“Cieee, selamat, ya, yang udah diangkat jadi ASN!”
“PNS, Mbak. Statusku sekarang pegawai tetap pemerintah, bukan kontrak.”
“Dih, sombong banget, baru kelar sertijab juga.”
“Bacot mulu, mau aku traktir makan siang enggak?”
Di tengah kepadatan mal di bilangan Jakarta Selatan, Alya, bersama sang adik Alaric, menelusuri deretan tempat makan untuk santap siang hari ini. Sesuai janji, Alaric akan mentraktir apa saja begitu resmi dilantik jadi PNS. Tentu kesempatan tersebut tak disia-siakan Alya yang kebetulan belum gajian.
“Enak, nih, kayaknya.” Alya memandangi buku menu di depan sebuah restoran Jepang. “Mentai donburi atau udon, ya..."
Alih-alih memberi masukan, Alaric malah menyeret sang kakak masuk ke restoran. “Hari ini kita bukan kaum mendang-mending,” katanya. Kemudian saat seorang pramusaji menghampiri, pemuda itu menanyakan meja untuk dua orang.
Setelah memesan, Alaric memperlihatkan map berisi surah terima jabatan bersama dokumen-dokumen lain yang mengukuhkan statusnya sebagai PNS. Sambil menyimak adiknya berceloteh, Alya mengamati isinya. Nama Alaric Kahyana yang tercantum di bagian tengah surat serta-merta menerbitkan senyum di wajahnya.
“… aku masih harus ngurus dokumen lain, tapi enggak terlalu ribet,” Alaric sedang menjelaskan berkas-berkas tambahan yang perlu diserahkan. “Nanti begitu terima rincian gaji pokok sama tunjangan, bakal aku kasih lihat, deh. Biar Mbak bisa hitung berapa uang yang perlu aku sisihkan buat bantu-bantu bayar, uh, jatah Om Nandar.”
Topik itu lagi. Rumah yang mereka tempati sekarang sebagian haknya merupakan milik Nandar, adik sang mendiang ayah. Mereka diizinkan tinggal asalkan pria itu yang memegang surat-surat kepemilikan.
“Maaf, ya, gaji di tahun-tahun pertamamu harus disisihkan supaya kepemilikan rumah beralih ke tangan kita.” Alya menyerahkan map milik adiknya saat minuman mereka datang. “Semoga kita bisa bayar hak Om Nandar lima tahun ke depan tanpa masalah.”
“Amin, amin,” sahut sang adik sambil mengusapkan wajah. “Makan dulu, yuk. Lapar banget abis panas-panasan di lapangan.”
Keduanya menikmati santap siang sambil sesekali bertukar cerita tentang pekerjaan. Ketika menyadari meja yang ditempati muat untuk empat orang, Alya menyadari sesuatu yang hampir tenggelam dalam ingatannya.
Ini adalah kali pertama mereka melakukan selebrasi tanpa kehadiran orangtua.
Satu tahun selepas kepergian sang ayah. Empat tahun setelah ibu mereka meninggal akibat kecelakaan tragis. Alya tak pernah menduga bakal secepat ini mengambilalih posisi sebagai ‘kepala keluarga’. Menanggung tugas yang tak jarang membebaninya.
Namun, selama bersama Alaric, Alya berusaha memperlihatkan sisi terkuatnya demi mendapatkan kehidupan layak yang mereka dambakan.
*
Saat Alya hendak bertolak ke kantor, Alaric memaksa memberi tumpangan. Sesampainya di tujuan, Alih-alih pergi, Alaric malah bertanya,
“Mbak, fanmeeting artis drakor bulan ini jadi?”
Alya hampir menjatuhkan ID card dari genggamannya. “Jadi, makanya sekitar satu atau dua minggu ke depan aku bakal sibuk.”
“Tiketnya masih ada?”
Mata Alya memicing. Setahu perempuan itu, adiknya bukan penggemar drama Korea… atau tanpa sepengetahuannya dia sudah lama terjun ke fanbase tertentu?
“Buat pembelian online tinggal sisa VIP. Cuma orang-orang ticketing bilang bakal ada jatah on the spot.” Alya melayangkan tatapan curiga. “Kenapa, nih, mendadak kepo? Kamu mau fanboying atau pengin kasih hadiah ke gebetan?”
“Sebenernya bukan itu yang mau aku tanyakan…” Tumben sekali Alaric memutar-mutar topik onrolan. “Aku sempat kepoin artisnya waktu teman-teman ikut war tiket. Terus aku cek agensinya, ternyata si artis masih satu tempat sama—”
“Sampai sejauh itu kamu cari info,” selorohnya. Diam-diam, Alya tak menyangka Alaric masih mengingat sosok itu, pria yang pernah mengisi hari-harinya di bangku kuliah. Sosok yang mengisi relung hati sekaligus menghancurkan perasaannya. “Si artis drakor kerja di agensi khusus aktor sama aktris yang rekanan sama agensi musik utama.”
Alaric manggut-manggut paham, lalu mengedik. “Ya udah, selamat mencari pundi-pundi cuan! Telepon aku kalau butuh jemputan.”
Dari trotoar, Alya mengamati Alaric pergi menyusuri jalan hingga menghilang di belokan. Bukannya masuk ke gedung, perempuan itu malah melamun.
Proyek terkini yang ditangani event organizer-nya, Polished Wood Events, adalah debut mereka dalam penyelenggaraan fanmeeting artis Korea. Mereka nekat mengambilnya demi menstabilkan kondisi finansial perusahaan.
Jika acaranya sukses, Alya bakal menerima bonus besar buat menambah uang yang bakal dia setorkan pada Nandar. Di sisi lain, dia belum siap bila harus bersinggungan dengan hal-hal yang mengingatkan dirinya pada seorang pria dari masa lalu.
*
<Alaric> mbak lagi di mana?
<Alaric> cepet pulang.
Saat membacanya, Alya berhenti melangkah. Kali terakhir Alaric mengirimkan pesan seperti ini adalah saat dia menemukan ayah mereka, Kresna, pingsan di kamar mandi akibat serangan jantung. Sayangnya walau sempat ke rumah sakit, nyawanya tak tertolong.
<Alya> ada apa emangnya?
<Alaric> cepetan. susah dijelasin kalau sambil chatting.
Alya mengerem kakinya tepat di depan rumah berlantai dua. Ketika membuka pagar, tak ada kendaraan selain sepeda motor Alaric. Dia pun lega karena tak menemukan kertas atau bendera kuning.
Namun, begitu mendekati pintu utama yang terbuka, perasaannya jadi tak enak kala mendengar suara yang amat familier di telinganya.
“… berarti kalau kamu masuk golongan—ah, orangnya datang.” Nandar bangkit untuk menyambut Alya. “Om kira kamu bakal lembur di kantor.”
Belum pulih dari keterkejutannya, Alya menangkap sosok lain duduk di seberang adiknya. Seorang gadis muda berambut panjang yang sudah lama tak mampir ke rumah.
“Ini Mila, Om?” tanya Alya memastikan. “Bukannya dia—”
“Mila tinggal sama Om sejak awal tahun gara-gara berantem sama ibunya.” Entah kenapa Alya tak kaget mendengarnya. “Mumpung kalian berdua di sini, Om langsung saja bilang mau menitipkan Mila sampai, yah, masalah finansial di bengkel selesai.”
Alaric mengeluarkan ‘hah’ yang cukup keras, sementara Alya berupaya menjaga sikapnya. “Menitipkan—maksud Om, tinggal di sini?”
“Sebagian dari rumah ini adalah hak Mila dan adik-adiknya." Senjata itu akhirnya dikeluarkan. “Mila bisa tidur di kamar dekat dapur. Untuk biaya sehari-hari bakal Om transfer langsung ke dia. Kalian tinggal kasih tahu saja fasilitas-fasilitas yang bisa dipakai.”
Mila, yang sedari tadi menunduk, tampak menggerakkan tangannya. Antara gelisah dan canggung. Mengingat mereka hanya bertemu di acara keluarga saat Lebaran atau pemakaman, Alya bingung dan hanya bisa bergeming mengamatinya.
“Kenapa pada diam? Keberatan?” Terdengar nada tersinggung dari suara Nandar. “Ingat, sebelum Om mati, kalian belum berhak jadi pemilik rumah ini. Kecuali kalian bersedia membeli hak milik Om sesuai harga tanah yang berlak.”
“Bukan, kami cuma kaget, karena serbamendadak.” Alya menyikut Alaric yang berdeham kencang. “Mila bisa menempati kamar tamu. Nanti untuk akses masak, mandi, dan cuci baju biar Alya yang jelaskan.”
“Bagus, bagus. Kalau begitu, Om pulang dulu.” Kemudian, Nandar mendekati Mila. “Jaga diri baik-baik. Sekolah yang bener supaya bisa cepat dapat kerja.”
Mulut Mila terbuka sesaat, tapi dengan cepat dia menutupnya kala Nandar berbalik dan meninggalkan rumah. Sementara itu, Alya dan Alaric bergeming. Keduanya bertukar lirikan penuh arti lewat ekor mata.
“Mila.” Alya mengecek barang bawaan keponakannya. Ada koper besar dan ransel yang dia cangklong. “Mari, Mbak antarkan ke kamar. Kalau mau bersih-bersih, kamu bisa—”
Belum selesai Alya menjelaskan, Mila beranjak dari kursi dan melengos berjalan ke kamar yang dimaksud. Di belakang, Alaric menutup pintu dan menguncinya, lalu menepuk-nepuk punggung sang kakak.
“Feeling-ku enggak keruan, tapi,” pemuda itu mengembuskan napas panjang, “semoga kita bisa menghadapinya sama-sama, ya, Mbak.”
***