Pagi itu, aku duduk di anak tangga teras rumah lama dengan tangan kosong. Tidak membawa sapu, tidak membawa alat bersih-bersih, tidak membawa apa pun selain diriku sendiri yang tak utuh tapi sudah cukup berani kembali ke tempat ini.
Matahari menyentuh ubin tua dengan pelan. Udara belum panas, dan angin pagi membawa aroma tanah basah serta suara ayam tetangga yang belum berubah sejak aku SD.
Rumah ini belum sepenuhnya bangkit, tapi juga belum sepenuhnya mati.
Sama seperti kenangan.
Aku pernah berpikir, kenangan itu harus disembuhkan. Harus diurai, dibersihkan, lalu ditata seperti rak piring di dapur yang dibereskan sebelum Lebaran. Tapi semakin sering aku mencoba, semakin kusadari: tidak semua kenangan bisa disembuhkan. Dan tidak semua perlu.
Beberapa kenangan memang dibiarkan mengendap. Seperti kopi di dasar gelas hitam, pahit, tapi tetap membuat kita ingin menyeruput sisa rasanya.
Seperti rumah ini.
Saat masuk ke ruang tengah, aku melihat lukisan dinding yang dulu digantung oleh Ayah gambar pemandangan gunung dan sawah, dengan warna yang mulai pudar. Kaca piguranya retak, tapi tidak sampai pecah.
Aku tersenyum kecil.
Waktu Ayah menggantung lukisan itu, Ibu protes, katanya warnanya terlalu tua. Tapi Ayah bilang, “Warnanya seperti rumah ini. Tua, tapi tenang.” Dulu aku tak paham. Tapi kini, kalimat itu kembali menyentuh sesuatu yang dalam di dada.
Karena rumah ini, dan kenangan-kenangan di dalamnya, memang sudah tua. Tapi tidak semua yang tua harus dibuang. Ada yang hanya butuh dimengerti.
Di kamar Ibu, aku duduk di sisi ranjang dan membuka laci kecilnya. Isinya sederhana: bedak tabur merek lama, sisir kayu, dan kotak plastik berisi surat-surat tak terkirim.
Satu per satu kubaca.
Surat untuk Ayah setelah beliau meninggal. Surat untuk kami, anak-anaknya, saat Ibu merasa gagal jadi orang tua. Bahkan ada surat untuk dirinya sendiri: tulisan pelan, sedikit bergetar, dengan isi yang begitu menyayat:
“Ma, kamu sudah cukup.
Kamu boleh lelah.
Dan tidak apa-apa kalau tidak semua luka sembuh.
Karena beberapa hal memang hanya bisa dijalani,
bukan diselesaikan.”
Aku menutup surat itu dan memeluknya sejenak. Seolah bisa memeluk Ibu melalui baris-baris kalimat yang beliau tulis sendiri dengan hati yang mungkin rapuh, tapi tetap penuh cinta.
Dira datang setengah jam kemudian. Dia duduk di sampingku, matanya langsung tertumbuk pada surat-surat itu.
“Kenangan yang tidak disembuhkan?” katanya sambil membuka satu amplop kecil.
Aku mengangguk. “Ibu juga tahu itu. Dan aku baru paham sekarang.”
“Kenangan itu kayak luka gores kecil di lutut,” katanya pelan. “Kadang sembuh sendiri. Kadang nggak. Tapi kita tetap bisa jalan. Bisa ketawa. Bisa hidup.”
Kami terdiam. Memandangi surat-surat itu seperti orang yang akhirnya berani menengok kembali isi hati sendiri.
Banyak dari kita diajari untuk selalu sembuh. Untuk selalu move on. Untuk mengubur masa lalu dengan cepat. Padahal, tidak semua luka bisa hilang. Dan tidak semua harus.
Beberapa luka justru membuat kita manusia. Membuat kita berhenti menuntut sempurna.
Rumah ini mengajarkan itu semua. Lewat pintunya yang berat dibuka. Lewat tangganya yang berderit. Lewat dindingnya yang mulai berjamur.
Rumah ini tidak sempurna, tapi tidak pernah gagal jadi rumah.
Sama seperti kenangan.
Kami menaruh surat-surat itu kembali ke dalam kotak. Tapi tidak lagi sebagai beban. Kami menutupnya dengan rasa hormat. Karena tahu, bahwa surat-surat itu tidak pernah harus dikirim. Cukup ditulis, cukup dibiarkan hadir, cukup dipahami.
Begitu juga dengan kenangan. Cukup dikenang. Tidak selalu harus dibenahi.
Kadang kita cuma perlu duduk, membuka kotak lama, dan berkata dalam hati, “Aku belum sembuh, tapi aku baik-baik saja.”
Sebelum pergi, kami duduk sebentar di ruang tamu. Di sebelah jendela, sinar matahari menyelusup halus ke ubin yang menguning. Dira menaruh kepalanya di bahuku. Aku menyender ke dinding yang catnya sudah retak.
Dan kami tidak bicara apa-apa. Karena hari itu, diam justru terasa paling jujur.
Sampai akhirnya, aku berkata pelan, “Rumah ini, seperti hati kita, nggak perlu sembuh total untuk tetap layak ditinggali.”
Dira mengangguk. “Dan kenangan, biarlah tinggal. Biar mereka tetap hidup. Biar kita tetap manusia.”
Hari itu, kami keluar dari rumah lama tanpa mengunci pintunya rapat-rapat. Biarkan saja ada angin yang masuk. Biarkan suara masa lalu tetap bisa keluar-masuk.
Karena rumah ini tidak untuk ditinggalkan sepenuhnya. Dan kenangan tidak harus dilupakan agar hidup bisa terus berjalan.
Kadang, berdamai itu bukan tentang melupakan, tapi tentang berdiri di tempat yang sama, lalu melihat luka yang sama… dengan mata yang berbeda.
Mata yang kini tidak lagi ingin mengusir masa lalu, tapi mengajaknya duduk sebentar, menyeruput teh hangat, dan berkata:
“Kamu boleh tinggal. Aku sudah siap.”
Refleksi:
Tidak semua kenangan harus sembuh. Beberapa kenangan hanya perlu diterima.
Diizinkan duduk diam di sudut hati, tanpa harus dirapikan, tanpa harus dimaknai ulang. Karena manusia tidak diciptakan untuk sempurna. Tapi untuk mengingat. Untuk tumbuh meski berdarah. Untuk mencintai meski pernah ditinggalkan.
Dan untuk pulang ke rumah lama, meski hatinya sudah retak di banyak tempat. Tapi tetap utuh di satu sisi: sisi yang menyambut kita pulang, tanpa syarat.