Loading...
Logo TinLit
Read Story - Menyulam Kenangan Dirumah Lama
MENU
About Us  

Kursi rotan di teras rumah itu sudah miring ke kiri. Salah satu kaki rotannya patah setengah, dan bunyinya selalu berdecit ketika seseorang duduk. Tapi anehnya, tak satu pun dari kami tega membuangnya. Bukan karena sayang pada benda, tapi karena... ada tawa yang masih tinggal di sana.

Aku ingat betul, dulu kursi itu adalah tempat rebutan. Entah kenapa, meskipun kami punya bangku panjang dan beberapa kursi plastik, kursi rotan itu selalu jadi primadona. Mungkin karena letaknya di pojok teras, tepat di bawah jendela ruang tamu, tempat angin sore paling rajin mampir.

Atau mungkin karena di sanalah Ayah duduk setiap sore, dengan teh manis hangat di tangan kanan dan koran di tangan kiri—yang jarang benar-benar dibaca, karena lebih sering tertawa mendengarkan celotehan kami.

“Kalau Ayah duduk di situ, itu tandanya pintu rumah boleh dibuka,” kata Dira suatu sore. Kami berdua sedang menata pot tanaman. Ia memindahkan pot lidah mertua ke dekat pilar, dan aku menyapu dedaunan kering.

“Kenapa?” tanyaku.

“Soalnya kalau Ayah lagi duduk di kursi itu, suasana rumah tuh kayak... lagi nerima tamu. Padahal ya cuma kita-kita aja yang ribut,” jawabnya sambil terkikik.

Aku mengangguk, lalu menepuk-nepuk kain lap di tanganku. “Iya ya. Rasanya rumah kayak hidup kalau kursi itu keisi.”

Dulu, setiap sore, kami biasa mengelilingi Ayah yang duduk di sana. Kadang sambil makan pisang goreng, kadang cuma duduk-duduk sambil cerita. Dira sering menyanyi lagu-lagu iklan TV. Aku membacakan puisi yang tak berima. Dan Ayah akan tertawa—tawa yang khas, sedikit berat tapi penuh kehangatan.

Dan di momen itulah, entah kenapa, segala masalah jadi terasa ringan.

Ada satu hari yang tak pernah bisa kulupa. Saat itu aku pulang dari sekolah dengan wajah murung. Aku dapat nilai jelek di ujian Matematika, dan guru sempat menyindirku di depan kelas. Waktu aku masuk ke rumah, aku langsung melewati dapur dan masuk ke kamar. Tapi Ayah tahu. Ayah selalu tahu.

Sore harinya, ia duduk di kursi rotan itu, seperti biasa. Tapi ada sesuatu yang berbeda. Di tangannya, bukan koran. Melainkan... kertas ujian milikku, yang entah bagaimana bisa sampai ke tangannya. Dan bukannya marah, ia malah menulis angka 100 besar-besar di belakangnya dan menunjukkan padaku sambil tersenyum lebar.

“Ini nilai yang Ayah kasih karena kamu pulang tepat waktu dan nggak nyerah,” katanya.

Aku cuma bisa melongo, lalu ketawa. Tertawa sambil setengah menangis. Dan Ayah, di kursi rotan itu, hanya mengangguk-angguk seolah berkata: "Kamu nggak harus selalu berhasil, Nak. Tapi kamu harus selalu pulang."

Sejak saat itu, kursi rotan itu punya arti baru buatku. Bukan hanya tempat duduk. Tapi tempat kembali. Tempat menaruh semua kesedihan, dan menukarnya dengan tawa.

Tapi seperti semua benda yang terus ditempati waktu, kursi itu pun mulai rapuh. Anyamannya mulai longgar. Warnanya kusam. Tapi kami tak pernah menggantinya. Tak ada yang bisa mengganti suara ‘kreekk’ khasnya yang muncul setiap kali seseorang duduk.

Dira bilang, suara itu seperti salam sapa.

“Dia tuh kayak bilang ‘eh, kamu balik lagi ya?’” kata Dira sambil duduk di kursi itu beberapa hari yang lalu. Kami sedang minum teh sore, seperti dulu.

“Tapi kalau kamu duduk terlalu lama, bisa kesangkut di waktu,” jawabku.

“Maksudnya?”

Aku menatap daun-daun mangga yang bergoyang pelan tertiup angin. “Di kursi itu... kita bisa tiba-tiba inget Ayah ketawa. Inget Ibu bawa teh. Inget kamu nyanyi ‘sirop marjan, sirop marjan’. Dan... lupa kalau sekarang udah tahun 2025.”

Dira tertawa, tawa yang seperti dulu. Lalu ia diam sejenak, memeluk lututnya. “Kamu tahu nggak, kadang aku masih berharap, kalau duduk di kursi ini cukup lama, Ayah bakal datang keluar dari rumah, duduk di sebelahku, dan bilang: ‘Mbak, korannya mana?’”

Kami tertawa. Tapi tawa itu sedikit tercekat.

Karena memang, kadang harapan tidak butuh masuk akal. Cukup jadi nyala kecil di dalam dada, supaya hari tidak terlalu gelap.

Beberapa minggu lalu, keponakan kami—Anya—yang baru berumur lima tahun, datang bermain ke rumah. Ia berlari-lari ke teras, dan seperti tertarik magnet, langsung duduk di kursi rotan itu. Kursinya berdecit, dan ia tertawa geli.

“Ini kursinya lucu banget, Bun!” katanya pada ibunya.

Kami yang mendengar hanya saling pandang dan tertawa kecil. Mungkin kursi itu tahu, waktunya belum habis. Masih ada generasi lain yang akan duduk di sana, membawa cerita dan tawa baru.

Hari ini, aku dan Dira memutuskan untuk memperbaiki kursi itu. Bukan untuk dijadikan baru. Tapi cukup diperkuat, supaya masih bisa menampung cerita.

Kami membeli paku baru, lem rotan, dan cat cokelat tua. Kami duduk di teras, seperti dulu, dan bekerja pelan-pelan. Di sela-sela memperbaiki, kami bercerita. Tentang Ayah, tentang masa kecil, tentang hal-hal yang dulu dianggap biasa tapi sekarang terasa mahal.

Setelah selesai, kami duduk berdua di sana. Kursinya masih berbunyi, tapi sedikit lebih stabil. Dan di situlah, saat senja mulai turun, kami tertawa.

Tawa yang tidak keras. Tapi cukup hangat untuk membuat kami merasa: rumah ini, kursi ini, dan kenangan ini... masih hidup.

Dan mungkin, benar kata Dira: Beberapa tawa memang tidak hilang. Ia hanya tersangkut sebentar di kursi rotan.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
FAMILY? Apakah ini yang dimaksud keluarga, eyang?
225      188     2     
Inspirational
Kehidupan bahagia Fira di kota runtuh akibat kebangkrutan, membawanya ke rumah kuno Eyang di desa. Berpisah dari orang tua yang merantau dan menghadapi lingkungan baru yang asing, Fira mencari jawaban tentang arti "family" yang dulu terasa pasti. Dalam kehangatan Eyang dan persahabatan tulus dari Anas, Fira menemukan secercah harapan. Namun, kerinduan dan ketidakpastian terus menghantuinya, mendo...
Aku dan Saya
400      241     1     
Inspirational
Aku dan Saya dalam mencari jati diri,dalam kelabilan Aku yang mengidolakan Saya yang sudah dewasa.
Heliofili
2723      1193     2     
Romance
Hidup yang sedang kami jalani ini hanyalah kumpulan berkas yang pernah kami tandatangani di kehidupan sebelumnya— dari Sastra Purnama
40 Hari Terakhir
804      547     1     
Fantasy
Randy tidak pernah menyangka kalau hidupnya akan berakhir secepat ini. Setelah pertunangannya dengan Joana Dane gagal, dia dihadapkan pada kecelakaan yang mengancam nyawa. Pria itu sekarat, di tengah koma seorang malaikat maut datang dan memberinya kesempatan kedua. Randy akan dihidupkan kembali dengan catatan harus mengumpulkan permintaan maaf dari orang-orang yang telah dia sakiti selama hidup...
Sosok Ayah
915      509     3     
Short Story
Luisa sayang Ayah. Tapi kenapa Ayah seakan-akan tidak mengindahkan keberadaanku? Ayah, cobalah bicara dan menatap Luisa. (Cerpen)
Akhir SMA ( Cerita, Cinta, Cita-Cita )
1905      978     1     
Romance
Akhir SMA yang tidak pernah terbayangkan dalam pikiran seorang cewek bernama Shevia Andriana. Di saat masa-masa terakhirnya, dia baru mendapatkan peristiwa yang dapat mengubah hidupnya. Ada banyak cerita terukir indah di ingatan. Ada satu cinta yang memenuhi hatinya. Dan tidak luput jika, cita-cita yang selama ini menjadi tujuannya..
Apakah kehidupan SMA-ku akan hancur hanya karena RomCom? [Volume 2]
1732      805     0     
Romance
Di jilid dua kali ini, Kisaragi Yuuichi kembali dibuat repot oleh Sakuraba Aika, yaitu ia disuruh untuk bergabung dengan klub relawan yang selama ini ia anggap, bahwa melakukan hal seperti itu tidak ada untungnya. Karena godaan dan paksaan dari Sakuraba Aika terus menghantui pikirannya. Akhirnya ia pun terpaksa bergabung. Seiring ia menjadi anggota klub relawan. Masalah-masalah merepotkan pun d...
Bimbang (Segera Terbit / Open PO)
6124      1981     1     
Romance
Namanya Elisa saat ini ia sedang menempuh pendidikan S1 Ekonomi di salah satu perguruan tinggi di Bandung Dia merupakan anak terakhir dari tiga bersaudara dalam keluarganya Tetapi walaupun dia anak terakhir dia bukan tipe anak yang manja trust me Dia cukup mandiri dalam mengurus dirinya dan kehidupannya sendiri mungkin karena sudah terbiasa jauh dari orang tua dan keluarganya sejak kecil juga ja...
Who are You?
1417      637     9     
Science Fiction
Menjadi mahasiswa di Fakultas Kesehatan? Terdengar keren, tapi bagaimana jadinya jika tiba-tiba tanpa proses, pengetahuan, dan pengalaman, orang awam menangani kasus-kasus medis?
Time and Tears
308      235     1     
Romance
Rintik, siswi SMA yang terkenal ceria dan berani itu putus dengan pacarnya. Hal berat namun sudah menjadi pilihan terbaik baginya. Ada banyak perpisahan dalam hidup Rintik. Bahkan temannya, Cea harus putus sekolah. Kisah masa remaja di SMA penuh dengan hal-hal yang tidak terduga. Tak disangka pula, pertemuan dengan seorang laki-laki humoris juga menambah bumbu kehidupan masa remajanya. Akankah Ri...