Rumah tua yang lebih kecil dari rumah-rumah sebelahnya itu terlihat masih berdiri kokoh. Terlihat cat tembok yang telah usang dan beberapa retak di dekat atapnya. Atap yang terbuat dari genting tanah liat masih tersusun dengan rapi, setidaknya rumah itu tidak memberikan bencana kebocoran.
Rumah itu tidak bagus, tapi nyaman untuk ditinggali. Rumah itu sudah seperti sebagian dirinya. Banyak momen berharga yang mulai digali oleh ingatannya. Memang rumah itu bukan rumah impiannya, lingkungan rumahnya juga tidak sesuai dengan karakternya, dan ada banyak alasan untuk meninggalkan rumah itu. Hanya saja sekarang Kina menyadari bahwa rumah itu berharga untuk dirinya.
“Kamu mau ngapain?” tanya Kina saat melihat adiknya keluar dari rumah dan menenteng ember.
“Mau nyiram tanaman obat kak. Kayak biasanya.” Rambut adiknya itu dicepol ke atas seperti biasanya.
“Aku bantuin.” Kina mengekor di belakang adiknya.
Adiknya itu terlihat cekatan dalam mengetahui letak selang air, teko penyiram tanaman, ember yang digunakan untuk menampung air, dan gayung.
“Ini buat, Kakak. Lebih besar tekonya. Kuat nggak, Kak? Kalau enggak biar aku aja.” Gyn hendak mengambil kembali teko besar tetapi ditahan oleh Kina.
“Bisa lah.” Kina lalu mengambil gayung dan memasukkan air ke dalam teko. “Ini kenapa nggak pakai selang aja sih nyiramnya?”
“Nanti airnya pada naik ke atas, Kak. Menggenang juga di permukaan tanah. Nggak baik nanti buat akarnya.” Gyn mengambil gayung setelah kakaknya mengisi teko. Dia tersenyum melihat perubahan kakaknya. Padahal kakaknya dari dulu sangat anti dalam membantu pekerjaan rumah.
“Aku yang sebelah sini, kamu sebelah situ ya.” Kina menunjuk bagian seberang. Kina menyiram satu baris tanaman. Terlihat cahaya kecil bersinar di tanaman tersebut. Dia tersenyum kecil dan terlihat bahagia. “Gyn lihat, mereka tahu kalau kita menyiramnya.”
Gyn tersenyum melihat kakaknya. Dia dengan cepat mendatangi kakaknya. Tanaman obat itu bercahaya sebentar dan redup setelahnya. Cahayanya kecil sehingga Gyn sebelumnya tidak menyadari kehadiran mereka.
“Wah, aku baru lihat juga, Kak.”
“Mungkin ini terjadi karena kita telah mengetahui keberadaan mereka. Sebelumnya mungkin memang ada tapi kita tidak tahu saja,” jelas Kina dengan ceria. Gyn mengangguk sambil tersenyum lebar. Dia senang kakaknya mulai berubah.
“Emmm … besok berangkat bareng boleh nggak, Kak?” Kina berjalan selangkah ke depan. Matanya fokus menatap jajaran tanaman obat dan menyiramkan air di atasnya. “Kalau nggak boleh, nggak apa—“
“Besok pake satu sepeda ada.” Kina menoleh kepada adiknya. “Bukankah kamu ingin berangkat bareng dari dulu?” Kina memiringkan kepalanya.
“Iya, Kak. Aku mau aku mau, hehe. Makasih, Kak.” Gyn loncat-loncat kecil di tempatnya.
Kina tersenyum lebar melihat ekspresi adiknya. Dia lalu kembali menyembunyikannya dengan menyiram tanaman selanjutnya. Ternyata berdamai dengan diri sendiri menyenangkan.
***
Kina kali ini berangkat pagi-pagi. Dia sudah bersiap untuk berangkat bersama adiknya. Kamarnya kali ini terasa lebih nyaman untuk ditinggali setelah kejadian kemarin-kemarin. Mungkin peri penjaga rumah itu sudah mengetahui keadaan dirinya kemarin.
“Tahu gitu aku baik-baikin kamu daridulu.” Kina mengucapkannya sambil menatap langit-langit kamarnya.
Suhu udara di ruangannya berubah menajdi lebih hangat. Rumah itu seakan menjawab pernyataannya. Kina tersenyum kecil. Akhir-akhir ini sepertinya dia sudah banyak tersenyum, dia sepertinya sudah melepaskan dendam yang ada.
“Udah siap?” tanya Kina ketika mereka sudah duduk di atas sepeda.
“Siap, Kak. Hayukkkk.”
“Berangkattt.” Gyn mengacungkan tangannya ke depan seorang seperti seorang superhero. Lalu tangannya dibuka lebar-lebar menikmati udara pagi.
“Itu si Yonel-yonel sekarang gimana sama kamu di sekolah?” tanya Kina penasaran. Sudah lama rasanya dia tidak mencari tahu keadaan adiknya.
“Masih gitu-gitu aja sih, Kak. Kadang masih ngusilin tapi udah lumayan mendingan daripada sebelumnya. Apalagi kalau lagi makan, mereka nggak mau deket-deket aku lagi. Haha.”
“Bagus deh. Setidaknya mereka nggak macem-macem.” Kina menghentikan kayuhannya karena menuruni bukit di dekat rumah mereka. “Kamu nanti pulangnya nunggu kakak nggak apa-apa?” tanya Kina yang baru menyadari perbedaan waktu pulang keduanya.
“Iya, nggak apa-apa. Sekalian nanti aku bisa baca-baca buku di perpustakaan. Aku lagi semangat mencari tahu peri tumbuhan, peri penjaga rumah …” Kina mendengarkan rencana panjang adiknya dalam diam.
Ternyata adiknya itu memang sangat cerewet. Dia biasanya mendengar adik, ayah, dan ibunya saling berbicara satu sama lain di rumah, tapi sekarang dia mendengar adiknya secara langsung. Ternyata adiknya sudah tumbuh menjadi sedewasa sekarang. Ada banyak waktu yang telah dia lewati kemarin.
Dia berharap bisa menembusnya mulai sekarang. Sejak dulu dia beranggapan bahwa kehadiran adiknya itu salah, tapi dia baru menyadari ternyata memiliki adik juga menyenangkan. Mendengar dia berbicara dan bercerita cukup menyenangkan. Hanya karena rasa irinya dia membenci adiknya.
“Kak … aku seneng banget kakak udah mulai nerima aku.” Gyn memeluk pinggang Kina dengan dalam. Dia berharap rasa sayangnya tersalurkan dengan baik.