Dia tinggi, manis, hidung mancung, bibir tipis, tinggi badannya sekitar seratus tujuh puluh delapan sentimeter, dan tubuhnya kurus. Seragam putih abu-abu melekat dengan pas di tubuhnya, keringat membasahi baju itu dan membentuk tubuhnya dengan jelas. Tanpa sadar aku tersenyum melihatnya. Dia terlihat menggoda.
“Itu siapa yang berhenti?” suara guru olahraga menggelegar di sore hari yang terik.
“Ayo lari, Zie.” Kahla menyeret tanganku untuk berlari kembali. Aku pun refleks menurutinya. Buyar sudah bayanganku tentang laki-laki yang berdiri di tengah lapangan itu.
“Kenapa sih olahraga kita ini harus ditaruh di sore hari? Panas banget, mana ada sehatnya di jam segini deh.” Aku menyeka keringatku sambil terus berlari. Sesekali aku melirik tubuh tegap yang menarik pandanganku tadi. Padahal banyak orang di barisan itu tapi hanya dia yang menarik untukku.
“Nggak tahu deh, emang yang bikin jadwal aneh banget. Baru juga masuk SMA udah berat aja.” Kahla berhenti, lari tiga kali putaran itu berakhir juga. Semua anak dikumpulkan di depan gedung serba guna.
“Hari ini olahraga sampai di sini. Kalian bisa istirahat. Kalau pulang tunggu bel berbunyi. Selamat sore.” Guru itu mengakhiri mata pelajaran olahraga dan beralih mengurusi organisasi itu.
Aku masih tertarik dengan pria yang berdiri tegap tadi. Matanya seolah tidak menginginkan siapa pun untuk menganggunya. Dia juga sepertinya tidak keberatan harus dipanggang di lapangan sekolah meskipun kulitnya sudah kecoklatan.
“Mereka itu organisasi apaan sih?” Aku bertanya kepada Kahla yang sejak awal terobsesi dengan organisasi populer di sekolah mereka.
“Paskibra, itu kakak kelas kita baru latihan baris berbaris. Mungkin buat upacara tujuh belasan nanti.”
“Oh gitu.” Aku menganggukkan kepala. “Kamu tahu cowok yang itu nggak?” jujurku pada Kahla. Kahla menatapku dengan cengo. Senyumnya berubah menjadi smirk, senyum yang tidak ingin aku lihat seumur hidupku lagi.
“Kamu suka sama dia?” teriak Kahla dengan semangat. Aku menutup bibirnya agar tidak berbicara lagi. Benar-benar pemilik mulut ember.
“Sssttt diam. Malu tahu. Kamu kan suka ngikutin anak-anak beken. Coba kasih tahu dia siapa.”
“Ekehmm … sambil jalan kalik yak e kantin. Aku lapar soalnya.” Kahla menyeretku untuk ke kantin. Aku sebenarnya masih ingin berlama-lama di sini tapi apa boleh buat, Kahla dan titahnya itu tidak bisa aku tolak daripada aku tidak tahu dia siapa.
Saat di kantin barulah Kahla menceritakan laki-laki itu. “Namanya Elric. Dia anak IPA 3. Ganteng—tentu saja, kaya—jelas, baik—heemm nggak juga, kaku orangnya, banyak fans—lumayan sih.”
Aku mengangguk-angguk mendengarkan penjelasan Kahla. Sepertinya Elric memang tipe banyak wanita. Aku paham karena memang tampangnya cukup menggoda. Aku menoleh ke belakang begitu orang-orang di kantin berubah ramai. Ternyata para anak paskibra sedang beristirahat. Aku baru menyadari bahwa mereka sangat populer. Ada empat orang laki-laki yang berjalan di kantin dan salah satunya adalah Elric tetapi sepertinya Elric bukanlah orang yang paling populer di sekolah itu.
“Mereka sepopuler itu?” tanyaku pada Kahla.
“Tentu saja. Tampan, beruang, anak paskibra, tentu banyak dong yang suka.”
“Ekhemm … permisi, aku ambil saos dan kecap ini ya,—” Aku mendongak. Mata kami bertemu. Dia ternyata lebih tampan saat dilihat dari dekat. “—Ziena,” lanjutnya.