Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kacamata Monita
MENU
About Us  

Sesuai perjanjian, Monita hanya diizinkan bolos sehari. Besok paginya dia harus kembali berseragam putih abu-abu, memasang sepatu, dan diantar ibu. Sebenarnya dia berniat berlama-lama saat menyantap sarapan, berangkat ke sekolah di menit-menit terakhir. Lebih bagus jika sesampainya di sana, begitu menginjak lantai kelas, bel masuk langsung berbunyi. Namun ibunya susah diajak negosiasi.

"Nanti macet," katanya. "Kamu semalam udah bolos. Kalau hari ini telat, Mami nggak mau permisiin kamu lagi."

Akhirnya mereka berangkat lebih cepat dari biasanya. Sepertinya bukan hanya ibunya yang takut terjebak macet hari ini. Saat mereka tiba di Raya Jaya, kendaraan berdatangan tanpa henti, bergantian menurunkan penumpang di depan gerbang. Monita sempat berpapasan dengan beberapa teman seangkatan. Mereka saling tersenyum untuk menyapa, hanya saja ada yang aneh dari cara mereka memandang. Seolah ada yang lucu, tapi segan untuk ditertawakan.

Bel masuk masih ada beberapa belas menit lagi. Monita berpikir, akan lebih baik jika dia mengambil jalan memutar untuk mengulur waktu. Hari ini tujuannya ke sekolah hanya untuk belajar, bukan bersosialisasi, terutama dengan teman sekelas. Sambil melewati gerbang, dia merencanakan rute yang akan dilewati: setelah meja piket, jangan belok kiri, belok kanan saja, lanjut jalan santai di koridor kelas sepuluh, singgah ke toilet lima menit, jalan cepat di koridor kelas dua belas, kantin, terus jalan, baru masuk ke kelas.

"Oi, Mon!"

Rencana itu buyar setelah Monita melewati meja piket. Jhoni datang dari arah ruang guru, masih menyandang ransel, terang-terangan melambai ke arahnya. Kalau sudah tepergok begini, tidak bijak rasanya jika menghindar. Monita pun membalas dengan senyum singkat.

"Kenapa nggak datang kemarin? Main-main pasti, kan?"

"Sok tau." Monita mengikuti Jhoni berjalan menuju kelas, tidak jadi ambil rute memutar. Paling-paling, sampai di kelas nanti, dia bisa pura-pura sibuk main ponsel. "Lagian nyokap gue udah izin sama wali kelas."

"Tapi jadi ketinggalan ngumpulin tugas, loh."

"Tugas? Seingat gue nggak ada tugas."

"Bu Witri nggak masuk kemarin, kita sekelas disuruh ngerjain soal latihan, langsung dikumpul hari itu juga. Soalnya nggak susah, bisa buka buku. Ada pilihan ganda, ada esai juga. Katanya buat tambah-tambah nilai."

Di persimpangan menuju kios fotokopi, mereka belok kanan. Monita sempat menarik napas dalam dan menjaga pandangan tetap lurus ke depan, saat melewati kelas Dirga.

"Tapi tenang," lanjut Jhoni masih dengan suara ringan, "lo bisa nyusul. Nanti gue kasih salinan soalnya. Kalau udah selesai, kasih ke gue, biar gue yang antar ke ruang guru."

"Oh. Oke," balas Monita.

Sebenarnya dia ingin menanggapi tawaran murah hati Jhoni dengan cara yang lebih santun, tapi mereka sudah tiba di pintu kelas, dan belum apa-apa dia sudah berpapasan pandang dengan Kana. Di meja mereka, Delia dan Priska juga ikut duduk menemaninya. Begitu menyadari kedatangan Monita, mereka berdua serempak menyambut dengan riang—terlalu riang.

"Momon! Welcome back!"

Risma dan Fara pun ikutan heboh, membuat seisi kelas melirik risau.

"Udah sehat, Mon?" tanya Risma. Semalam Monita izin dengan alasan kurang enak badan.

"Perhatian sekali Ibu Ketua ini," gurau Jhoni sambil menempati bangkunya. Monita baru sadar bangku Aceng masih kosong.

Alih-alih menjawab Risma, Monita malah menambahkan pertanyaan, "Aceng belum datang?"

"Nggak datang dia hari ini," kata Jhoni.

"Kenapa?"

"Kejuaraan pencak silat."

Kening Monita berkerut. Semakin tidak jelas saja jadwal kejuaraan itu.

"Bukannya hari Minggu?" Delia yang tadinya duduk di bangku Monita berpindah tempat ke bangku di sebelah Fara. Kebetulan orangnya belum datang.

Monita yang masih berhenti di meja Jhoni melirik ragu ke tempat duduknya. Kalau duduk di sana, kira-kira akan secanggung apa nanti? Apakah mereka akan diam-diaman sepanjang hari, atau malah adu argumen? Bagaimana jika ada diskusi bersama teman sebangku?

"Jadwalnya ditambah karena banyak yang daftar. Hari ini penyisihan. Kalau lanjut, Sabtu tanding lagi. Minggu final," terang Jhoni sambil membuka tas, mempersiapkan buku pelajaran pertama.

"Berarti kalau Aceng masuk final, kita bisa nonton bareng hari Minggu," gumam Fara.

"BTW Mon, ngapain berdiri-berdiri di situ? Mau nagih utang ke Jhoni?"

Sepertinya Priska lagi disorientasi. Lupa sedang berada di mana. Lagaknya seperti empunya kelas saja. Monita hanya membalas dengan tatapan dingin. Dia juga sempat mendapati Kana mencuri pandang, tapi tidak lama kembali menunduk, berpangku tangan dan tenggelam dalam buku bacaan.

Setelah menimbang-nimbang, Monita akhirnya tidak berjalan ke kursinya, melainkan duduk di kursi kosong sebelah Jhoni. Aceng tidak datang hari ini, berarti tidak masalah jika dia yang menempati. Meski membelakangi, Monita yakin keputusan itu membuat Delia dan lainnya saling pandang-pandangan.

"Hari ini gue duduk di sini, ya?" Monita permisi setengah berbisik.

"Aduh, grogi gue, nggak pernah duduk sama cewek."

Monita berdecak sambil menyadarkan tasnya ke punggung kursi. "Kelihatan banget jones-nya," balasnya pada Jhoni.

"Tapi, menurut gue, kalau kita dukung Aceng hari Sabtu, efeknya lebih ngena. Bisa jadi dia makin semangat dan lanjut ke final." Terdengar Risma menimpali ucapan Fara yang tadi terinterupsi. Antara untuk mencairkan suasana dan untuk melanjutkan rencana perayaan tugas TIK yang sempat tertunda dua hari lalu.

Pendapat Risma masuk akal. Apa karena itu, Aceng mengundangnya di hari Sabtu?

Untuk mengalihkan perhatian dari percakapan teman-temannya, Monita menyibukkan diri mengeluarkan alat tulis, kemudian tangannya turun ke dalam laci. Itu gerakan refleks. Biasanya, supaya sandangannya tidak terlalu berat, dia sering meninggalkan buku cetak di laci meja. Terutama yang berhalaman tebal. Ketika menemukan laci yang diraba terasa kosong, dia baru sadar sedang duduk di meja Aceng.

Sudah berusaha menghindar, ujung-ujungnya tetap harus kembali ke mejanya juga. Monita menghela napas. Rasanya dia ingin membenturkan kepala ke atas meja, sampai kemudian jarinya menyentuh sesuatu berplastik di ujung laci.

"Tapi kalau Sabtu, takutnya bentrok sama sekolah." Diskusi masih berlanjut di belakangnya.

Monita mengambil benda tipis berplastik dari dalam laci Aceng dan menunduk. Dia tidak mengeluarkan penuh, hanya mengintip untuk memastikan sebentar. Ternyata kertas, seperti undangan. Bagian belakangnya berwarna biru cerah.

Alis Monita bertaut. Persis sekali dengan undangan ulang tahunnya. Di dalam plastik terselip kertas lain yang dilipat menjadi persegi empat. Hitam putih, sepertinya hasil fotokopi. Ilustrasi dan beberapa tulisan yang terbaca mengingatkannya pada brosur kejuaraan pencak silat yang tertempel di mading. Monita membalik undangan untuk melihat bagian depan. Benar. Undangan itu memang undangan ulang tahunnya. Di bagian bawah, tertera nama Dirga sebagai penerima. Tentu bukan Aceng. Dia mengundang teman sekelas hanya dari grup kelas, tanpa undangan fisik.

"Hari Sabtu nggak bisa minta izin diliburkan aja, Jhon? Atau pulang cepat. Kan kita mau dukung teman sekelas."

Jhoni menggerutu mendengar permintaan semena-mena Risma itu.

"Sabtu gue sama Priska juga udah ada schedule."

"Mau ke J-Fest?"

Mendadak sunyi.

Monita bisa mendengar Risma berkomentar pelan, "Gue nggak boleh sebut nama acaranya?"

Aneh juga atmosfer di belakangnya mendadak kaku. Tidak mungkin hanya karena Dirga. Bintang tamu acara itu bukan dia seorang. Monita mengembalikan undangan ke dalam laci, lebih baik diperiksa saat jam istirahat saja, lalu berusaha kembali fokus pada perannya sebagai pelajar. "Jhon, soal latihan tadi mana?"

"Oh iya," seru Jhoni, kemudian mengais-ngais tasnya. "Mana, ya ...."

Monita menanti dengan sabar. Di belakang, Delia dan lain masih bercakap-cakap rendah. Tidak jelas entah apa yang dibahas. Monita juga tidak ingin berusaha menajamkan telinga.

"Oalah!" Jhoni berhenti mengais-ngais. "Baru ingat. Si Aceng kemarin pinjam buat fotokopi. Nggak tau entah untuk apa. Apa terbawa dia, ya? Atau tinggal di sana? Coba gue cek dulu."

Monita mencegah. "Gue aja," katanya. Pas sekali. Ini kesempatannya untuk undur diri sejenak. Biar yang lain bisa leluasa mengobrolkan apa pun yang mereka mau, pikir Monita. Dia pun beranjak, bergerak menuju kios fotokopi dengan langkah pasti.

🕶️

Dari dalam kios, Ibu Fotokopi mengangguk ramah menyambut kedatangan Monita, seperti menyambut pengunjung tetap yang sudah lama tidak singgah.

"Nggak sama temannya?" tanya ibu itu dari balik meja etalase, sambil merapikan beberapa lembar kertas yang baru saja difotokopi, menjepit ujungnya dengan staples, dan menyerahkannya pada pengunjung lain yang menunggu di sebelah Monita.

Monita menggeleng malu-malu, yakin siapa teman yang dimaksud. "Kemarin dia ada ninggalin fotokopi di sini, nggak Bu?" tanya Monita balik.

"Oh. Benar." Ibu Fotokopi masuk ke dalam kios, mengambil beberapa lembar kertas dari rak dekat mesin fotokopi. Sebelum menyerahkan kertas itu, dia membaca sekilas bordiran nama yang terjahit di seragam Monita, seolah ingin memastikan kertas-kertas itu jatuh ke tangan yang tepat. "Ini." Ibu itu akhirnya memberikan kertas fotokopian pada Monita. "Pesannya, titip ke kamu kalau kamu cari."

Perkataan ibu itu agak unik di telinga Monita. Kesannya mereka seperti sedang serah-terima dokumen rahasia, padahal ini cuma soal latihan. Namun Monita ikut alur saja. Mungkin bagi Ibu Fotokopi, menyerahkan fotokopian adalah sebuah tugas penting yang harus dijunjung tinggi. Setelah berterima kasih, Monita memeriksa latihan soal di dekat bangku kayu depan kios. Benar, soal Fisika. Tapi aneh, ada dua rangkap. Satu masih polos. Satu lagi sudah terjawab. Yang lebih aneh, pada kertas yang sudah memiliki jawaban, beberapa kata dan huruf di soal pilihan ganda digarisbawahi dengan tinta biru.

tidak per lu ...

Monita tersadar, jika disambung, kata-kata dan huruf yang digarisbawahi akan membentuk suatu kalimat. Jadi ini benar-benar dokumen rahasia. Monita menoleh ke belakang, memeriksa Ibu Fotokopi. Apa ibu itu sudah membaca isi pesan di kertas ini? Namun, Ibu Fotokopi sibuk menjilid sesuatu, ditambah datang lagi dua orang yang ingin membeli kertas jeruk.

🕶️

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Loveless
8386      4075     611     
Inspirational
Menjadi anak pertama bukanlah pilihan. Namun, menjadi tulang punggung keluarga merupakan sebuah keharusan. Itulah yang terjadi pada Reinanda Wisnu Dhananjaya. Dia harus bertanggung jawab atas ibu dan adiknya setelah sang ayah tiada. Wisnu tidak hanya dituntut untuk menjadi laki-laki dewasa, tetapi anak yang selalu mengalah, dan kakak yang wajib mengikuti semua keinginan adiknya. Pada awalnya, ...
Premium
The Secret Of Bond (Complete)
6470      1492     1     
Romance
Hati kami saling terikat satu sama lain meskipun tak pernah saling mengucap cinta Kami juga tak pernah berharap bahwa hubungan ini akan berhasil Kami tak ingin menyakiti siapapun Entah itu keluarga kami ataukah orang-orang lain yang menyayangi kami Bagi kami sudah cukup untuk dapat melihat satu sama lain Sudah cukup untuk bisa saling berbagi kesedihan dan kebahagiaan Dan sudah cukup pul...
Rindu
408      299     2     
Romance
Ketika rindu mengetuk hatimu, tapi yang dirindukan membuat bingung dirimu.
ONE SIDED LOVE
1541      683     10     
Romance
Pernah gak sih ngalamin yang namanya cinta bertepuk sebelah tangan?? Gue, FADESA AIRA SALMA, pernah!. Sering malah! iih pediih!, pedih banget rasanya!. Di saat gue seneng banget ngeliat cowok yang gue suka, tapi di sisi lain dianya biasa aja!. Saat gue baperan sama perlakuannya ke gue, dianya malah begitu juga ke cewek lain. Ya mungkin emang guenya aja yang baper! Tapi, ya ampun!, ini mah b...
Batas Sunyi
2138      987     108     
Romance
"Hargai setiap momen bersama orang yang kita sayangi karena mati itu pasti dan kita gak tahu kapan tepatnya. Soalnya menyesal karena terlambat menyadari sesuatu berharga saat sudah enggak ada itu sangat menyakitkan." - Sabda Raka Handoko. "Tidak apa-apa kalau tidak sehebat orang lain dan menjadi manusia biasa-biasa saja. Masih hidup saja sudah sebuah achievement yang perlu dirayakan setiap har...
Misteri pada Mantan yang Tersakiti
857      493     6     
Short Story
98% gadis di dunia adalah wujud feminisme. Apakah kau termasuk 2% lainnya?
Glitch Mind
52      49     0     
Inspirational
Apa reaksi kamu ketika tahu bahwa orang-orang disekitar mu memiliki penyakit mental? Memakinya? Mengatakan bahwa dia gila? Atau berempati kepadanya? Itulah yang dialami oleh Askala Chandhi, seorang chef muda pemilik restoran rumahan Aroma Chandhi yang menderita Anxiety Disorder......
MANITO
1635      1072     14     
Romance
Dalam hidup, terkadang kita mempunyai rahasia yang perlu disembunyikan. Akan tetapi, kita juga butuh tempat untuk menampung serta mencurahkan hal itu. Agar, tidak terlalu menjadi beban pikiran. Hidup Libby tidaklah seindah kisah dalam dongeng. Bahkan, banyak beban yang harus dirasakan. Itu menyebabkan dirinya tidak mudah berbagi kisah dengan orang lain. Namun, ia akan berusaha untuk bertahan....
Hideaway Space
134      110     0     
Fantasy
Seumur hidup, Evelyn selalu mengikuti kemauan ayah ibunya. Entah soal sekolah, atau kemampuan khusus yang dimilikinya. Dalam hal ini, kedua orang tuanya sangat bertentangan hingga bercerai. evelyn yang ingin kabur, sengaja memesan penginapan lebih lama dari yang dia laporkan. Tanpa mengetahui jika penginapan bernama Hideaway Space benar-benar diluar harapannya. Tempat dimana dia tidak bisa bersan...
Bulan dan Bintang
494      365     0     
Short Story
Bulan dan bintang selalu bersisian, tanpa pernah benar-benar memiliki. Sebagaimana aku dan kamu, wahai Ananda.