✦ Yang Hadir Saat Kau Pergi ✦
Karena hati yang kosong bukan berarti menunggu…
【Cindy – Kampus】
Sudah hampir dua semester sejak Christian pergi ke Berlin. Cindy tetap aktif: organisasi, skripsi, dan jadi mentor. Hidupnya terus berjalan… walau ada ruang yang tak bisa diisi siapa pun.
Sampai suatu hari, saat workshop penulisan kampus…
> “Hai, kamu Cindy, ya? Aku Reza. Katanya kamu mentor yang galak tapi puitis.”
Cindy menoleh dan mendapati sosok pria tinggi dengan gaya kasual, rambut sedikit acak, dan senyum yang gampang membuat ruangan terasa lebih hangat.
> “Aku galak? Siapa bilang?”
> “Anak bimbingan kamu, tapi mereka juga bilang kamu paling sabar kalau lagi bantuin nulis.”
Reza bukan Christian. Tapi dia hadir, nyata, dan penuh perhatian. Ia tak pernah membuat Cindy menunggu pesan berhari-hari. Ia menatap Cindy seperti dunia tak punya yang lebih penting. Mereka sering pulang bareng dari workshop. Reza selalu menunggu di depan kelas dengan dua gelas teh tarik favorit mereka.
Suatu sore, Cindy dan Reza duduk di bangku taman kampus.
> “Cin, kamu tahu nggak? Kamu punya caramu sendiri untuk buat orang pengin jadi versi terbaik dari dirinya.”
Cindy tersenyum kecil. “Kamu terlalu baik.”
> “Atau kamu terlalu ragu buat percaya diri sendiri.”
Cindy terdiam. Kalimat itu menampar lembut. Ia mulai bertanya dalam hati: apakah dirinya masih terus menunggu seseorang yang mungkin tak akan pulang?
---
✦ Antara Pulang atau Bertahan ✦
Karena kadang cinta tak cukup untuk membuat pulang…
【Christian – Berlin】
Salju musim gugur mulai mencair. Wisuda semakin dekat. Perusahaan keluarga menawarkan posisi penuh waktu. Jika diterima, Christian akan menetap lebih lama. Jika tidak, ia bisa pulang—tapi harus melepas peluang karier besar.
> “Kamu yakin gak akan nyesel?” tanya rekan kerjanya, Lena. “Pacar kamu di Indonesia, kan?”
Christian menatap layar laptop. Draft email untuk Cindy masih belum dikirim. Ia menghapus dan menulis ulang kalimat terakhir berulang kali.
> "Kalau kamu masih nunggu, aku akan pulang. Tapi kalau sudah ada yang gantiin aku, bilang, ya."
Tapi ia tidak pernah mengirimkannya.
Setiap malam, Christian berjalan kaki pulang melewati sungai Spree. Lampu kota memantul di air, mengingatkannya pada malam-malam mereka di Jakarta, ketika Cindy memboncengnya pakai motor bebek dan nyanyi semaunya di lampu merah.
> “Aku rindu dia...” bisiknya sendiri. Tapi apakah kerinduan bisa jadi alasan cukup untuk pulang?
---
✦ Surat yang Akhirnya Terkirim ✦
Karena tak semua takdir bisa dicegah, apalagi bila tertulis…
【Cindy – Rumah】
Saat membereskan laci, Mama menemukan tumpukan surat bertanda: "Untuk Christian. Jangan dikirim."
Salah satunya ia masukkan ke dalam paket oleh-oleh khas rumah—yang akan dikirim ke Berlin via Steven. Tanpa sadar, surat itu ikut terkirim.
【Christian – Berlin】
Beberapa minggu kemudian, Christian membuka paket dari Jakarta. Ia menemukan makanan favoritnya… dan sebuah surat bersampul kuning.
Ia mengenali tulisan tangan Cindy.
> “Dear Christian, Kalau surat ini sampai padamu, berarti semesta belum menyerah pada kita. Aku sedang mencoba bahagia. Tapi kalau suatu saat kamu pulang, aku akan ada di stasiun. Entah nunggu kamu, atau sekadar mengenang.”
Tangannya bergetar. Surat ini ditulis baru-baru ini.
> “Aku... masih ada.”
---
✦ Dunia Baru Bernama Keep House ✦
Lulus kuliah bukan akhir. Tapi pintu menuju pertanyaan-pertanyaan baru.
【Pagi Hari – Rumah Cindy】
Cindy menatap blazer birunya di cermin. Jantungnya berdebar—bukan karena cinta, tapi karena interview pertama dalam hidupnya.
> “Pi, kamu beneran melamar bareng di perusahaan properti? Kamu kan anak komunikasi…”
Popi muncul dari balik pintu kamar Cindy, sudah full makeup.
> “Keep House butuh tim kreatif dan PR. Dunia properti juga butuh branding. Aku jago ngomong, Cin.”
> “Ngomong, iya. Ngitung pondasi? Nggak.”
Popi ketawa. “Tenang. Selama nggak disuruh ukur septic tank, aman.”
---
【Lobby Keep House – Siang Hari】
Lobby kantor Keep House dipenuhi kaca, tanaman tropis, dan kesan mewah minimalis. Cindy dan Popi sama-sama menarik napas panjang sebelum masuk ruang interview.
Di dalam, ada tim HR dan satu pria dengan jas biru tua, wajah serius tapi karismatik: Rafael Tanuwidjaya.
> “Portofolio kalian saling melengkapi. Satu jago konten, satu jago presentasi.”
Popi menyikut Cindy: “Soulmate kerja!”
> “Kami siap ditempatkan di mana pun, Pak,” ucap Cindy.
> Rafael mengangguk. “Kita lihat nanti. Dunia kerja lebih rumit dari kampus. Tapi juga lebih seru.”
Saat Cindy pamit, Rafael menahan pandangannya sesaat lebih lama. Tak lama, ia tersenyum tipis.
---
【Kafe Setelah Interview】
Cindy dan Popi duduk dengan es kopi.
> “Cin, kalau diterima, kamu siap kerja bareng aku terus?”
“Siap. Tapi kamu siap nggak kalau aku yang lebih cepat promosi?”
> “Cih. Kita belum masuk aja udah lomba jabatan.”
Mereka tertawa.
Lalu ponsel Cindy bergetar.
[Pesan Masuk - Nomor Asing]
> "Are you happy now?"
Cindy menatap layar. Tak ada nama. Tapi hatinya mengenali.
Christian.