Sebelum masuk sekolah dan melihat banyaknya cerita-cerita cinta anak SMA bertebaran di televisi, aku rasa itu terlalu klise. Ternyata setelah merasakannya aku mengerti bahwa perasaan suka di masa remaja itu memang ada. Ada yang namanya anak populer dan digemari oleh banyak perempuan. Tapi ya tidak seheboh yang biasanya aku tonton. Paling mereka hanya melihat dengan takjub dan langsung berbicara satu sama lain.
Aku kira masa SMA-ku akan sama seperti masa SMP-ku yang suram dan tidak ada yang menarik. Ternyata aku menemukan dia, seseorang yang menarik pandanganku.
“—Ziena.” Aku terkejut dia mengetahui namaku. Aku membelalakkan mata dengan tidak percaya.
“Oo … oh ya, ambil aja, Kak.” Aku menjawab dengan gugup dan mempersilakan laki-laki itu. laki-laki itu pergi dan duduk di belakang kami. Aku menatap Kahla dengan alis yang kunaik-turunkan. Kahla tidak paham dengan maksudku.
“Apasih, Zie.” Kahla mencodongkan wajahnya. Aku lalu menegak es teh secepat kilat. “Mau ke mana? Kok cepet-cepet?”
Bel berbunyi, tepat saat itu aku mengingat rencanaku. Kali ini cukup sampai di sini cerita tentang Elric dan teman-temannya. Aku harus ke mall untuk membeli buku keluaran terbaru. Oh itu buku favoritku.
“Aku mau membeli buku baru. Kau tahu series Dewa Perang terakhir kali kan? Ayo temani aku.” Aku berteriak tanpa sadar dan langsung berdiri. Aku menarik Kahla dan meninggalkan kantin. Aku tidak peduli dengan pandangan orang lain yang penting aku sekarang harus mencari buku itu.
Sesampainya di mall aku langsung berlari untuk mendapatkan buku itu. Kahla menatapku dengan heran. Dia adalah orang yang tidak menyukai buku, jadi ini seperti hal yang memuakkan untuk dirinya.
“Kahla kau tahu, ini edisi terbatas, aku harus dapat quotes dan tanda tangannya penulis ini. Arrrghhh aku suka banget dengan buku ini.” Beberapa orang yang antre di depanku menoleh, mereka sepertinya terasa terganggu. Aku mencebikkan bibir dan menundukkan kepala untuk meminta maaf.
“Tuhkan jadi malu kamu. Iya iya ini buku kesukaan kamu tapi ini antreannya lama banget coba.” Aku menatap dengan lesu. Antre adalah hal yang menyebalkan untuk anak muda seperti diriku.
“Harusnya ini manusia punya sistem ambil langsung bayar agar nggak perlu ngantre. Coba kapan semua ini akan berubah?” ucapku sambil menatap cover buku dengan kesal.
“Yaudah sabar aja. Siapa tahu nemu hal yang bagus.” Aku menyetujui saran Kahla.
Mataku menyisir toko buku itu dan melihat ada gantungan kecil lucu berwarna merah berbulu dengan kacamata hitam kecil. “Kamu mau nggak kita kembaran itu?” kataku kepada Kahla.
“Ih mahal kalau beli di sini.” Kahla menolak dengan halus.
“Aku beliin. Ambil aja ambil.” Kahla menurut dia mengambilnya.
Antrean panjang itu akhirnya selesai setelah aku berdiri selama hampir tiga jam dan sekarang sudah masuk jam makan malam. Kami akhirnya memilih makan sushi di mall itu. Kahla terlihat benar-benar muak dengan antrean yang lama tadi.
“Lain kali aku nggak mau kalau harus datang ke sini.” Kahla mengucapkannya dengan emosi. Mulutnya langsung dia sumpal dengan sushi. Aku menelan ludah, tidak berani berbicara.
“Maaf ya, La. Enggak lagi deh, janji.” Aku mengacungkan jari telunjuk dan manisku untuk membentuk kata V sebagai pertanda damai. Aku tidak ingin membuat dia merasa kesal lagi. Memang ini salahku mengajaknya, tapi aku juga tidak menyangka akan membuatnya marah.
“Emm.” Kahla membuka ponsel dan melihat Instagram. Dia lalu memperlihatkan story Elric dan teman-temannya. “Kamu pasti belum tahu akun mereka kan, ini aku kasih tahu.”
Aku mengambil ponsel Kahla dan menatap akun Elric. Ada foto-foto dirinya dengan teman-temannya. Ada yang dengan wanita juga. Hatiku merasa sedikit aneh. Aku mengerutkan dahi.
“Fotomu sama adik ipar kayaknya bikin orang-orang pada salah paham, Ric.” Aku menoleh ke belakang. Aku terkejut bukan main, bisa-bisanya Elric dan teman-temannya itu datang ke mall, ke tempat sushi lagi. Salah lagi aku dan Kahla mencari tempat yang dekat dengan pintu masuk.
“Kepo banget orang-orang.”
Aku rasanya ingin menguliti wajahku sendiri.