Loading...
Logo TinLit
Read Story - Menyulam Kenangan Dirumah Lama
MENU
About Us  

Teras rumah ini selalu punya keheningan yang khas. Bukan sunyi yang menakutkan, tapi semacam ketenangan yang membalut dada. Di sana, pagi hari terasa lebih jujur, dan sore hari terasa lebih damai.

Dan yang paling tak pernah berubah: kursi di teras ini selalu dua.

Bukan empat, bukan satu. Selalu dua.

Sebelah kanan kursi rotan itu sedikit miring, bekas Ayah. Sebelah kiri sandarannya sudah agak renggang, tempat favorit Ibu duduk sambil menyesap teh hangat.

Kursi itu bukan kursi mahal. Rotannya sudah mulai retak, catnya mengelupas, dan suara gesekannya kalau diduduki selalu "kriit-kriit" menyebalkan. Tapi justru di situ letak magisnya: kursi itu menyimpan lebih banyak percakapan daripada ruang tamu mana pun di dunia.

Dulu, setiap sore, Ayah dan Ibu akan duduk di situ.

Ibu dengan gelas teh yang mengepul, Ayah dengan kopi hitam kental. Keduanya tak selalu bicara, tapi ada komunikasi yang tidak membutuhkan kata. Hanya lewat lirikan, senyuman, atau bahkan diam yang panjang tapi tidak canggung.

Kadang, kami, aku dan Dira, ikut duduk di tangga teras, main kelereng atau sekadar menguping.

“Kalau udah gede nanti, kita juga mau duduk berdua di sini, ya?” kata Dira saat itu.

Aku hanya mengangguk. Padahal dalam hati bertanya, "Kalau mereka tak lagi di sini, siapa yang duduk di kursi itu nanti?"

Dan kini, saat aku kembali duduk di kursi rotan itu, sendirian rasanya aneh.

Bukan hanya karena tempat duduknya tak lagi nyaman, tapi karena kursi sebelah kanan itu kosong.

Tak ada cangkir kopi. Tak ada tangan kasar Ayah yang menggenggam koran. Tak ada suara tawa rendah yang khas.

Namun anehnya, aku tetap merasa tidak sendirian.

Seolah jejak tubuh Ayah masih ada di sana. Seolah bau minyak kayu putihnya masih tertinggal di udara. Seolah kursi itu menolak ditinggal terlalu lama.

Dira menyusul tak lama kemudian. Membawa dua gelas teh manis hangat dan sekotak biskuit yang sudah agak melempem.

Dia duduk di kursi sebelah kiri.

Aku menoleh, tersenyum. “Akhirnya dua kursi ini dipakai lagi.”

“Ya,” jawabnya pelan. “Harusnya dua, memang. Kalau cuma satu, malah terasa lebih kosong.”

Kami menyeruput teh. Diam. Lalu tertawa karena biskuitnya keras dan rasanya aneh.

“Teras ini masih dingin kayak dulu,” gumamku.

“Dan wangi kambojanya juga masih sama,” balas Dira sambil menunjuk pohon kamboja kecil di sudut halaman yang masih rajin berbunga.

Suasana jadi seperti sore-sore di tahun yang sudah lama lewat. Hanya saja, pemerannya berubah. Orang tua kami sudah tak di sana. Tapi peran mereka terasa mengisi ruang ini.

Aku menoleh ke kursi sebelahku. “Kursi ini kayaknya nggak pernah diganti, ya?”

“Enggak. Waktu Ayah meninggal, Ibu sempat pengin buang, katanya udah tua. Tapi akhirnya disimpan.”

“Kenapa?”

“Katanya… Ibu nggak sanggup lihat teras ini tanpa kursi itu. Terlalu banyak yang pernah duduk, terlalu banyak yang pernah dibicarakan.”

Aku terdiam.

Ternyata, bukan hanya aku yang merasa dua kursi ini punya perasaan.

Dulu, dari kursi ini, Ayah sering mengajarkanku hal-hal yang tidak kutemukan di buku sekolah.

“Lihat langit, Nak,” katanya suatu sore, “kalau mendung datang, bukan berarti akan hujan. Kadang, cuma lewat. Jadi jangan cepat panik.”

Atau waktu aku bilang takut gagal saat daftar masuk SMP favorit, Ayah hanya berkata, “Kursi ini udah bolong-bolong, tapi tetap bisa diduduki. Artinya, kamu juga tetap bisa berfungsi, walaupun ada yang nggak sempurna.”

Ah, Ayah.

Semua nasihatnya sederhana, tapi tertanam dalam. Bahkan saat ini, bertahun-tahun kemudian, suaranya masih menyatu dengan bunyi angin sore dan gesekan pohon kamboja.

Kami duduk agak lama hari itu. Tidak banyak bicara. Hanya membiarkan kenangan berjalan pelan, seperti matahari yang mulai condong ke barat.

“Kadang aku iri,” kata Dira pelan, “sama orang yang masih bisa ngobrol langsung dengan orang tuanya.”

Aku menoleh.

“Tapi aku juga bersyukur,” lanjutnya, “karena kita punya tempat duduk ini. Kita bisa tetap ngobrol… meskipun lawan bicaranya sudah tidak kelihatan.”

Aku mengangguk.

Karena memang benar: teras ini bukan cuma tempat duduk. Ini altar kecil, tempat doa-doa tak terucap dilontarkan diam-diam, ditemani secangkir teh dan sore yang lambat.

Sebelum masuk ke dalam, aku menempelkan sebuah catatan kecil di sisi dalam kursi sebelah kanan:

“Untuk Ayah dan Ibu,
terima kasih sudah mengajari kami bahwa cinta tidak harus selalu diucapkan.
Kadang, cukup dengan duduk berdua di kursi rotan,
memandang langit, dan membiarkan sore bicara.”

Aku tidak tahu sampai kapan kursi ini akan bertahan. Tapi aku tahu, setiap kali ada dua orang duduk di sini dan saling berbagi diam kenangan akan terus hidup.

Dan teras ini, dengan kursi yang selalu dua, akan terus jadi tempat pulang yang tak pernah berubah.

Refleksi: Dua kursi tua di teras mungkin terlihat biasa. Tapi di sanalah cinta orang tua kita pernah duduk diam-diam. Mereka tidak berteriak, tidak mengunggah status.
Hanya duduk berdua, berbagi senja, dan membiarkan cinta tumbuh dalam sunyi. Dan hari ini, kita duduk di tempat yang sama. Membiarkan hati kita belajar kembali bahwa kehangatan keluarga tak selalu butuh banyak kata. Kadang cukup dua kursi yang selalu bersebelahan.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Di Bawah Langit Bumi
2675      1072     87     
Romance
Awal 2000-an. Era pre-medsos. Nama buruk menyebar bukan lewat unggahan tapi lewat mulut ke mulut, dan Bumi tahu betul rasanya jadi legenda yang tak diinginkan. Saat masuk SMA, ia hanya punya satu misi: jangan bikin masalah. Satu janji pada ibunya dan satu-satunya cara agar ia tak dipindahkan lagi, seperti saat SMP dulu, ketika sebuah insiden membuatnya dicap berbahaya. Tapi sekolah barunya...
PENTAS
1229      721     0     
Romance
Genang baru saja divonis kanker lalu bertemu Alia, anak dokter spesialis kanker. Genang ketua ekskul seni peran dan Alia sangat ingin mengenal dunia seni peran. Mereka bertemu persis seperti yang Aliando katakan, "Yang ada diantara pertemuan perempuan dan laki-laki adalah rencana Tuhan".
Salendrina
2464      915     7     
Horror
Salendrina adalah boneka milik seorang siswa bernama Gisella Areta. Dia selalu membawa Boneka Salendrina kemanapun ia pergi, termasuk ke sekolahnya. Sesuatu terjadi kepada Gisella ketika menginjakan kaki di kelas dua SMA. Perempuan itu mati dengan keadaan tanpa kepala di ruang guru. Amat mengenaskan. Tak ada yang tahu pasti penyebab kematian Gisella. Satu tahu berlalu, rumor kematian Gisella mu...
Beternak Ayam
294      239     1     
Fantasy
Cerita tentang Bimo dan temannya, yang belajar untuk beternak ayam dengan kakek Kutokuto. Mereka bisa mengetahui cara beternak ayam untuk menghasilkan uang.
Can You Love Me? Please!!
4011      1213     4     
Romance
KIsah seorang Gadis bernama Mysha yang berusaha menaklukkan hati guru prifatnya yang super tampan ditambah masih muda. Namun dengan sifat dingin, cuek dan lagi tak pernah meperdulikan Mysha yang selalu melakukan hal-hal konyol demi mendapatkan cintanya. Membuat Mysha harus berusaha lebih keras.
The Twins
4542      1590     2     
Romance
Syakilla adalah gadis cupu yang menjadi siswa baru di sekolah favorit ternama di Jakarta , bertemu dengan Syailla Gadis tomboy nan pemberani . Mereka menjalin hubungan persahabatan yang sangat erat . Tapi tak ada yang menyadari bahwa mereka sangat mirip atau bisa dikata kembar , apakah ada rahasia dibalik kemiripan mereka ? Dan apakah persahabatan mereka akan terus terjaga ketika mereka sama ...
Aku Takut Tidur Malam Ini
273      174     0     
Short Story
Kukkuruyuk-kukuruyuk, tekek-tekek... suara kokok ayam yang diikuti suara tekek, binatang melata sebangsa cicak ini membangunkan Nadia. Nadia baru saja memejamkan mata, namun ia segera terbangun dengan raut wajah penuh kebingungan. Dilihat jam beker di dekat jam tidurnya. Jam itu menunjukkan 23.23 menjelang tengah malam. “Ternyata baru jam sebelas malam”, ucap Nadia. Di dalam hati ia juga bert...
Kepak Sayap yang Hilang
118      111     1     
Short Story
Noe, seorang mahasiswa Sastra Jepang mengagalkan impiannya untuk pergi ke Jepang. Dia tidak dapat meninggalkan adik kembarnya diasuh sendirian oleh neneknya yang sudah renta. Namun, keikhlasan Noe digantikan dengan hal lebih besar yang terjadi pada hidupnya.
Kisah-Kisah Misteri Para Pemancing
1671      785     1     
Mystery
Jika kau pikir memancing adalah hal yang menyenangkan, sebaiknya berpikirlah lagi. Terkadang tidak semua tentang memancing bagus. Terkadang kau akan bergelut dengan dunia mistis yang bisa saja menghilangkan nyawa ketika memancing! Buku ini adalah banyak kisah-kisah misteri yang dialami para pemancing. Hanya demi kesenangan, jangan pikir tidak ada taruhannya. Satu hal yang pasti. When you fish...
MALAM DALAM PELUKAN
642      462     3     
Humor
Apakah warna cinta, merah seperti kilauannya ataukah gelap seperti kehilangannya ?