi ia sudah menghilang dari sana.

 Terkadang gadis itu penasaran, kemana Arwah itu bisa pergi saat ia tak ada di dekatnya. Sekarang ini, ia seperti punya tujuan, pergi berkunjung ke rumah sakit.

 Apakah tidak mengerikan? Memandangi diri sendiri terbaring lemah. Namun, lelaki itu tetap harus berusaha berpikiran waras. Ternyata, setelah meninggal-pun, hidup tetap akan terasa sulit. Melalang buana entah kemana, sendirian, tidak punya tempat pulang, tidak bisa berbicara dengan orang yang masih hidup. Seolah dipaksa bungkam sambil melihat manusia yang masih bisa bernapas.

 Alice menyandarkan kepalanya ke jendela, waktu tempuh bus sampai ke kampusnya tidak-lah terlalu lama.

 Hari itu, matahari bersembunyi dari balik awan-awan gelap, menghilangkan keagungan warna oranye menyengatnya dari bumi. Alice jatuh ke dalam pikirannya sendiri, ia merasa heran, kenapa selama ini hanya bertemu dengan arwah gentayangan yang memiliki bekas luka? Kecelakaan, wajah dan tubuh penuh luka bakar, ataupun sebelah wajahnya benar-benar hancur ditutupi darah.

 Selama ini, ia tidak pernah melihat arwah gentayangan dengan tubuh yang biasa saja, kecuali paman dan lelaki itu. Timbul kecurigaan dalam hati Alice, ia semakin gencar ingin mencari tau penyebab kematian keduanya.

 Dari luar, kondisi sudah tidak memungkinkan, mungkin hujan yang jatuh kali ini lebih awet daripada sebelumnya. Mungkin saja.

---

 Arwah paman menunggu di sekitar persimpangan jalan menuju ke minimarket, ia berdiri di sana sambil memainkan kakinya, menendang-nendang batu kerikil.

 Saat melihat gadis itu melangkah mendekat, arwah paman justru senang tidak kepalang. Ia buru-buru berlari mendekati Alice, sejenak orang-orang di sekitarnya mengelus lengan mereka yang kedinginan terkena angin sepoi-sepoi.

 Jalanan menjadi lebih basah dan lembab, hari ini pun rembulan masih bersembunyi. Malam menjadi lebih gelap karena awan mendung semakin menebal. Alice harus segera pulang, ia tidak pernah menduga akan bertemu paman di persimpangan jalan.

 “Bagaimana?” arwah paman membungkukkan tubuhnya, sembari berusaha bernapas dengan teratur. Ia menaikkan kepalanya, merasa bersemangat, kedua pipinya memerah seperti manusia yang masih hidup saja.

 “Baiklah, paman boleh memasak untukku, tapi...” Alice menggigit bibirnya, menelan ludahnya sebelum melanjutkan ucapannya. “Tapi, aku tidak bisa bertanggung jawab kalau paman benar-benar menghilang. Maksudku, aku tidak pernah berusaha merayu paman agar memasak untukku, aku juga sudah menolaknya dari awal. Namun, paman terus berusaha membujukku, jadi aku merasa yakin inilah pilihan yang tepat untuk paman.”

 Arwah paman mengangguk senang, sejenak ia menghembuskan napas lega. Ia menatap langit-langit dengan penuh haru.

 “Terima kasih, apakah arwah lelaki itu juga akan ikut?”

 “Dia juga menyetujuinya.”

 “Bagus. Sekarang, masuklah ke minimarket, dan beli lah mayonnaise kemasan kecil.” Arwah paman meraih tangan Alice, mendorongnya masuk ke dalam sebelum jam 11 dimulai.

 “Kapan paman akan memasaknya?” Alice merasa tubuhnya terus di dorong, ia segera masuk melalui pintu dan mendapati dirinya berdiri di rak tempat mayonnaise disusun.

 “Malam ini juga, lebih cepat akan lebih baik.” Paman menunggu Alice meraih mayonnaise itu.

 Alice tidak menduga bahwa malam ini ia harus melepas kepergian paman. Ia belum siap untuk menghadapi ini. meskipun keputusannya sudah bulat, tentu saja, tidak mudah melihat para arwah gentayangan itu menghilang.

 “Kenapa terburu-buru, paman? Bukankah kau masih ingin hidup barangkali sehari?”

 Arwah paman menggeleng. “Tidak, aku sudah cukup menderita. Jadi, biarkan aku melakukannya dengan cepat tanpa meninggalkan penyesalan apapun.”

 “Paman akan memasak apa? Kenapa harus menggunakan mayonnaise?”

 “Seperti janjiku. Setelah kulihat, beberapa hari ini kau tidak pernah lagi membeli nasi kepal di minimarket, apakah kau tidak ingat janjiku dulu?”

 Masih segar di ingatan Alice, paman pernah berjanji akan membelikannya nasi kepal saat Alice sudah merindukan nasi kepal. Kalau begitu, paman bisa saja membelinya. Tapi sesuai peraturan, para arwah gentayangan hanya bisa menghilang kalau mereka memasak untuk Alice.

 Alice memandangi rak penuh nasi kepal yang akan segera expired sebentar lagi. Ia memutuskan untuk segera mengambil satu bungkus mayonnaise, meletakkannya di atas meja kasih dan segera membayarnya.

 Paman mengikutinya terus menerus sampai mereka akhirnya pulang ke rumah. Ia belum tau apakah arwah lelaki itu sudah ada di sana atau belum. Sayangnya arwah lelaki itu tidak menunggunya di minimarket, sudah dipastikan arwah itu tidak berada di rumah.

 “Paman, bagaimana kalau arwah lelaki itu tidak ada di sini? Maksudku, ia selalu menghilang akhir-akhir ini.”

 “Tidak apa-apa, ia pasti ada di sini. Menunggu kita.”

 “Bagaimana bisa paman begitu yakin?”

 Arwah paman melihat ke belakang saat mereka melangkah selangkah demi selangkah ke atas. Di belakang mereka, sesosok arwah lelaki juga ikut berjalan sedari tadi. Alice tidak pernah menyadari kalau lelaki itu sudah mengikuti mereka semenjak dari minimarket. Perhatiannya benar-benar hanya terarahkan pada paman.

 “Hari ini, kan?” tanya arwah lelaki itu dengan suara paraunya yang tidak biasa.

 Ada perubahan luar biasa dari wajah mereka berdua. Pada akhirnya ketiganya terus berjalan dalam diam. Hanya ada kantong plastik yang terus bergemerisik.

 Arwah paman mencuci nasi beberapa kali sebelum memasukkannya ke dalam penanak nasi, ia mengecek air lalu menyalakan penanak nasi.

 Alice bersandar di dekat penanak nasi, uap panas dari sana membuatnya tetap sadar. Saat ini, hampir jam sebelas malam, dan ia malah mulai memasak dengan seorang arwah gentayangan.

 Paman membiarkan penanak nasi melaksanakan tugasnya, ia membuka pintu kulkas, mengecek apa saja bahan baku yang bisa ia gunakan untuk memasak.

 “Apa aku bisa menggunakan apa saja dari dalam kulkas?” Paman mengulurkan kepalanya dari balik pintu kulkas.

 “Tentu, lagipula aku juga sudah bingung akan memasaknya dengan resep seperti apa.” Alice mengangkat jempolnya tanda boleh.

 “Kalau begitu, aku akan ambil daun bawang, bawang putih serta ayam.”

 Alice melihat ke ruang tamu sekaligus ruang tidurnya, arwah lelaki itu sedang bersedekap sambil bersandar di kursi. Ia menatap kosong ke arah Alice. Alice hanya membalas tersenyum kecil lalu kembali melihat gerakan paman yang luwes sekali.

 Sekarang, paman merebus ayam itu dengan air mendidih. Paman juga memotong-motong daun bawang menjadi kecil, lalu mencacah bawang putih sampai hancur.

 “Jadi, dimana bumbu masaknya?”

 Alice membuka sebuah rak kecil yang diletakkan di atas penanak nasi. Di dalamnya, bumbu-bumbu yang terbuka dari bungkusnya, bahkan ada yang masih tersegel dengan erat.

 Paman meraih garam, lalu kaldu bubuk dan juga sebungkus saus tiram yang belum Alice sentuh selama ini. Alice masih belum menemukan resep yang cocok dengan saus tiram. Tapi menurut arwah lelaki itu, saus tiram sejenis bumbu serba guna untuk menambah rasa semakin kaya. Gadis itu masih takut menggunakannya, barangkali hasilnya akan sama seperti lada tempo kemarin.

 Setelah ayam masak, paman meniriskannya di dalam sebuang mangkuk. Dengan lihai, paman memisahkan daging demi daging menggunakan dua garpu. Uap panas membumbung tinggi dari dalam ayam yang baru saja matang. Sisa air rebusan ayam paman buang ke wastafel.

 Paman memanaskan panci, menambahkan sedikit minyak makan ke dalamnya.

 Tiba-tiba suara sebuah tombol naik, tanda nasi sudah matang. Alice merasa benar-benar puas setelah membeli penanak nasi, sebuah inovasi termudah dalam membantunya memasak.

 Paman membuka penanak nasi, ia mengambil garpu, menusuk-nusuk nasi serta mengobrak-abriknya menjadi berantakkan, kemudian ia menutup kembali tutup penanak nasi.

 Tak butuh waktu lama, paman lagi-lagi menggerakkan jari jemarinya di atas panci. Ia memasukkan bawang putih yang sudah cincang, menumisnya sampai harum. Paman menambahkan daging ayam yang sudah disuwir serta daun bawang ke dalamnya. Lalu mengakhirinya dengan menambahkan sejumput garam, kaldu bubuk dan juga saus tiram serta menambahkan sedikit air.

 Ia menggosengnya sampai air menghilang, meresap ke dalam ayam. Ayam itu berubah menjadi sedikit kecoklatan karena saus tiram.

 Paman mematikan api kompor, kemudian menyendok sebanyak-banyaknya nasi yang muat ke dalam panci. Ia langsung membuka bungkus mayonnaise dan menuangkan separuhnya ke dalam panci pula. Ia mengaduk semua bahan menjadi satu sampai kelihatannya hancur dan tidak berbentuk.

 Selagi panas, paman mengambil nasi yang sudah tercampur, meletakkannya di atas telapak tangan.

 Alice meringis, mengingat nasi yang baru matang dari penanak nasi serta ayam yang baru saja selesai ditumis masih panas.

 Tapi paman biasa saja, tidak menampilkan raut wajah kepanasan. Malah, paman menguarkan senyumannya yang tidak pernah Alice lihat. Senyuman paling cerah dari paman.

 Paman membentuknya dengan kedua tangannya, membentuknya menjadi segitiga dengan kedua tangannya. Saus mayonnaise itu merekatkan antara nasi, daun bawang serta daging ayam yang sudah disuwir.

 Setelah menepuk-nepuknya beberapa kali, meratakannya dengan tiga jari, paman meletakkannya pada piring. Nasi kepal itu indah, tidak ada yang lebih indah daripada nasi kepal buatan tangan sendiri.

 “Nasi kepal yang enak adalah nasi yang dibentuk saat masih panas. Karena nasi itu masih lembek, mereka merekat dengan baik dan membentuknya lebih mudah.” kata paman menjelaskan.

 “Paman juga memasak nasi kepal seperti ini?”

 “Tidak, daging ayam terlalu mahal. Saat dulu masih berada di rumah, paman sering membuatnya dengan telur yang digoreng orak-arik. Anak paman benar-benar menyukai nasi kepal milik paman.”

 Alice meletakkan kedua tangannya di meja dapur, lalu menyandarkan kepalanya. “Pantas wajah paman tampak berseri-seri.”

 “Benarkah?” paman memalingkan wajahnya penuh semangat. “Sudah lama aku merindukan ini, memasak nasi kepal untuk seseorang. Saat paman mulai bekerja di konstruksi dan tinggal di kos yang sempit, paman hanya akan memasak nasi kepal polos dengan garam.”

 “Bagaimana rasanya?”

 “Kau, mau mencobanya?” tanya paman dengan hati-hati.

 Alice mengangguk.

 Kali ini, paman mengambil mangkuk lainnya dari rak. Ia melarutkan garam pada air. Setelah butiran garam menghilang dari dasar air, ia mulai menyendok nasi putih dari penanak nasi. Ia meletakkannya pada tangan kirinya, lalu mencelupkan tiga jarinya pada air garam. Dengan kedua tangan itu, ia mulai bergerak lagi.

 Alice tercengang melihat betapa piawainya paman menggulung nasi kepal dengan jari jemarinya yang kasar. Paman juga berulang kali memasukkan jari kanannya pada air garam.

 Nasi putih tanpa celah itu sudah berbentuk segitiga, kemudian meletakkannya beriringan dengan nasi kepal yang sudah ditambahkan suwiran ayam. Arwah paman menggulangnya beberapa kali sampai semua nasi habis.

 Alice mengambil sepiring nasi itu, meletakkannya pada meja makan kecil di depan arwah lelaki yang masih duduk meringkuk di ruang tamu.

 “Jadi, aku bisa menceritakannya kan?” arwah paman duduk bersila di depan meja makan Alice.

 Sedangkan Alice memilih untuk duduk di sebelah arwah lelaki itu.

 Alice menganggukkan kepalanya, lalu melirik ke arah arwah lelaki itu, meminta persetujuan lelaki itu pula. Arwah lelaki di sebelahnya hanya mengangguk sedikit.

 “Paman, menjatuhkan diri ke dalam air yang dingin pada pagi hari.” Arwah paman menaikkan kedua lututnya, memeluknya seolah masih bisa perasaan hari itu.

 Alice yang sedang memasukkan nasi kepal ke dalam mulutnya tiba-tiba terbatuk.

 Paman buru-buru memberikannya segelas air putih. Alice langsung menegak habis satu cangkir penuh air itu.

 Mata gadis itu penuh dengan sorot tidak percaya. Seorang paman yang selalu ceria meskipun harus menunggu sampai malam hari, seorang paman yang kuat dengan punggungnya yang selalu tegap malah memilih jalan hidup seperti itu.

 “Saat sudah berada di dalam air, Mula-mulanya biasa saja, aku menahan napas sambil terus berpikir bahwa ini adalah cara yang tepat untuk tiada. Sekejap kemudian, aku paham aku hanyalah manusia biasa. Aku benar-benar tidak merasa menyesal, aku hanya terlambat menyadari bahwa perbuatanku yang saat ini malah lebih menyiksa.” Paman membalikkan tubuhnya, melirik ke arah jendela. Awan mendung yang tadi mereka lihat berubah, sebuah bulan bulat sempurna kini terpampang di tengah-tengah seperti hari itu.

 Kini, arwah lelaki itu mendengarnya dengan baik. Tatapan matanya berubah lagi, ia menatap paman dengan tatapan sedih.

 Paman melanjutkan ceritanya. “Semakin lama aku rupanya butuh napas. Aku terus mengambil napas, tapi hanya air yang terus masuk, membuatku tersedak. Aku semakin tersiksa, tenggorokanku dipenuhi air. Dalam hidungku rasanya begitu perih, saat air menyentuh paru-paru. Kurasakan paru-paruku seolah mendidih, ia meluap membakar diriku sebagai artian dari amarahnya. Tapi, sudah terlambat, aku terlalu jauh. Betapa kerasnya pun aku berusaha untuk naik ke permukaan, tubuhku semakin terperosok ke dalam air semakin jauh.” Perlahan jari jemari paman mulai menghilang membentuk kepingan-kepingan.

 “Akhirnya aku menyerah. Seluruh tubuhku sudah tidak bisa membantuku lagi. semakin lama, cahaya kota semakin redup, dan selesailah sudah.”

 Mereka terdiam sejenak. Ada sesuatu melintas di kepala Alice.

 Alice buka suara. “Kenapa paman...”

 “Karena aku membunuh seseorang. Tepat di malam itu, aku mendapatkan telepon bahwa rumah sakit membutuhkan biaya besar untuk operasi anakku yang sedang kritis. Masalahnya, uang yang aku kumpulkan belum mencapainya. Butuh waktu beberapa puluh tahun sampai aku bisa menyimpannya sebanyak itu, anak perempuanku tak akan bisa terus menahannya. Mereka tidak bisa menunda operasinya.”

 “Paman membunuh anak paman?”

 “Tentu tidak, aku tidak tega melakukannya walaupun sudah pernah mencoba melepas alat pernapasannya. Aku tidak bisa melihat anak perempuanku menderita lebih lama lagi, aku harus mencari uang itu meskipun aku hanya bisa menjadi penjahat.”

 Arwah paman menatap arwah lelaki itu lekat-lekat. “Aku mengetahuinya. Seorang anak lelaki membawa uang di dalam tas ranselnya. Malam itu, untungnya gang di sini terlalu gelap jadi tak seorangpun yang akan memergoki-ku jikalau aku melakukan kejahatan. Aku memukulnya di kepala, kukira ia akan pingsan, tapi anak muda itu menahan kakiku. Aku tidak punya pilihan lain selain memukul bertubi-tubi kepalanya. Saat itu jugalah, ada seseorang yang berteriak. Karena merasa aku sudah ketahuan, aku langsung meraih tas ransel itu dan meninggalkan tempatnya. Di sana,” Paman menunjuk keluar jendela.

 Sekarang ia ingat, kejadian di depan rumah Induk semang beberapa minggu lalu. Itu bukanlah kebetulan, dan orang yang melakukannya adalah paman. Alice percaya tidak percaya dengan kenyataan yang saat ini ia dengar.

 “Jadi, kenapa paman takut bertemu dengan arwah lelaki ini?”

 “Karena dialah anak muda itu. Anak muda yang kupukul kepalanya berkali-kali. Saat pertama kali menemukannya di minimarket, itu mengejutkanku. Tapi ia hanya menatapku seolah tidak mengenalku, aku merasa aneh sekali. Hanya saja, aku terus-terusan kabur karena tidak ingin faktanya terkuak.” Paman meringis menyesal.

 Alice memelototi arwah lelaki itu. Sedangkan lelaki itu hanya menutup mulutnya sambil menelan ludah. Rahang arwah lelaki itu mengeras, kini sorot matanya penuh dengan emosi yang tidak bisa ia lontarkan.

 Paman hanya terkekeh bersalah, ia menggaruk belakang kepalanya dengan canggung. “Aku menyesalinya. Setelah mengambil ransel itu, aku kembali ke kamar dengan rasa bersalah. Tidak bisa tidur, dan terus dihantui bagaimana kalau uang yang aku ambil ini malah menjadi sebuah boomerang untuk anakku? Bagaimana keadaan lelaki yang kupukul kepalanya itu?”

 “Benar, seharusnya kau memikirkan bagaimana kondisiku saat itu...” Arwah lelaki itu mendesis geram, ia mengepalkan tangannya.

 Paman menundukkan kepalanya, tak berani menatap keduanya. “Ketika aku kembali ke tempat kejadian, yang tersisa hanya darah yang berceceran. Aku kira, aku sudah membunuh seseorang. Akhirnya aku memutuskan untuk mengembalikan tas itu di kantor polisi, berpura-pura bahwa aku menemukannya. Lalu berlari ke sungai di ujung kota, dan menceburkan diri ke dalamnya.”

 Alice diam-diam menatap arwah lelaki itu, kini ia menggigiti bibirnya dengan keras. Gadis itu tak tau apa yang harus ia lakukan saat ini, kenyataan bahwa lelaki ini masih koma dan mungkin saja masih bisa bangun kembali.

 Gadis itu menggengam tangan arwah lelaki itu, meremasnya dalam-dalam.

 “Hah...” paman melemaskan otot-ototnya, meregangkan punggungnya yang kaku ke belakang. Ia menatap ke atap dengan senyum yang terulas tipis. “Setidaknya aku sudah bisa merasa lega, meskipun hidupku terbilang singkat, dan aku masih memiliki tanggung jawab. Tapi, akhirnya aku bisa melepaskan semua beban di pundakku. Sudah berapa lama ya? Aku tidak pernah merasa se lega ini.”

 “Lalu, setelah mengaku, kau akan melarikan diri? Dasar pengecut!” sontak arwah lelaki itu melepaskan genggaman Alice lalu bangkit dari posisi duduknya.

 Arwah lelaki itu mencengkram leher paman, matanya penuh dengan bara amarah.

 Arwah paman hanya menggeleng, kini ia yang meremas kepalan tangan lelaki di balik kerahnya itu dengan tangan yang sudah menghilang separuhnya. “Aku tidak melarikan diri. Ini salahku, membiarkanmu melewati hari yang mengerikan itu. Aku benar-benar bersalah akan kejadian itu, aku juga selalu merenungkan bagaimana cara yang tepat untuk mengakuinya. Tapi kini, ragaku sudah tidak ada, hanya tersisa jiwa yang hampir hilang.” Perlahan-lahan tubuh paman semakin tembus pandang.

 “Tidak adil! Seharusnya kau tetap hidup, menjalani kehidupan yang menyakitkan dan menderita. Bukan malah memilih tiada dan pergi meninggalkan semua seperti ini. Bagaimana dengan putrimu? 

 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
How to Love
1384      587     3     
Romance
Namanya Rasya Anggita. Sosok cewek berisik yang selalu penasaran dengan yang namanya jatuh cinta. Suatu hari, dia bertemu cowok aneh yang mengintip pasangan baru di sekolahnya. Tanpa pikir panjang, dia menuduh cowok itu juga sama dengannya. Sama-sama belum pernah jatuh cinta, dan mungkin kalau keduanya bekerja sama. Mereka akan mengalami yang namanya jatuh cinta untuk pertama kalinya. Tapi ter...
Cinta yang Berteduh di Balik Senja
1199      765     2     
Fantasy
Di balik kabut emas Lembah Fengliu tempat senja selalu datang lebih pelan dari tempat lain dua orang duduk bersisian, seolah dunia lupa bahwa mereka berasal dari dua keluarga yang saling membenci sejak tujuh generasi silam. Aurelia Virelle, putri dari Klan Angin Selatan, dikenal lembut dan berkelas. Kecuali saat dia lapar. Di saat-saat seperti itu, semua aura anggun luntur jadi suara perut ker...
Monologue
573      385     1     
Romance
Anka dibuat kesal, hingga nyaris menyesal. Editor genre misteri-thriller dengan pengalaman lebih dari tiga tahun itu, tiba-tiba dipaksa menyunting genre yang paling ia hindari: romance remaja. Bukan hanya genre yang menjijikkan baginya, tapi juga kabar hilangnya editor sebelumnya. Tanpa alasan. Tanpa jejak. Lalu datanglah naskah dari genre menjijikkan itu, dengan nama penulis yang bahkan...
Havana
874      441     2     
Romance
Christine Reine hidup bersama Ayah kandung dan Ibu tirinya di New York. Hari-hari yang dilalui gadis itu sangat sulit. Dia merasa hidupnya tidak berguna. Sampai suatu ketika ia menyelinap kamar kakaknya dan menemukan foto kota Havana. Chris ingin tinggal di sana. New York dan Indonesia mengecewakan dirinya.
Simbiosis Mutualisme
310      204     2     
Romance
Jika boleh diibaratkan, Billie bukanlah kobaran api yang tengah menyala-nyala, melainkan sebuah ruang hampa yang tersembunyi di sekitar perapian. Billie adalah si pemberi racun tanpa penawar, perusak makna dan pembangkang rasa.
My Selenophile
653      444     2     
Short Story
*Selenophile (n) : A person who love the moon Bagi Lasmi, menikmati keheningan bersama Mahesa adalah sebuah harapan agar bisa terus seperti itu selamanya. Namun bagi Mahesa, kehadiran Lasmi hanyalah beban untuk ia tak ingin pergi. \"Aku lebih dari kata merindukanmu.\"
Chapter Dua – Puluh
3707      1522     3     
Romance
Ini bukan aku! Seorang "aku" tidak pernah tunduk pada emosi. Lagipula, apa - apaan sensasi berdebar dan perut bergejolak ini. Semuanya sangat mengganggu dan sangat tidak masuk akal. Sungguh, semua ini hanya karena mata yang selalu bertemu? Lagipula, ada apa dengan otakku? Hei, aku! Tidak ada satupun kata terlontar. Hanya saling bertukar tatap dan bagaimana bisa kalian berdua mengerti harus ap...
Last October
1889      751     2     
Romance
Kalau ada satu yang bisa mengobati rasa sakit hatiku, aku ingin kamu jadi satu-satunya. Aku akan menunggumu. Meski harus 1000 tahun sekali pun. -Akhira Meisa, 2010. :: Terbit setiap Senin ::
RISA (Adik Abang Tersayang)
969      558     5     
Short Story
Abang hidup dalam bayang Risa.
Kembali Utuh
788      472     1     
Romance
“Sa, dari dulu sampai sekarang setiap aku sedih, kamu pasti selalu ada buatku dan setiap aku bahagia, aku selalu cari kamu. Begitu juga dengan sebaliknya. Apa kamu mau, jadi temanku untuk melewati suka dan duka selanjutnya?” ..... Irsalina terkejut saat salah satu teman lama yang baru ia temui kembali setelah bertahun-tahun menghilang, tiba-tiba menyatakan perasaan dan mengajaknya membi...