Teras rumah ini selalu punya keheningan yang khas. Bukan sunyi yang menakutkan, tapi semacam ketenangan yang membalut dada. Di sana, pagi hari terasa lebih jujur, dan sore hari terasa lebih damai.
Dan yang paling tak pernah berubah: kursi di teras ini selalu dua.
Bukan empat, bukan satu. Selalu dua.
Sebelah kanan kursi rotan itu sedikit miring, bekas Ayah. Sebelah kiri sandarannya sudah agak renggang, tempat favorit Ibu duduk sambil menyesap teh hangat.
Kursi itu bukan kursi mahal. Rotannya sudah mulai retak, catnya mengelupas, dan suara gesekannya kalau diduduki selalu "kriit-kriit" menyebalkan. Tapi justru di situ letak magisnya: kursi itu menyimpan lebih banyak percakapan daripada ruang tamu mana pun di dunia.
Dulu, setiap sore, Ayah dan Ibu akan duduk di situ.
Ibu dengan gelas teh yang mengepul, Ayah dengan kopi hitam kental. Keduanya tak selalu bicara, tapi ada komunikasi yang tidak membutuhkan kata. Hanya lewat lirikan, senyuman, atau bahkan diam yang panjang tapi tidak canggung.
Kadang, kami, aku dan Dira, ikut duduk di tangga teras, main kelereng atau sekadar menguping.
“Kalau udah gede nanti, kita juga mau duduk berdua di sini, ya?” kata Dira saat itu.
Aku hanya mengangguk. Padahal dalam hati bertanya, "Kalau mereka tak lagi di sini, siapa yang duduk di kursi itu nanti?"
Dan kini, saat aku kembali duduk di kursi rotan itu, sendirian rasanya aneh.
Bukan hanya karena tempat duduknya tak lagi nyaman, tapi karena kursi sebelah kanan itu kosong.
Tak ada cangkir kopi. Tak ada tangan kasar Ayah yang menggenggam koran. Tak ada suara tawa rendah yang khas.
Namun anehnya, aku tetap merasa tidak sendirian.
Seolah jejak tubuh Ayah masih ada di sana. Seolah bau minyak kayu putihnya masih tertinggal di udara. Seolah kursi itu menolak ditinggal terlalu lama.
Dira menyusul tak lama kemudian. Membawa dua gelas teh manis hangat dan sekotak biskuit yang sudah agak melempem.
Dia duduk di kursi sebelah kiri.
Aku menoleh, tersenyum. “Akhirnya dua kursi ini dipakai lagi.”
“Ya,” jawabnya pelan. “Harusnya dua, memang. Kalau cuma satu, malah terasa lebih kosong.”
Kami menyeruput teh. Diam. Lalu tertawa karena biskuitnya keras dan rasanya aneh.
“Teras ini masih dingin kayak dulu,” gumamku.
“Dan wangi kambojanya juga masih sama,” balas Dira sambil menunjuk pohon kamboja kecil di sudut halaman yang masih rajin berbunga.
Suasana jadi seperti sore-sore di tahun yang sudah lama lewat. Hanya saja, pemerannya berubah. Orang tua kami sudah tak di sana. Tapi peran mereka terasa mengisi ruang ini.
Aku menoleh ke kursi sebelahku. “Kursi ini kayaknya nggak pernah diganti, ya?”
“Enggak. Waktu Ayah meninggal, Ibu sempat pengin buang, katanya udah tua. Tapi akhirnya disimpan.”
“Kenapa?”
“Katanya… Ibu nggak sanggup lihat teras ini tanpa kursi itu. Terlalu banyak yang pernah duduk, terlalu banyak yang pernah dibicarakan.”
Aku terdiam.
Ternyata, bukan hanya aku yang merasa dua kursi ini punya perasaan.
Dulu, dari kursi ini, Ayah sering mengajarkanku hal-hal yang tidak kutemukan di buku sekolah.
“Lihat langit, Nak,” katanya suatu sore, “kalau mendung datang, bukan berarti akan hujan. Kadang, cuma lewat. Jadi jangan cepat panik.”
Atau waktu aku bilang takut gagal saat daftar masuk SMP favorit, Ayah hanya berkata, “Kursi ini udah bolong-bolong, tapi tetap bisa diduduki. Artinya, kamu juga tetap bisa berfungsi, walaupun ada yang nggak sempurna.”
Ah, Ayah.
Semua nasihatnya sederhana, tapi tertanam dalam. Bahkan saat ini, bertahun-tahun kemudian, suaranya masih menyatu dengan bunyi angin sore dan gesekan pohon kamboja.
Kami duduk agak lama hari itu. Tidak banyak bicara. Hanya membiarkan kenangan berjalan pelan, seperti matahari yang mulai condong ke barat.
“Kadang aku iri,” kata Dira pelan, “sama orang yang masih bisa ngobrol langsung dengan orang tuanya.”
Aku menoleh.
“Tapi aku juga bersyukur,” lanjutnya, “karena kita punya tempat duduk ini. Kita bisa tetap ngobrol… meskipun lawan bicaranya sudah tidak kelihatan.”
Aku mengangguk.
Karena memang benar: teras ini bukan cuma tempat duduk. Ini altar kecil, tempat doa-doa tak terucap dilontarkan diam-diam, ditemani secangkir teh dan sore yang lambat.
Sebelum masuk ke dalam, aku menempelkan sebuah catatan kecil di sisi dalam kursi sebelah kanan:
“Untuk Ayah dan Ibu,
terima kasih sudah mengajari kami bahwa cinta tidak harus selalu diucapkan.
Kadang, cukup dengan duduk berdua di kursi rotan,
memandang langit, dan membiarkan sore bicara.”
Aku tidak tahu sampai kapan kursi ini akan bertahan. Tapi aku tahu, setiap kali ada dua orang duduk di sini dan saling berbagi diam kenangan akan terus hidup.
Dan teras ini, dengan kursi yang selalu dua, akan terus jadi tempat pulang yang tak pernah berubah.
Refleksi: Dua kursi tua di teras mungkin terlihat biasa. Tapi di sanalah cinta orang tua kita pernah duduk diam-diam. Mereka tidak berteriak, tidak mengunggah status.
Hanya duduk berdua, berbagi senja, dan membiarkan cinta tumbuh dalam sunyi. Dan hari ini, kita duduk di tempat yang sama. Membiarkan hati kita belajar kembali bahwa kehangatan keluarga tak selalu butuh banyak kata. Kadang cukup dua kursi yang selalu bersebelahan.