Aku tidak ingin si Elric-Elric ini berpikir bahwa aku adalah orang yang rada-rada aneh. Aku kan ingin mengenal dia lebih dalam, tentunya tidak ingin image-ku jelek di matanya. Aku yang biasanya selalu mengebut pun kali ini memilih bergerak sesuai dengan motor mio bututku. Lagipula aku akan malu jika memaksa motor butut ini bergerak dengan cepat seperti biasa. Suaranya ituloh sangat tidak menyenangkan jika terdengar di telinga. Alhasil aku menaiki motor dengan santai.
Kurasa si Elric ini juga tidak cepat-cepat sampai ke sekolah. Dia santai dan tenang. Tidak sepertiku ini yang rasanya ingin berteriak atau bernyanyi karena gabut. Lagipula ini kenapa sekolah berasa jauh banget. Aku jadi jengah mengikuti Elric.
Untungnya setelah setengah jam di jalan sampai juga kami di sekolah. Elric memarkirkan motornya, di susul aku di sampingnya. Aku menoleh dan tersenyum dengan lebar. Dia sama sekali tidak menatapku. Sangat tidak sopan bukan?
“Eh eh tunggu. Tunggu, Kak.” Aku ingin mencopot helmku tapi susah. Alhasil aku berjalan di sampingnya dengan menggunakan helm. Biarlah aku pikir sendiri nanti bagaimana melepaskannya. Toh ada Kahla yang bisa membantu.
“Berisik!” ucapnya dengan ketus. Elric berjalan dengan cepat. Kakinya seperti galah, panjang, dan lebar-lebar jalannya. Aku tidak bisa mengimbanginya.
Aku tidak melihat lantai yang lebih tinggi di depan. Alhasil aku terjatuh dan helm yang ada di kepalaku terbentur dengan keras. Aku memegang kepalaku rasanya pening. Aku kira Elric akan meninggalkanku, tidak tahunya dia terlihat khawatir dan melihat rokku yang sobek karena terkena gesekan batu-batu kecil. Bagian lututku berdarah.
Kakiku terasa kebas. Tanpa sadar mataku berkaca-kaca dan air mata jatuh membasahi pipiku. Elric langsung melepas helmku. Dia kemudian memutar tubuhnya dan berjongkok. “Naik,” ucapnya masih dengan ketus. Tapi ada sedikit suara bergetar di sana.
Aku mencoba berdiri dan memegang pundaknya. Aku naik ke atas punggungnya. Dia dengan cepat bergerak ke UKS. Jujur saja semua orang menatapku dengan heran. Aku memilih untuk menyembunyikan wajahku di punggung Elric. Aku berpikir, apakah aku akan mendapatkan bogeman mentah dari penggemarnya seperti yang ada di film-film? Kalau iya nanti biar aku pikirkan ceritanya.
Dipikir-pikir lagi, ini justru seperti kisah cinta tokoh utama dan lelaki yang dia cintai. Mungkikah kisahku akan sama seperti tokoh itu? Aku tersenyum dengan senang.
Bukkk …
Elric meletakkanku di atas kasur dengan cukup keras. Paha dalamku mengenai dipan kayu, aku meringis kesakitan. “Makanya dengerin orang ngomong.”
Laki-laki itu lalu membuka laci yang ada di samping tempat tidur. Terdapat kasa, alkohol, dan obat merah di dalamnya. Elric mengambilnya dan membuka alkohol itu. Dia lalu mengusapkannya ke kasa dan meletakkan kasa itu di atas lukaku.
“AAAAAA, SAKITTT BANGETTTT!” Aku berteriak dengan keras saat cairan yang terasa dingin itu menyentuh lukaku. Elric memang tidak memiliki perasaan. Aku ingin menjambak rambutnya saja. “Nggak punya perasaan banget, Kak. Ini aku luka loh. Sumpah demi apa pun. Tolong lembut dikit jadi laki-laki.”
Aku mengigit bibir bawahku sebelah kanan. Rasanya aku ingin menangis kembali. Tanpa sadar pun air mata menetes kembali. Air mata itu terkena tangan Elric. Dia lalu mendongak ke arahku.
Elric benar-benar tampan. Tubuh lumayan berotot, hidung mancung, dan bibir tipis berwarna merah muda. Aku akhirnya bisa mengagumi dia dari dekat.
“Jelek banget kalau nangis,” ucapnya.
Sudahlah, aku berencana untuk memperbaiki citraku di depannya tapi ternyata citraku tidak bisa diperbaiki. Yang ada aku justru menimbun citra jelek di depannya. Memang hidup terkadang tidak sesuai dengan pikiran kita.