Setelah melewati area pertokoan, Alice mengambil jalan ke arah kanan. Tinggal berjalan beberapa blok lagi, ia akan menemukan tempatnya tinggal. Jalan diantaranya amat berbeda dengan area pertokoan yang selalu ramai. Lorong yang lebih kecil biasanya jarang disertai lampu penerangan saat malam hari. Jalanan hanya tersorot penerangan dari lampu rumah-rumah warga sekitar. Jika sudah jam 12 malam, kebanyakan lampu akan mati dan menyisakan kegelapan.
Alice selalu membawa serta senter kecil yang bisa ia gunakan. Kakinya terus melangkah tanpa takut. Awalnya memang menakutkan untuk pulang malam, apalagi ia diharuskan pulang saat malam hari. Tapi, setelah tinggal selama satu tahun, rasa takut itu lenyap berganti dengan kelelahan yang ia rasakan.
Lorong yang gelap dan dingin malah membuatnya mengantuk.
Bahkan malam belum mencapai jam 12 malam, tapi banyak rumah yang sudah mematikan lampu mereka.
Alice bisa terdengar samar-samar suara ribut di dekat sana. Ia hanya perlu berbelok untuk mencapai tempatnya tinggal. Setelah satu rumah lagi, suara itu semakin dekat. Seperti suara pukulan serta rintihan.
“Sialan, mati kau!” seru seseorang.
Napas Alice memburu, ia segera menempelkan tubuhnya pada dinding lorong. Kemudian melirik sedikit apa yang terjadi di sana.
Karena gelap, Alice tidak bisa melihat apa yang orang itu pukul. Tapi suaranya terdengar berat, ia yakin itu adalah seorang lelaki. Alice mengambil senter dari kantung tasnya, kemudian mengenggam sebuah ponsel di tangan yang satunya.
Ia mengeluarkan ponselnya, meredupkan cahaya yang terpantul. Hal pertama yang ia lakukan bukanlah menelepon polisi, namun memasuki aplikasi musik.
Ia menekan tombol senternya, kemudian menyorot orang itu. Lelaki itu Nampak agak tua, wajahnya tidak terlalu jelas karena masker serta topi yang ia kenakan. Di bawahnya adalah seseorang yang sudah menggulung tubuhnya erat-erat. Tangannya yang sudah terluka terus memegangi kepalanya, tapi tidak berguna, darah terus mengucur deras dari kepalanya yang sudah terluka parah. Alice tidak bisa memastikan apakah lelaki itu sudah meninggal atau tidak.
Setelah merasa cukup mendapatkan informasi, Alice memperkeras speaker ponselnya dan memutar suara sirine mobil polisi yang sudah ia persiapkan.
Ia tidak pernah menduga hal seperti ini bisa terjadi di depan rumah susun yang ia tinggali. Lampu di rumah susun sudah hampir dimatikan. Sepertinya induk semang sengaja meredupkannya karena mendengar suara aneh dari luar.
“Sial!” gumam lelaki itu. Ia segera meraih tas ransel yang ada di dekat tubuh lelaki itu lalu berlari pergi.
Alice bernapas lega. Tiba-tiba ia teringat untuk menelepon polisi serta ambulance. Ia langsung berlari melewati orang yang sedang meringkukkan tubuhnya itu. Lalu menggedor kuat pintu sambil terus meneriakkan induk semang.
Setelah induk semang memastikan orang yang menggedor pintu adalah Alice. Mereka bergegas menghidupkan lampu pada teras rumah susun. Karena luas rumah susun yang cukup lebar, lampu teras bisa menerangi tubuh orang itu.
Alice kembali, ia mencoba menyentuh orang itu perlahan. Tidak ada jawaban.
Sementara induk semang yang terus mondar-mandir di sana. Alice segera menaikkan kepala orang itu perlahan. Ia mengenakan kaos berlengan pendek dengan celana jeans yang agak mahal. Wajahnya tidak terlihat jelas karena darah mengalir deras dari dahinya dan hampir menyelimuti seluruh wajahnya.
“Bibi, kita membutuhkan kain panjang.”
“Kain? Tunggu sebentar! Kain lap-“ Induk semang berlari masuk ke dalam.
Alice merubah posisi kepala orang itu. Ia meyakini orang yang dipukuli ini adalah seorang lelaki karena potongan rambutnya yang pendek serta cara berpakaiannya. Alice meletakkan dua jarinya di leher lelaki itu, mencoba mencari suara denyut nadi.
“Ada!” Alice berteriak senang. “Bangun, kau bisa mendengarkanku?” Alice berusaha menggoyang-goyangkan tubuh lelaki itu.
Lelaki itu tetap diam. Ia tidak menggerakkan tubuhnya sedikitpun.
Induk semang muncul dari dalam, ia mengambil kain lap baru. Alice langsung meraihnya, kemudian mengangkat kepala lelaki itu perlahan. Ia menarik kedua ujung kain itu, lalu mengikatkannya dengan erat. Tidak ada bantuan lain yang bisa ia lakukan, seketika itu juga kain berubah menjadi merah. Darah terus menetes tak berhenti.
Sirine mobil ambulance memekikkan telinganya. Sudah dekat, sudah hampir menghampiri mereka. Ia berharap waktu berhenti agar ambulance lebih cepat tiba. Setidaknya, ia ingin lelaki ini selamat. Kalau tidak, orang-orang akan melarikan diri dari rumah susun milik induk semang karena ketakutan dengan kejadian ini.
----
Setelah mengeringkan rambutnya, Alice lagi-lagi menatap keluar melalui jendela dari dapurnya. Jendela itu berada tepat di tempat lelaki itu tadinya tergeletak. Di bawah, induk semang masih berada di sana, berbicara dengan beberapa paman berseragam rapi yang baru datang setelah beberapa menit kejadian. Suara ambulan juga sudah menjauh dari rumah induk semang.
Keadaan rasanya semakin meriah dengan lampu yang ada di atas mobil polisi tetap dibiarkan menyala. Para tetangga yang biasanya jarang keluar malah mulai menampakkan diri mereka. Malam semakin larut, angin semakin berhembus dingin menerjang semua orang di bawah. Meskipun begitu, mereka masih tetap berada di sana seolah tengah berbicara tentang kejadian yang baru saja terjadi.
“Sangat parah, katanya mereka tidak tau lelaki itu akan bangun lagi atau tidak. Kejadiannya sudah berlangsung lama.” Lelaki berpakaian piyama itu buru-buru naik setelah mendapatkan informasi.
“Oh, tidak...” Nenek ikut melihat keluar bersama Alice.
Sekarang kakek yang balik bertanya. “Bagaimana mungkin tidak ada yang keluar mendengar apa yang terjadi?”
“Dasar kakek tua, kau pasti lupa. Hari ini pembukaan olimpiade. Tentu saja semua orang menontonnya di rumah masing-masing. Belum lagi skor hari ini sangat sengit, hampir saja kalah tapi servis terakhir akhirnya membuatnya seri-“ Paman berkepala botak terus berceloteh. Ia menonton televisi di ruangan milik induk semang satu jam yang lalu.
Benar, tidak mungkin ada orang yang keluar rumah saat larut malam, semua orang pastinya terus berada di rumah. Belum lagi daerah induk semang tidak terlalu ramai, serta penerangan jalan yang tidak terlalu banyak. Intinya lorong tempat tinggal Alice saat ini benar-benar cocok dijadikan tempat perampokkan.
“Kalau ia tidak selamat, apakah lelaki itu juga akan bergentayangan?” Alice bergumam kecil.
Nenek yang ada di sampingnya sudah pasti mendengar pertanyaan itu.
“Arwah gentayangan... sayang sekali kalau ia harus terus berada di tempatnya meninggal tanpa ingat bagaimana caranya meninggal.”
“Kalau begitu, nenek dan semua yang ada di ruangan ini tidak ada yang tau alasan kalian meninggal?”
Nenek hanya menaikkan bahunya, kemudian berjalan perlahan pergi dari sana.
“Biasanya kenangan tentang bagaimana cara kami meninggal tidak akan pernah teringat dengan jelas. Kami hanya bisa melakukan hal yang biasa kami lakukan. Misalnya aku dan nenek yang bisa pergi ke pasar karena itulah kebiasaan kami saat masih hidup. Atau suamiku yang bisa pergi ke perkantoran tempatnya bekerja, atau gadis berambut pendek itu yang bisa pergi ke sekolah asalnya, adapula paman berkepala botak yang bisa pergi ke area konstruksi separuh jadi yang sudah terbengkalai karena dahulu ia bekerja di sana.” Perempuan berpiyama itu ikut menjawab.
“Tidak bisa pergi ke tempat lain?”
Semuanya kompak menggeleng.
“Hanya berada di sini, sekitar sini dan juga tempat yang biasanya di datangi saat masih hidup.” Gadis berambut pendek itu ikut bicara.
“Lalu kalian ingat kehidupan kalian?” Alice menutup jendela dapur kemudian duduk di ruang tengah bersama arwah gentayangan yang lainnya.
“Terkadang kalau pergi ke pasar, akan teringat suara penjual, akan teringat orang-orang yang berlalu lalang secara sekelebat ingatan saja.” Nenek ikut menimpali.
Gadis berambut pendek itu mengangguk setuju. “Benar, terkadang ingat pelajaran yang sudah pernah dipelajari, gerak-gerik guru saat mengajar di depan bahkan suara anak-anak yang berlari di lorong sekolah. Semuanya terasa seperti kenangan yang dirindukan.”
Paman berkepala botak menyunggingkan senyum bangga. “Kalau aku masih bisa mengingat berapa jumlah batu-bata yang masuk, terkadang ingatan aku memarahi bawahanku yang tidak mampu bekerja. Hari-hari yang menyenangkan.”
“Menjadi arwah juga menyenangkan. Tidak perlu memikirkan beban duniawi, hanya harus hidup seperti biasanya. Tidak perlu mengikuti bagaimana arus hidup karena sudah tidak hidup. Tapi, ada hal yang tidak menyenangkan juga. Tidak bisa menikmati waktu bersama keluarga lebih lama, tidak bisa ikut serta dalam tumbuh kembang anak, tidak bisa menikmati masa remaja yang harusnya menyenangkan. Ternyata hidup dan mati tetap ada buruk dan baiknya. Iya, kan?” Pria berpakaian piyama itu menatap Alice lekat-lekat sambil tersenyum. Ada guratan halus dimatanya yang menandakan bahwa ia menjelang usia ke 30-nya sebelum meninggal.
Alice kembali berdiri, ia bergerak menuju kulkas dan mengambil nasi kepal yang sudah mengeras. Meskipun sudah larut, perutnya terus keroncongan. Nasi kepal itu ia dapat semalam, seharusnya nasi kepal itu masih bisa dimakan walaupun sudah melewati tanggal kadarluarsanya.
Ia membuka bungkus nasi kepal itu, dan langsung menggigitinya. Aroma mayonnaise memenuhi dinding mulutnya, meskipun nasi itu setengah membeku, tetap saja rasanya lebih enak daripada masakannya sendiri.
“Kalau begitu, kalian semua juga tidak tau alasan kalian meninggal?” tanya Alice dengan mulut penuh makanan.
Mereka memandangi satu-sama lain dengan ekspresi bingung.
“Dan juga, kalian bisa berada di rumah induk semang bersama-sama. Apa, kalian juga meninggal di tempat yang sama?”
Kali ini mereka semua tertunduk, ekspresi mereka tidak bisa dibaca. Raut wajah penasaran, curiga serta bingung terlihat jelas. Kadang sudut bibir mereka naik, lalu tiba-tiba turun. Satu-satunya persamaan mereka hanyalah bekas luka yang ada di tangan, wajah ataupun kaki mereka.
“Tidak ada yang tau, dan tidak bisa mencari tau.” jawab paman berkepala botak acuh tak acuh. Yang lainnya ikut mengangguk setuju.
“Bagaimana kalau sudah tau?”
“Mungkin, semua akan kembali ke alam baka.” ucap pria berpiyama yang tengah memijati istrinya itu.
“Benar-benar, artinya sudah selesai. Tidak ada beban lagi di dunia ini, kalau sudah begitu, lebih baik kembali ke alam baka.” Kakek mengangguk setuju.
Untuk kesekian kalinya, malam itu kembali sepi. Alice terus mengunyah makanannya perlahan. Berusaha agar suara mengecapnya tidak menganggu siapapun.