Rumah itu sebenarnya dulu pernah indah pada masanya. Masa-masa ketika anak mereka masih kecil. Semuanya terlihat seperti keluarga cemara. Sebelum anak pertamanya mulai memahami perasaan manusia. Perlahan dengan pasti, rumah itu lama-lama berubah menjadi dingin. Tidak ada suasana hangat. Sejak umur tujuh tahun, Kina mulai menjauh dan memilih untuk menyendiri. Sepulang sekolah dia hanya menghabiskan waktunya di dalam rumah. Terkadang keluar ketika makan di meja makan. Saat itu juga Pinan merasa anak pertamanya mulai berbeda. Sudah tidak mau bercerita apa pun kepada mereka. Suara tawa dan cerita yang biasanya keluar dari mulut Kina perlahan berganti dengan suara-suara yang dikeluarkan oleh Gyn. Apalagi saat itu Gyn sangat aktif bercerita.
Pinan berpikir anaknya memang mulai lebih serius dalam belajar dan tidak ingin diganggu tapi ternyata semua itu justru awal dari segala petaka keluarganya. Lama-kelamaan Kina mulai tidak bisa diajak berbicara. Tutur katanya perlahan mulai berubah dari yang ceria menjadi ketus atau seperlunya saja. Mereka seperti sedang bermusuhan. Perlahan dan pasti, Kina mulai menjauh dari mereka. Keluarga itu tiba-tiba hanya memiliki tiga ikatan. Semakin lama Pinan semakin tidak tahu harus memperbaikinya dari mana.
Dia merasa bersalah karena tidak menjadi orang tua yang baik. Hanya saja dia juga tidak bisa berbicara langsung dengan anak pertamanya itu. Dia tidak bisa memahami pikirannya. Telah lama hal itu berlalu hingga Pinan mulai terbiasa dengan sikap Kina. Dia menjadi takut berbicara karena takut melukai anak pertamanya semakin dalam.
Ketika melihat sore ini anaknya pulang bersama sedikit membuat Pinan dan Arven bahagia. Apalagi ketika membuka pintu kamar Gyn, ternyata mereka tidur bersama. Pinan berjalan ke samping tidur Kina dan mengusap pipi putri sulungnya. Dia sepertinya baru menyadari bahwa anak yang dulu dia manja itu sekarang sudah tumbuh menjadi gadis remaja yang satu tahun lagi akan lulus dari SMA. Dia telah membuang banyak waktu untuk melihat perkembangan Kina.
“Maafkan ibu, Kina.” Pinan membenarkan selimut Kina yang sepertinya tersibak karena ulah Gyn yang memeluk Kina. Dia tahu, tidak hanya dirinya yang merindukan sosok Kina yang dulu, Gyn juga sama. Dia menginginkan kakak yang selalu bermain bersamanya.
***
Suara ayam berkokok dan siulan burung-burung di pagi hari masuk ke dalam gendang telinga. Kina sampai terbangun dengan alarm alami itu. Tidak biasanya dia akan terbangun bersamaan dengan ayam berkokok. Kina menarik tangannya tapi seseorang memeluknya terlalu erat. Dia baru mengingat di mana dia tidur.
Kina melepaskan tangan Gyn dengan kuat. Dia lalu berjalan ke kamarnya untuk mengecek kamar tidurnya. Apakah sudah terbakar secara keseluruhan? Ternyata ketika membuka pintu, udara panas langsung menerpa wajahnya. Rasa-rasanya dia bisa merasakan bagaimana suasana di gurun. Udara di dalam kamarnya benar-benar seperti musim panas dengan suhu ekstrem yang bisa mencapai empat puluh derajat.
“Bukankah semua ini aneh?” ucap Kina di depan pintu. Dia menatap rusuk-rusuk rumah yang tidak tertutup apa pun. Banyak sarang laba-laba yang bergelantungan di sana. Mereka memang jarang membersihkannya jika tidak ada peringatan hari-hari spesial.
Kina mencari-cari sesuatu yang aneh dari rumah itu. Dia mencari sesuatu yang sekiranya tidak masuk akal tapi tidak menemukan apa pun. Tidak ada tanda apa pun. Mungkinkah semua itu hanya imajinasinya?
Saking fokusnya, Kina sampai tidak menyadari bahwa ibunya sudah berdiri di depan pintu kamar Kina dan ikut merasakan udara panas yang berhembus dari kamar itu. “Kamu bingung kenapa kamarmu menjadi panas?” tanya Pinan dengan suara lirih sehingga membuat Kina terlonjak dari lamunannya.
“Ibu ngagetin aja.” Kina mengelus jantungnya yang hampir saja loncat dari tempatnya.
“Itu kamu habis nyari gara-gara apa sama rumah ini?” Pinan duduk di kursi tengah yang menjadi kursi tempat segala kegiatan keluarga dilakukan.
Mendengar perkataan ibu, Kina mulai berpikir keras. Seingatnya itu terjadi ketika dia pulang sekolah tadi. Dia baru mengingat ketika sebelum pulang sekolah dia menyuruh rumah itu untuk dijual. Kina membalik tubuhnya dan menatap atap di atas kamarnya. Mungkinkah karena hal itu?
“Apa rumah ini bisa marah?” Kina bertanya dengan penasaran. Dia menatap ibunya dengan serius sementara wanita itu tertawa kecil sambil memotong kol.
“Bisa,” jelas Pinan sampai membuat mulut Kina terbuka lebar. Apa ibunya sedang memberi tahunya sedikit tentang rahasia di rumah itu? Kina tentu akan memanfaatkan kesempatan ini dengan baik untuk mengorek rahasia rumah.
“Kenapa bisa begitu?” Gerakan tangan Pinan terhenti begitu menyadari ada yang salah dengan jawabannya tapi dia tetap tenang dan meletakkan sisa potongan kol dengan santai. Matanya menatap anaknya dengan lembut.
“Kenapa tidak bisa? Rumah yang kamu tinggali juga punya hati. Dia tempat kamu lahir, tumbuh, dan berkembang. Dia memahami perasaan penghuninya karena manusia adalah jantung dari rumah itu sendiri. Manusia yang menghidupkan rumah. Jika tidak ada manusia tentunya rumah tidak ada artinya,” jelas Pinan yang membuat Kina bersandar di kursi.
“Kayaknya aku nggak butuh jawaban itu.” Kina berdiri dari tempat duduknya dan berjalan ke kamarnya untuk mengambil handuk.
“Kalau begitu coba saja kamu minta maaf sama rumah ini. Siapa tahu berhasil.” Pinan berkata dengan misterius. Bukankah dia sedang memberikan sepenggal rahasia kepada Kina?
Kina menyiapkan dirinya untuk masuk ke dalam kamarnya. Udara terasa semakin panas. Dia yakin jika benar-benar rumah ini memiliki nyawa, maka sudah bisa dipastikan jika dia tidak segera melakukan sesuatu, barang-barangnya akan terbakar. Bahkan ajaibnya kecoak dan tikus yang berlalu lalang pun sudah terpanggang di dalam sana.
Kina menelan ludahnya melihat tikus yang sepertinya di saat sisa-sisa terakhirnya itu berakhir di tengah perjalanan. Keringat juga mulai membasahi dahinya. Udara benar-benar terlalu panas di dalam kamarnya. Dia lalu mencoba menelan perasaannya, dia mengucapkan kalimat yang bahkan dia tidak yakin akan berhasil atau tidak.
“Rumah, aku minta maaf karena ingin menjualmu. Padahal kamu selalu melindungi aku.” Kina menatap ke sekeliling kamarnya dan terakhir menatap langit-langit kamar. Dia menelan ludahnya. Tenggorokannya semakin terasa kering karena udara di dalam kamarnya juga semakin panas. “Aku tidak akan mengatakan hal yang menyakitkan perasaanmu lagi.”
Kina menutup penjelasannya dengan menunduk kepada rumahnya. Dia melakukan itu untuk memberikan sopan santun. Tidak ada yang terjadi selama beberapa detik. Dia mulai meragukan saran mamanya. Memang sangat tidak masuk akal. Akan tetapi, begitu dia menegakkan tubuhnya kembali, dia melihat udara panas yang mengisi kamarnya itu mulai berkumpul menjadi satu hingga membentuk puting beliung dan bergerak dengan cepat ke langit-langit atap dan menghilang begitu saja.
Kina tidak bisa menyembunyikan rasa takjubnya. Mulutnya terbuka dengan lebar. Matanya tidak berkedip sedikit pun agar kejadian itu bisa dia lihat dengan baik. Mulai sekarang Kina menemukan hal yang menarik dari rumahnya, dia akan mencari tahu lebih jauh lagi sebenarnya rahasia apa yang disembunyikan oleh seluruh keluarganya.