Gyn tidak henti-hentinya tersenyum selama perjalanan pulang. Dia bahagia hanya sekadar mengikuti di belakang kakaknya. Tak jarang kakaknya juga terlihat meliriknya. Dia yakin bahwa kakaknya memang sebenarnya baik kepadanya tapi kakaknya memiliki alasan untuk membencinya. Dia tidak akan menyalahkan kakaknya karena dia tahu bahwa kakaknya juga memiliki kesulitan sendiri.
Melihat kedua anaknya pulang bersama, Pinan dan Arven juga terkejut. Mereka baru saja pulang dari pasar dengan beberapa tanaman obat yang tersisa. Mereka duduk-duduk di meja yang berukuran besar di depan rumah. Meja kayu yang terbuat dari kayu jati itu memang diletakkan di sana sebagai tempat bersantai mereka jika ingin menghabiskan waktu bersama. Terkadang mereka memakainya untuk menyantap sate yang dibakar pada malam hari.
Meskipun keluarga mereka sederhana dan tidak memiliki banyak elektronik seperti rumah-rumah lainnya tetapi kehidupan mereka cukup. Mereka bisa menghasilkan uang dari berjualan tanaman obat. Harga obat dan tanaman yang mereka jual memang sedikit lebih mahal tetapi khasiatnya sudah terkenal luar biasa. Banyak juga yang ingin memesan atau bekerja sama dengan mereka tetapi ditolak karena tanaman obat itu bukan tanaman obat biasa.
Ketika mendengar cerita orang tuanya yang menolak kerja sama dari berbagai pihak itu, Kina sebenarnya marah besar karena kedua orang tuanya seperti menolak hidup lebih baik. Kina sudah bosan untuk hidup biasa-biasa saja. Dia memang mendapatkan sekolah yang baik tapi tidak semua kebutuhannya terpenuhi. Untuk itu dia semakin membenci kedua orang tuanya. Entah apa yang membuat mereka lebih suka hidup sengsara seperti sekarang.
Kina melirik sekilas kedua orang tuanya sementara Gyn menyalami mereka. “Kamu nggak mau salam dulu sama orang tua, Kina?” ucap Pinan sebelum anak sulungnya itu masuk ke dalam rumah.
“Emang perlu? Nggak perlu juga kan,” tutur Kina dengan kasar seperti biasanya.
Arven memegang tangan istrinya dengan lembut dan memberikan kode untuk tidak mengatakan apa pun lagi karena jika keduanya saling menyahut tidak aka nada habisnya.
Kina meninggalkan tiga kepala yang sedang bahagia itu. Dia memasuki rumah dan menatap sekelilingnya. Rumah dengan bangunan yang sudah tua dan beberapa perabotan yang sama tuanya. Terlihat betapa pelitnya penghuni rumah itu. Semua barang-barangnya seperti berasal dari Kerajaan Majapahit.
“Rumah jelek ini seharusnya sudah dijual dari dulu.” Kina menendang tempat sampah yang berada di samping pintu. Kemudian dia masuk ke dalam kamarnya.
Suhu yang awalnya dingin itu tiba-tiba berubah menjadi panas. Kina menyalakan kipas angin tapi tidak mempan sama sekali. Dia merasa udara di sekelilingnya justru semakin panas. Dia membuka jendela kamarnya. Udara dingin masuk, berarti udara di luar itu dingin tetapi mengapa kamarnya terasa panas. Bahkan udara yang berhembus masuk ke dalam kamarnya juga berubah panas.
Kina mengerutkan keningnya dan menatap ke atas. Tidak ada apa-apa tapi dia merasa rumah itu sedang mengutuk dirinya. Apakah ada yang mengurus rumah itu? Kina semakin yakin jika rumah itu memiliki rahasia yang luar biasa. Dia lalu keluar dan membuka kamar adiknya.
Meskipun keluarga mereka sederhana tetapi mereka tidak pernah kekurangan buku bacaan di rumah. Apalagi adiknya itu sangat suka membaca buku dan gadis kecil berkepang dua itu sedang membaca di meja belajarnya.
“Kamarmu tidak terasa panas.”
Kina masuk ke dalam kamar dan mendudukkan dirinya. Dia menatap ke sekeliling kamar. Keadaannya sama saja. Tidak ada yang berbeda. Hanya susunan kamar Gyn yang berbeda. Jika Kina lebih suka meletakkan meja belajarnya di sudut, Gyn berbeda. Tata letak meja belajarnya berada di depan jendela dengan buku-buku di atas kepala dan di dinding samping tempat tidurnya.
“Memangnya kamar kakak terasa panas?” Gyn mengerutkan keningnya melihat kakaknya yang keheranan.
Kina menoleh ke adiknya dan menatap gadis itu dengan penuh selidik. Dia harus mendapatkan jawabannya hari ini tentang rumah mereka. “Sebenarnya rumah ini ada rahasia apa?” tanya Kina dengan penasaran.
Gyn menelan ludahnya dengan susah payah. Sebenarnya dia juga tidak tahu tentang rumah itu. Kedua orang tuanya tidak pernah menceritakan apa pun kepadanya. Dia kan hanya berpura-pura agar kakaknya mau membantunya untuk menghentikan perundung di sekolahnya.
“Emmm … aku nggak bisa menceritakannya kalau ayah dan ibu tidak ingin memberitahu juga,” jawab Gyn dengan asal. Dia menundukkan kepalanya agar kakaknya tidak melihat wajah ketakutannya.
“Kan kamu udah janji sama aku buat ngasih tahu. Jadi masih mau nggak dibantu?” kesal Kina. Dia sudah dibuat kesal dengan fakta dikecualikan dari informasi keluarga, sekarang ditambah dengan adiknya yang tidak kooperatif. Bisa-bisa Kina membakar rumah itu.
“Ya nanti aku kasih tahu kalau kakak udah berhasil bikin teman-teman yang jahat itu nggak ganggu aku lagi.” Gyn perlahan meluruskan pandangan ke arah saudara perempuannya. Terakhir dia memberikan senyum kaku untuk membuat kakaknya bersimpati.
“Hah, oke. Sekarang kita pergi ke gudang belakang dulu.” Kina bangkit dari duduknya. Dia mengambil senter yang ada di meja belajar adiknya dan melenggang pergi.
Sebagai orang yang penakut tentu malam-malam ke gudang belakang sangat mengerikan. Apalagi Gyn tidak pernah ke sana. Dia tidak pernah masuk ke ruang obat karena memang tidak diperbolehkan oleh kedua orang tuanya. Mereka hanya takut jika bau-bau tanaman obat akan merusak indera penciuman Gyn. Untuk itu tidak ada yang pernah ke gudang belakang. Kina yang tidak pernah tertarik dengan rumahnya juga tidak pernah berpikiran untuk melihat gudang itu. Semua ini untuk menjawab rasa penasarannya di dalam mimpi.
“Kenapa kakak tiba-tiba ingin melihat gudang?” Gyn menempel kepada kakaknya karena takut. Dia tidak suka keluar malam-malam karena sepi dan hawanya juga dingin. “Kak ini hawanya dingin tauk, masa kamar kakak panas?”
Kina menghentikan langkahnya. Adiknya itu banyak bertanya. “Bisa tidak kamu diam saja. Nanti ayah dan ibu tahu kalau kita lagi ngelihat gudang,” bisik Kina memperingatkan adiknya.
Sesampainya di depan gudang, Kina menelan ludahnya. Gudang yang terbuat dari kayu yang sudah lama dan telah berubah warna menjadi kehitaman itu terlihat cukup mencekam. Apalagi lampu di dalamnya terlihat mati hidup seperti sedang dalam keadaan ingin menyerah.
Kina akhirnya menarik pintu itu. Bau tanaman obat yang kuat saling bercampur menjadi satu. Apalagi tanaman yang sudah kering sehingga menghasilkan bau yang lebih kuat daripada saat masih basah. Kina menutup hidungnya dan Gyn juga mengarahkan tangan adiknya untuk menutup hidung.
Mereka berdua masuk dan menatap sekeliling gudang di dalamnya. Ternyata mimpi itu berbeda. Gudang tanaman obat itu tidak sama dengan keadaan yang ada di mimpinya. Gudang di dalam mimpinya memiliki ruangan yang cukup bagus dengan keadaan yang luas. Tidak seperti gudang di depannya kini. Terlihat tidak ada tanda-tanda yang baik. Kina kecewa. Dia lalu menatap adiknya.
“Gudang ini ada apanya?” Kina bertanya dengan kesal. Melihat keadaan gudang yang tidak sama membuat amarahnya ikut naik.
“Ada tanaman obatnya kak.” Kina menutup matanya untuk bersabar. Lain kali seharusnya dia menggunakan bahasa bocah smp agar lebih bisa dipahami oleh adiknya.
“Udah kita keluar aja. Yang aku cari nggak ada.” Kina mengajak adiknya keluar. Dia lalu mengingat keadaan kamarnya yang tidak layak huni. “Nanti aku tidur di kamarmu.”
“Beneran, Kak?” tanya Gyn dengan semangatnya. Tanpa sadar suaranya cukup keras. Kina memperingatkan adiknya. “Oke-oke. Hehe. Aku seneng banget kalau kakak mau tidur bareng.”
Kina berlalu dengan cepat dan tangannya langsung dirangkul oleh adiknya. Mereka kembali masuk ke dalam rumah. Sepertinya untuk mengungkap rahasia di rumah itu harus pelan-pelan.