Loading...
Logo TinLit
Read Story - Menyulam Kenangan Dirumah Lama
MENU
About Us  

Pagi di rumah lama selalu punya caranya sendiri untuk menyapa. Bukan dengan alarm ponsel atau bunyi notifikasi, tapi dengan sesuatu yang lebih lembut—lebih jujur.

Cahaya.

Cahaya pagi yang menembus dari sela-sela gorden tipis yang sudah usang. Yang warnanya dulu putih, tapi kini berubah menjadi abu-abu kekuningan karena waktu dan debu. Gorden itu tak lagi mengalir lembut ketika tertiup angin. Ia lebih sering bergelantungan kaku, seperti lelah menunggu pagi-pagi yang tak kunjung datang.

Namun entah mengapa, setiap kali aku melihatnya, ada rasa yang sulit dijelaskan. Seolah gorden itu tidak hanya menutup jendela, tapi menyaring waktu. Menyimpan sinar-sinar pagi yang dulu pernah menari di wajah-wajah kami.

 

Aku menarik napas panjang pagi itu, duduk di kursi dekat jendela ruang tengah. Kursi rotan yang bunyinya sudah tak lagi ramah saat diduduki. Tapi tetap jadi tempat favoritku. Di hadapanku, gorden tua itu menggantung. Sedikit robek di pinggir kanan. Dijahit seadanya oleh Ibu bertahun lalu. Benangnya warna biru, tak serasi dengan kainnya, tapi justru jadi penanda: bahwa sesuatu tak harus sempurna untuk tetap layak dipertahankan.

Cahaya pagi menerobos perlahan dari sela-sela kain. Menyapu permukaan lantai yang sudah retak di beberapa bagian. Debu beterbangan kecil, seperti butiran waktu yang enggan turun sepenuhnya.

Dan di antara semua itu, aku melihat potongan kenangan.

 

Dulu, setiap pagi hari Minggu, Ibu akan membuka jendela besar itu sambil menyibakkan gordennya lebar-lebar. Udara dingin pagi akan masuk, membawa bau embun dan suara ayam tetangga.

"Ayo bangun! Sayang banget pagi sebagus ini dilewatkan!" seru Ibu sambil mengibas-ngibaskan gorden agar debunya hilang.

Tentu, debunya tetap ada. Tapi kami tetap ikut Ibu keluar ke teras, duduk bareng sambil makan pisang goreng hangat atau minum teh manis dari gelas kaca buram.

Dira sering protes, “Bu, ini pagi kok kayak siang. Silau banget!”

Dan Ibu hanya tertawa. “Silau itu tandanya hidup masih semangat, Nak.”

Lucu ya. Dulu kita merasa cahaya itu gangguan. Sekarang, aku mencarinya.

 

Aku berdiri dan menyibakkan gorden perlahan. Jendela di baliknya berdebu, tapi masih bisa melihat keluar. Pohon jambu di depan rumah masih berdiri, walau batangnya tampak makin rapuh. Jalan kecil di depan rumah sudah beraspal ulang. Tapi ada satu hal yang tetap sama: cahaya pagi masih datang dengan cara yang sama.

Pelan. Hangat. Tidak pernah terburu-buru.

Cahaya itu tidak pernah menuntut perhatian, tapi selalu hadir. Ia tidak menabrakmu, tapi menyentuhmu. Dan gorden itu—meski sudah tua dan kumal—masih setia jadi temannya.

 

Aku menyentuh kainnya. Tipis. Kasar. Tapi di balik teksturnya yang usang, aku bisa merasakan kehadiran masa lalu.

Di balik gorden ini, dulu aku pernah mengintip anak tetangga yang suka main layangan. Di balik gorden ini, Dira pernah sembunyi waktu nangis karena nilai matematikanya jelek. Di balik gorden ini juga, Ibu sering berdiri diam-diam, menatap keluar sambil membawa cucian atau sambil memeluk dirinya sendiri di pagi yang dingin.

Dan sekarang, aku yang berdiri di sini. Dengan tubuh dewasa dan jiwa yang masih mencari tempat nyaman untuk bersandar.

 

Kadang, yang membuat kita rindu bukan tempatnya—tapi cahaya yang dulu menyinari tempat itu.

Cahaya yang jatuh tepat di ubin warna krem. Cahaya yang memantul di lemari kaca. Cahaya yang membuat kita tahu: hari baru telah dimulai, dan kita masih diberi kesempatan.

Aku duduk kembali, membiarkan cahaya itu menyinari wajahku. Mataku terpejam, dan suara pagi mulai terdengar pelan-pelan: cicit burung dari kejauhan, bunyi sapu lidi tetangga, dentingan sendok dari dapur. Semuanya menyatu seperti orkestra sederhana—tapi indah.

Dan gorden tua itu, tetap bergoyang pelan. Diam-diam bekerja menjadi peluk dari kenangan yang tak pernah pergi.

 

Aku jadi teringat satu pagi, bertahun lalu. Saat itu Ibu baru saja selesai membersihkan jendela. Tangannya kotor, bajunya basah sedikit. Tapi ia tersenyum lebar sambil berkata:

“Kalau kamu pengen tahu apakah rumah ini masih bahagia, lihat saja dari cara cahaya masuk. Kalau masih hangat dan tenang, berarti rumah ini masih baik-baik saja.”

Aku waktu itu hanya mengangguk. Tidak paham benar.

Tapi pagi ini, kata-kata itu seperti terpantul dari kaca jendela dan langsung menempel di hatiku.

 

Aku menyisir gorden itu perlahan. Di bagian bawahnya, ada bordiran kecil berbentuk bunga. Aku baru menyadari, itu buatan tangan Ibu. Benangnya tidak rapi. Ada yang keluar, ada yang kusut. Tapi justru di situlah keindahannya.

Karena rumah ini tidak dibangun dari hal-hal mewah. Rumah ini dibangun dari upaya yang tulus, dari tangan yang bekerja dalam diam, dari gorden yang tetap digantung meski tidak sempurna lagi.

Dan mungkin, itu pula cara hidup yang paling jujur:

Tidak selalu baru, tidak selalu bersih, tapi selalu ada dan tetap berfungsi.

 

Sebelum meninggalkan jendela, aku membuka gorden lebar-lebar. Membiarkan cahaya pagi masuk sepenuhnya. Bukan hanya untuk menerangi ruangan, tapi juga hati yang selama ini sembunyi di balik bayangan hari-hari sibuk.

Aku menulis satu catatan kecil, menempelkannya di sisi jendela:

“Untuk gorden tua dan cahaya pagi:

Terima kasih telah tetap hadir,

meski kami sering lupa menyapamu lebih dulu.”

Lalu aku tersenyum. Karena aku tahu, pagi bukan soal matahari. Tapi soal cara kita membuka hati. Dan mungkin… semua itu dimulai dari menarik gorden yang sudah lama tertutup.

 

Refleksi:Tidak semua pagi datang dengan semangat besar. Tapi bahkan pagi yang paling sepi pun bisa terasa hangat, kalau kita mau membuka sedikit jendela, dan membiarkan cahaya masuk. Gorden berdebu itu mungkin tak menarik, tapi ia tetap menyaring sinar dengan setia. Seperti banyak hal dalam hidup tidak harus baru untuk tetap berarti.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
No Longer the Same
420      315     1     
True Story
Sejak ibunya pergi, dunia Hafa terasa runtuh pelan-pelan. Rumah yang dulu hangat dan penuh tawa kini hanya menyisakan gema langkah yang dingin. Ayah tirinya membawa perempuan lain ke dalam rumah, seolah menghapus jejak kenangan yang pernah hidup bersama ibunya yang wafat karena kanker. Kakak dan abang yang dulu ia andalkan kini sibuk dengan urusan mereka sendiri, dan ayah kandungnya terlalu jauh ...
Kisah-Kisah Misteri Para Pemancing
1671      785     1     
Mystery
Jika kau pikir memancing adalah hal yang menyenangkan, sebaiknya berpikirlah lagi. Terkadang tidak semua tentang memancing bagus. Terkadang kau akan bergelut dengan dunia mistis yang bisa saja menghilangkan nyawa ketika memancing! Buku ini adalah banyak kisah-kisah misteri yang dialami para pemancing. Hanya demi kesenangan, jangan pikir tidak ada taruhannya. Satu hal yang pasti. When you fish...
HURT ANGEL
174      135     0     
True Story
Hanya kisah kecil tentang sebuah pengorbanan dan pengkhianatan, bagaimana sakitnya mempertahankan di tengah gonjang-ganjing perpisahan. Bukan sebuah kisah tentang devinisi cinta itu selalu indah. Melainkan tentang mempertahankan sebuah perjalanan rumah tangga yang dihiasi rahasia.
CHERRY & BAKERY (PART 1)
4301      1157     2     
Romance
Vella Amerta—pindah ke Jakarta sebagai siswi SMA 45. Tanpa ia duga kehidupannya menjadi rumit sejak awal semester di tahun keduanya. Setiap hari dia harus bertemu dengan Yoshinaga Febriyan alias Aga. Tidak disangka, cowok cuek yang juga saingan abadinya sejak jaman SMP itu justru menjadi tetangga barunya. Kehidupan Vella semakin kompleks saat Indra mengajaknya untuk mengikuti les membuat cu...
Anikala
1361      594     2     
Romance
Kala lelah terus berjuang, tapi tidak pernah dihargai. Kala lelah harus jadi anak yang dituntut harapan orang tua Kala lelah tidak pernah mendapat dukungan Dan ia lelah harus bersaing dengan saudaranya sendiri Jika Bunda membanggakan Aksa dan Ayah menyayangi Ara. Lantas siapa yang membanggakan dan menyanggi Kala? Tidak ada yang tersisa. Ya tentu dirinya sendiri. Seharusnya begitu. Na...
Bifurkasi Rasa
147      125     0     
Romance
Bifurkasi Rasa Tentang rasa yang terbagi dua Tentang luka yang pilu Tentang senyum penyembuh Dan Tentang rasa sesal yang tak akan pernah bisa mengembalikan waktu seperti sedia kala Aku tahu, menyesal tak akan pernah mengubah waktu. Namun biarlah rasa sesal ini tetap ada, agar aku bisa merasakan kehadiranmu yang telah pergi. --Nara "Kalau suatu saat ada yang bisa mencintai kamu sedal...
BISIKAN ASA DI TENGAH BADAI
89      76     2     
Inspirational
Setiap langkah dalam hidup membawa kita pada pelajaran baru, terkadang lebih berat dari yang kita bayangkan. Novel ini mengajak kita untuk tidak takut menghadapi tantangan, bahkan ketika jalan terasa penuh dengan rintangan. Di dalam setiap karakter, ada kekuatan yang tersembunyi, yang hanya akan terungkap ketika mereka memilih untuk bertahan dan tidak menyerah. Cerita ini mengingatkan kita bahwa ...
Rumah yang Tak Pernah Disinggahi Kembali
468      335     0     
Short Story
Tawil namanya. Dia berjalan hingga ke suatu perkampungan. Namun dia tidak tahu untuk apa dia berada di sana.
Tulipa
774      426     0     
Short Story
Aku ingin kupu – kupu menghinggapiku. Merindukan setiap aroma yang keluar dari kelopak – kelopakku. Hingga ia akan selalu kembali saat memutuskan pergi.
In Her Place
1000      657     21     
Mystery
Rei hanya ingin menyampaikan kebenaran—bahwa Ema, gadis yang wajahnya sangat mirip dengannya, telah dibunuh. Namun, niat baiknya disalahartikan. Keluarga Ema mengira Rei mengalami trauma dan membawanya pulang, yakin bahwa dia adalah Ema yang hilang. Terjebak dalam kesalahpahaman dan godaan kehidupan mewah, Rei memilih untuk tetap diam dan menjalani peran barunya sebagai putri keluarga konglomer...