Aku baru mengetahui sebuah fakta yang mengejutkan. Ternyata kakak sepupuku ini melawan sekolahku dan aku disuruh untuk mendukungnya. Percayalah aku ingin memakan dia hidup-hidup setelah pertandingan ini selesai. Apalagi anak satu kelasku langsung menatapku dengan heran. Mana aku juga duduk di dekat pemain. Sudahlah aku memang seharusnya tidur saja.
Aku melihat kakak sepupuku yang menaikkan alisnya untuk menggodaku. Dia pasti merasa puas telah menjebak diriku sendiri hanya demi memakan ayam bakar. Tapi tidak masalah demi ayam bakar, demi ayam bakar. Aku mencoba meyakinkan diriku. Ya demi ayam bakar. Aku menaikkan banner dukungan untuk Kavi, banner ini dibuat oleh dirinya sendiri dan ukurannya tidak usah ditanya bannernya besar sekali. Laki-laki itu sangat narsis. Tuhan … kalau engkau mau mencabut dia sekarang, cabutlah!
Saat jeda permainan, Kavi datang ke arahku. “Gimana? Keren nggak aku?” tanyanya dengan sombong.
Pertandingan di babak pertama dimenangkan oleh sekolah Kavi. Aku mengacungkan jari jempolku ke arahnya. Dia lalu mengusak rambutku sehingga membuatnya acak-acakan.
“Awas yaa, Kav,” teriakku padanya.
Aku heran kenapa tidak ada laki-laki waras yang dekat denganku? Kenapa semua laki-laki yang kutemui seperti bencana dalam hidupku. Hari ini aku sudah ingin memutus nadi Kavi dan Elric. Dua laki-laki yang tidak ada benarnya.
***
Pertandingan itu berakhir dengan sekolah Kavi yang mendapatkan juaranya. Laki-laki itu terlihat bangga dan tersenyum sombong ke arahku. Sementara Elric dan teman-temannya mengawasiku. Mereka sepertinya memikirkan sesuatu tapi … entahlah aku tidak ingin menebak-nebak. Mau apa pun tebakan mereka pastinya akan sangat asal dan tidak sesuai fakta.
“PACARKUUU I LOVE YOU!” Kavi berteriak dari lapangan ke arahku. Aku terkejut bukan main. Semua mata langsung bersorak dengan heboh. Aku langsung menutupnya dengan banner.
“Kavi goblok,” gerutuku.
“Gimana? Keren kan kakak sepupumu ini?” Kavi menaik-turunkan alisnya. Aku meringis mendengarnya.
“Berisik Kavi. Bikin malu. Pakai jadi pacarmu, gilak aj,” kataku protes. “Aku nggak nyaman banget. Bagaimana bisa aku jadi pacarmu, apalagi mendukung lawan sekolahku?” Aku frustrasi dibuatnya.
“Loh, memang itu tujuanku untuk kamu datang. Lagian kamu juga nggak mau dukung sekolahmu kan? Makanya dukung aku aja kalau gitu.” Aku tidak bisa berkata-kata lagi mendengar jawaban dari Kavi. Laki-laki itu memang seharusnya dibumihanguskan saat ini juga.
“Mending kita langsung pulang dan beli ayam bakar.” Aku melemparkan banner nama Kavi itu ke arahnya. Setelah itu melemparkan botol air mineral. “Siapa tahu mau mandi air mineral biar keren kayak di film-film.” Aku meninggalkannya.
Kavi langsung menyusulku dan mengapit leherku dengan erat. “Bareng kalau mau keluar.”
“Bau, Kav. Bau banget keringetmu ini. Huweek.” Aku benci bau keringat laki-laki yang habis olahraga.
“Nggak sopan nggak pakai embel-embel kakak.”
Aku menendang kaki Kavi dan membuatnya menjauh dariku. “Masalahnya kamu nyebelin banget. Huwek.” Aku langsung berlari ke luar lapangan. Tidak peduli jika harus menjadi tontonan orang-orang.