Hari penting itu akhirnya tiba.
Menurut laporan Hanni yang bermalam di kantor, antrean penggemar yang hendak menukarkan tiket dan membeli merchandise sudah mengular sejak pagi.
“Di medsos banyak yang cari info terminal Haneul landing,” katanya saat menelepon Alya. “Untung anak-anak transport gercep cari pintu keluar alternatif. Telat sedikit, rombongan mereka bakal dikerumunin fangirl.”
“Syukurlah. By the way, Olive jadi nginep di apartemenmu?” Seperti tertimpa keberuntungan, Olive ditunjuk sebagai MC fanmeeting. Bukan hanya karena penggemar garis keras Park Haneul, penguasaan public speaking dan bahasa Korea-nya juga bagus.
“Eh iya, Olive nitip dibeliin nasi uduk sebelum aku ke tempat press con, cuma dia belum balas posisinya di mana sekarang.”
“Tadi dia kasih kabar bakal ke kantor dulu. Lo anter sini aja,” sahut Hanni.
Setelah berkemas, Alya menuruni tangga untuk bergabung sarapan bersama Alaric. Sementara dari kamar mandi, terdengar bunyi guyuran air, menandakan Mila yang tengah mandi. Alya sarapan dalam diam sampai gadis itu keluar dan masuk ke kamar tidur.
“Yoghurtku hilang lagi,” Alaric membuka pembicaraan. “Padahal aku cuma iseng simpan di kulkas, ternyata beneran diambil.”
“Face wash-ku juga isinya mendadak tinggal setengah.” Sudah seminggu berlalu sejak kasus pertama terjadi dan si pelaku belum menunjukkan tanda-tanda bakal menghentikan aksinya. "Kita perlu menjebak dia, tapi aku belum tahu kapan dia beraksi.”
“Kemungkinan besar waktu kita berdua lagi enggak di rumah. Seringnya sebelum aku pulang.” Alaric menyerok nasi goreng untuk porsi kedua.
“Posisi dia udah di rumah pada saat itu?”
Sang adik mengangguk. “Aku bisa aja pulang cepat buat jebak dia, cuma Mbak belakangan lagi hectic ngurus fanmeeting dan enggak bisa bantu.”
“Sori. Semoga minggu depan jadwalku udah lumayan lengang.” Saat Alya hendak berpamitan, Mila keluar kamar. Keduanya bersitatap sebelum gadis itu berlalu tanpa pamit.
“Kalau Papa lihat, abis dia diceramahi,” gerutu Alaric. “Mbak jadi pakai motorku?”
“Iya, kamu simpan kuncinya di mana?”
Setelah menerima kunci sepeda motor Alaric, Alya bertolak membeli nasi uduk dan melanjutkan perjalanan ke kantor. Ponselnya mendadak bergetar. Namun tanpa perlu melihat, perempuan itu yakin salah satu pesan atau panggilannya berasal dari Boris.
*
<Boris> Alya, temui saya dan Pak Harry selepas press con.
Press conference yang digelar sebelum makan siang berjalan lancar sesuai harapan Alya. Meski beberapa pertanyaan membuatnya mengernyitkan kening, dia lega tak ada yang mengganggu Park Haneul. Olive yang memegang live report juga cekatan mengunggah video-video singkat bersama terjemahan akurat.
“Han, aku harus ketemu Boris di parkiran.” Alya menerima tas yang dititipkannya pada Hanni. “Tolong handle kerjaanku sebentar, ya. Kayaknya aku bakal keluar lumayan lama sebelum meluncur ke venue.”
Alya bergegas menuju tempat parkir tempat Boris menunggunya. Pria itu lantas mengisyaratkannya masuk ke minivan warna hitam.
“Sesuai instruksi Pak Harry, tolong jangan bocorkan kegiatan ini pada siapa pun. Dia akan menjelaskannya sambil makan siang.”
Alya hanya mengangguk patuh dan bergeming di sepanjang perjalanan. Sesekali, dia mengecek riasan wajah dan rambut hitam panjangnya yang dikuncir. Setelan blus, blazer, dan celana bahan beige serta cokelatnya sengaja diselaraskan dengan palet warna acara hari ini.
Sebentar, ini jalan tol ke arah Bandara Soetta, kan? batinnya saat Boris menyingkap gorden yang menutupi jendela. Apa ada tamu lain yang harus mereka jemput? Alya hampir menanyakan hal tersebut kalau tak ingat peringatan Boris. Satu-satunya hal yang dapat dia lakukan adalah duduk dan menunggu perintah.
*
Ketika kecepatan minivan melambat, Alya mengecek barang-barang bawaannya sambil merapikan pakaian. Di sampingnya, Boris sedang menelepon seseorang. Tak ada informasi yang bisa Alya serap karena pria itu hanya menjawab dengan respons singkat.
“Kita sudah sampai,” katanya saat minivan berhenti. “Silakan ikuti saya.”
Mereka turun di parkiran yang mengarah ke Terminal 1. Alya kurang familier dengan area ini, sebab lebih sering berada di Terminal 3. Kala Boris mempercepat langkah, Alya berusaha mengimbanginya sampai memasuki sebuah area yang mengantarkan mereka pada lounge mewah.
Berbeda dari Terminal 3 yang sibuk, lounge ini lebih lengang. Interiornya mewah dengan lampu gantung dan set meja kursi berbahan premium. Pemakaian kayu pada furnitur hingga ornamen di sejumlah sudut kian menguatkan kesan elegan sekaligus hangat.
“Pak Harry meminta kita menunggu di sini.” Boris berhenti di depan meeting room. “Dia sedang menemani para tamu menyelesaikan urusan imigrasi.”
“Apa ada sesuatu yang perlu aku lakukan sebelum menyambut mereka?”
Boris terdiam sesaat. “Apa kamu fasih berbicara dalam bahasa Korea?”
Mendadak, benak Alya menjadi riuh. “Ya, meski enggak sebagus Olive.”
“Tidak apa-apa, asalkan ada yang bisa menerjemahkan untuk Pak Harry.”
Setelah itu, Boris mempersilakan Alya duduk sementara dia pergi menyusul Harry dan tamu-tamunya. Jemarinya bergerak gelisah. Siapa orang-orang yang akan mereka temui? Apa mereka adalah kerabat Park Haneul? Namun, kenapa mereka landing di Terminal 1 dan harus dijemput di lounge mewah?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut berputar bak korsel kuda dalam benak Alya. Pasti mereka bukan sosok-sosok sembarangan. Barangkali klien penting yang Harry ajak menyaksikan fanmeeting sebagai strategi yang akan meyakinkan mereka untuk berinvestasi.
Jika memang begitu adanya, Alya harus terlihat profesional.
Lamunan Alya buyar kala mendengar ketukan yang diikuti pintu terbuka. Boris muncul di ambang pintu; memberikan anggukan sebagai tanda tamu mereka sebentar lagi masuk. Serta-merta perempuan itu berdiri sembari menenangkan diri.
“Sebelum makan siang, mari kita berbincang sebentar di sini.”
Kala mendengar suara Harry, Alya menyingkir ke samping Boris. Sang direktur masuk bersama seorang pria. Kening Alya mengernyit. Sosok itu tak asing baginya. Namun belum sempat dia mengidentifikasi, empat orang pria yang tampak lebih muda menyusul bersama dua bodyguard yang siaga berjaga di pintu.
Seketika, Alya tak kesulitan menarik napas seolah-olah oksigen di dalam ruangan itu lesap. Di tengah kekacauan pikiran yang kian semrawut, perempuan itu beradu pandang dengan pria yang tampak menjulang di antara ketiga temannya.
Sosok itu sama-sama terkejut. Bibirnya terbuka, lalu bergerak mengucapkan sesuatu tanpa suara yang membuat jantungnya seketika berhenti.
“Alya?”
***