Tidak ada yang tahu bahwa Gynura dan Kina adalah kakak beradik. Kina tidak mau adiknya itu mendekatinya di sekolah. Sejak lama dia sudah memperingatkan Gyn bahwa mereka hanya adik kakak di rumah, sementara di sekolah mereka adalah orang asing. Awalnya Gyn tidak terima karena dia sangat ingin dekat dengan kakaknya. Sejak SD dia sudah bercita-cita untuk bersekolah di yayasan yang sama dengan kakaknya. Dia membayangkan betapa menyenangkannya jika berangkat dan pulang bersama. Dia juga berpikiran untuk bermain ke bukit samping rumah sepulang sekolah. Sayangnya semua itu hanya khayalan belaka. Mereka tidak pernah melakukannya.
Gyn sebenarnya takut jika harus menyebrang jalan raya menggunakan sepeda, dia takut jika motor dan mobil menabraknya begitu saja. Tapi demi kakaknya dia berusaha mandiri dan menjalani hari-hari sekolahnya dengan baik.
Gyn tidak menyangka jika bersekolah di kota lain tidak mudah. Dia banyak mendapatkan tekanan dari teman-temannya. Mereka mengejek Gyn dengan sebutan cungkring dan miskin. Mereka sengaja menindasnya karena terlihat paling lemah. Sesekali Gyn melihat jika kakaknya mengetahui tabiat teman-temannya, tapi kakaknya tidak pernah melakukan apa pun. Gyn semakin sedih melihatnya. Dia lebih sedih ketika melihat kakaknya tidak menganggapnya daripada sedih diejek oleh teman-temannya.
Sepulang sekolah, Gyn menunggu kakaknya di perpustakaan. Dia membaca buku-buku tanaman obat herbal dan khasiatnya. Satu buku itu cukup dia baca setengahnya sebelum bel pulang sekolah berbunyi. Gyn lalu berlari keluar perpustakaan dan menunggu di parkiran. Dia menatap sepeda kakaknya dengan serius. Kali ini dia harus membuat perhitungan dengan kakaknya. Dia sudah terlalu lelah menunggu kakaknya untuk berbaik hati dengan dirinya.
Begitu kakaknya sampai di parkiran, Gyn bersiap menancapkan pedal gasnya. Dia mengikuti kakaknya dari belakang. Begitu masuk ke perbatasan kota mereka, Gyn mendekati kakaknya. Jalanan itu sepi karena berada di pinggiran kota.
“Kak, tunggu aku.” Gyn mengayuh dengan cepat untuk menyejajarkan sepeda Kina.
“Kenapa?” Kina menjawab dengan tak acuh. Matanya fokus menatap ke depan seolah tidak menganggap ada seseorang di sisinya.
“Kakak bisa tidak bantuin aku biar nggak di-bully sama teman-teman?” ucap Gyn dengan mencebikkan bibirnya.
Kina melirik adiknya sekilas. Dia sebenarnya kasihan apalagi Kina sering melihat adiknya berada di gedung belakang sekolah. Sebenarnya dia selalu mengamati mereka, hanya saja Kina memang tidak ingin ikut campur. Dia rasa memang seharusnya adiknya itu mendapatkan ketidakadilan karena di rumah semua orang mencintai adiknya. Sesekali adiknya harus merasakan kebencian agar memahami kehidupan.
“Memang aku bisa bantu apa?” tanya Kina dengan cuek.
Langit sudah berubah warna kejinggauan. Matahari terbenam mulai terasa menghangat, pelan-pelan udara mulai berubah. Sebentar lagi benda bulat di langit itu kembali ke peraduannya. Kina menghentikan sepedanya. Dia masih di atas sepeda sambil menikmati langit sore yang indah.
Gyn ikut mengerem dan mengikuti kakaknya. Dia baru tahu kalau langit sore bisa seindah itu jika dilihat di perbatasan kota. Matahari bisa benar-benar terlihat karena tanpa adanya penghalang. Melewati persawahan yang lapang di sore hari ternyata menyenangkan.
“Kakak pasti bisa bantuin aku. Kakak kan bisa apa aja. Hehe.” Kina menatap adiknya yang tersenyum manis. Ada rasa mengganjal di hatinya. Dia sedikit merasa bersalah karena secara tidak langsung mengubah sikap adiknya yang manis ini. Tapi perasaan bencinya dengan ayah dan ibunya yang membedakannya itu tidak bisa hilang dengan mudah.
Kina paham jika ketiga orang di rumahnya sangat dekat satu sama lain. Tidak seperti dirinya yang terlihat tersingkirkan. Jika dia bisa memilih, dia akan meninggalkan rumah itu dari dulu. Mengingat tentang rumah, Kina baru menyadari bahwa harus ada yang dia pecahkan. Gyn seharusnya mengetahui rahasia di rumah karena adiknya itu dekat dengan kedua orang tuanya dan juga ingin tetap tinggal di rumah. Pasti ketiga orang itu mengetahui rumah, tidak seperti dirinya.
“Hemmm oke. Tapi kamu harus memberitahu rahasia tentang rumah kita. Bagaimana?”
Gyn menatap kakaknya dengan bingung. Dia tidak mengetahui maksud dari ‘rahasia tentang rumah kita’. Dia berpikir, “Memang ada rahasia di rumah kita?” tapi Gyn tidak akan bertanya secara langsung kepada kakaknya. Dia akan berpura-pura tidak tahu agar kakaknya tetap mau membantunya. Tentang rumah, bisa dia pikirkan nanti saja.
“Oke, Kak. Aku akan memberitahu rahasia rumah kita. Tapi kakak harus bantuin aku agar nggak dirundung sama anak-anak lain. Aku capek lahir dan batin.” Gyn berkata dengan dramatis. Tapi memang perasaan benar-benar terluka. Banyak kata-kata buruk yang dia denger dari teman-temannya hingga membuat dirinya tidak ingin masuk sekolah lagi tapi dia tidak bisa melakukan itu. Dia merasa sayang dengan uang yang orang tuanya keluarkan untuk membiayai sekolahnya.
“Ya.” Mendengar perkataan Gyn sebenarnya Kina kecewa karena ternyata benar, hanya dirinya sendiri yang tidak mengetahui rahasia keluarga. Kina benar-benar merasa tidak dibutuhkan di keluarga dan seharusnya dia tidak pernah ada di keluarga. Dia merasa kedua orang tuanya memang telah keterlaluan. “Kita pulang sekarang, nanti ayah dan ibu mencari kamu. Bukankah biasanya kamu membantu mereka di pasar, kenapa hari ini tidak?”
Gyn mengayuh sepedanya dengan cepat, menyesuaikan kecepatan kakaknya dalam bersepeda. Dia bahagia bisa mewujudkan salah satu impiannya yaitu pulang bersama kakaknya. Senyumnya mengembang dengan sempurna. “Karena aku ingin pulang sama kakak.”
Kina melirik adiknya yang tersenyum dengan lebar hingga matanya tidak terlihat. Dua kuncir kuda di sisi kiri dan kanan ikut bergoyang menyesuaikan angin sore hari yang berhembus. Pipi adiknya itu terlihat berseri-seri. Hati Kina semakin tidak nyaman melihat kebahagiaan adiknya.