Kamu pasti tahu kaleng biskuit warna biru. Yang tutupnya berbunyi "plek" kalau dibuka. Yang diiklankan dengan tumpukan biskuit aneka bentuk dan rasa. Tapi kita juga tahu kenyataannya: kaleng biskuit seperti itu jarang benar-benar berisi biskuit.
Rumah lama kami punya satu. Dan hari itu, aku menemukannya di lemari tua yang nyaris runtuh, di samping ruang tengah.
Warna kalengnya sudah pudar. Bagian sisinya penyok, dan tutupnya sulit dibuka. Tapi begitu berhasil aku congkel dan angkat, isi di dalamnya langsung membuatku terdiam cukup lama.
Tidak ada biskuit.
Yang ada: gulungan benang warna-warni, pita bekas kado, kancing-kancing baju, foto kecil yang mulai menguning, dan secarik kertas yang dilipat berkali-kali.
Dan saat aku mulai membongkar isi kaleng itu satu demi satu, rasanya seperti membuka kembali lembaran hati Ibu yang diam-diam pernah disimpan di sana.
Ibu memang suka menjahit. Bukan penjahit profesional, tapi tangan dan matanya selalu sigap kalau ada sobekan di baju atau resleting rusak. Benang dan kancing baginya bukan sekadar peralatan, tapi bahasa cinta yang tak selalu bisa diucapkan.
Setiap ada bajuku yang robek di bagian siku, tanpa perlu diminta, besoknya sudah rapi. Bahkan kadang dengan tambahan tempelan kain kecil berbentuk bintang atau hati.
Dulu, aku malu. Sekarang, aku justru rindu.
Kaleng itu juga menyimpan pita merah kecil yang langsung membuatku senyum.
Pita itu dulu Ibu pasang di kepangan Dira waktu lomba menyanyi antar RT. Dira menang juara harapan dua—bukan karena suara, tapi karena tampil paling semangat. Ibu menyimpannya, katanya sebagai "pengingat bahwa percaya diri lebih penting dari nada."
Ada juga foto kecil aku dan Dira, memakai baju seragam TK, berdua duduk di pangkuan Ayah yang tertawa lepas. Di belakang foto itu, ada tulisan tangan Ibu:
“Jangan cepat-cepat besar. Dunia orang dewasa tidak selalu seru.”
Tentu saja kami tidak mendengar. Kami tetap tumbuh. Tetap berlari menuju dewasa. Tapi hari ini, di hadapan kaleng ini, rasanya seperti diingatkan kembali: ada masa kecil yang pernah begitu hangat, dan begitu ingin kami peluk lagi.
Kancing-kancing di dalam kaleng itu juga bukan sekadar kancing.
Setiap warnanya menyimpan cerita. Ada yang berasal dari baju sekolahku yang pernah basah kehujanan. Ada yang dari jaket Ayah yang sekarang entah ke mana. Bahkan ada kancing warna emas kecil yang dulu Ibu bilang: "Simpen aja, siapa tahu nanti bisa dipakai buat acara penting."
Ternyata, acara pentingnya adalah hari ini. Hari ketika aku membuka kaleng ini dan membiarkan kenangan-kenangan itu menjahit ulang bagian hatiku yang sempat robek.
Dira datang membawa dua gelas teh, seperti biasa. Ia menatap isi kaleng itu lalu tersenyum tipis.
“Dulu aku suka ngumpet-ngumpetin kancing dari sini,” katanya sambil duduk di lantai. “Terus pura-pura jualan ke kamu.”
“Dan kamu hargai kancing warna emas itu seribu per biji. Padahal dulu uang jajan kita aja cuma lima ratus,” balasku tertawa.
Kami tertawa bersama. Lalu kembali hening, karena tahu: tertawa kami hari ini adalah bentuk syukur atas hari-hari sederhana yang pernah kami punya.
Aku membuka secarik kertas yang kulihat sejak awal. Tulisan tangan Ibu, dengan tinta yang hampir pudar:
“Kaleng ini mungkin tak berharga di mata orang.
Tapi bagiku, ini seperti lemari kecil kenangan
tempat aku menyimpan sisa-sisa yang pernah membuat kita bahagia.
Karena kadang, yang tak tampak penting justru menyimpan makna paling dalam.”
Tanganku gemetar membaca tulisan itu.
Ternyata Ibu tahu bahwa suatu hari, kami akan membuka kaleng ini. Dan ia sudah menyiapkan pesan.
Diam-diam.
Dengan cinta yang tak pernah meminta pamrih.
Kaleng biskuit ini bukan sekadar tempat menyimpan benang dan kancing. Ia adalah ruang kecil di mana kasih sayang ditata dalam bentuk paling sederhana. Tanpa hiasan. Tanpa kemewahan. Tapi penuh arti.
Dan aku sadar, banyak hal dalam hidup ini seperti kaleng biskuit itu. Di luar terlihat biasa. Tapi di dalamnya, bisa menyimpan sesuatu yang membuat kita kembali mengingat siapa kita dulu, dan siapa yang mencintai kita tanpa syarat.
Sore itu, aku dan Dira memutuskan untuk menyimpan kembali semua isinya. Tapi kali ini, dengan satu tambahan.
Aku menuliskan sebuah catatan kecil dan menyelipkannya di antara benang dan kancing:
“Ibu, terima kasih. Kaleng ini tak pernah berisi biskuit. Tapi isinya jauh lebih manis.”
Lalu kami menutup kaleng itu pelan, dan meletakkannya kembali di tempatnya semula.
Karena beberapa kenangan tak perlu ditata ulang. Cukup tahu bahwa ia masih ada. Dan cukup membiarkannya tetap di tempatnya, menunggu untuk dikenang kembali suatu hari nanti.
Refleksi: Tak semua yang indah harus tampak luar biasa dari luar. Kadang, hal yang paling sederhana menyimpan makna terdalam. Kaleng biskuit yang tidak berisi biskuit, adalah pengingat bahwa cinta tidak selalu hadir dalam bentuk seperti yang kita harapkan. Ia bisa tersembunyi di balik kancing kecil, pita lusuh, dan catatan tangan yang ditulis dengan pelan. Dan kita hanya perlu berhenti sejenak, membuka kembali tutupnya, lalu mengingat: kita pernah sangat dicintai, bahkan dalam keheningan.