Perayaan ulang tahun Amel lebih mirip seperti perayaan kecil-kecilan anak SMP. Mereka kumpul bersama, main bersama, kemudian ditengah-tengah muncul satu-dua teman yang membawa kue ulang tahun, acara tiup lilin dimulai, dilanjut dengan acara potong dan bagi-bagi kue, kemudian kembali lagi ke kegiatan awal. Bedanya, properti mereka lebih serius.
Di satu sisi taman, tepat di bawah lampu taman, dekat dengan tempat penitipan barang darurat, telah terpasang tiga unit meja piknik portabel. Di atasnya terhidang beberapa kotak pizza, donat, kue kering, keripik kentang, minuman bersoda, dan lain-lain. Di tengah-tengah hidangan itu, bertengger loudspeaker mini yang mengalunkan musik-musik riang bertempo santai. Ternyata benar-benar ada pesta.
Monita terhanyut dengan suka-cita yang begitu kental di sekitarnya. Pesta ini sangat berbeda dari pesta ulang tahunnya. Jumlah tamu hanya belasan, pakaian mereka tidak bertema, dan tidak ada penampilan tamu idola. Namun, kemeriahannya tidak bisa dianggap sepele. Beberapa teman Amel juga mengajaknya kenalan dengan begitu santai. Mereka bertanya bagaimana rasanya sehabis bersepatu roda tadi, berbagi beberapa trik pemula, dan mengundangnya untuk berkunjung lagi jika ada waktu senggang.
"Lo kenapa nggak ikut gabung di komunitas Amel?" tanya Monita saat dia dan Aceng melipir ke tempat penyimpanan barang untuk mengambil tas. Mereka sudah melepas semua printilan sepatu roda.
Sejak tadi, sanking terlena dengan sekitar, Monita menelantarkan ponselnya. Padahal ibunya berjanji akan menjemput paling lama pukul delapan malam, dan akan menghubungi saat hendak berangkat. Sekarang hampir setengah delapan. Sudah pasti ibunya akan mencak-mencak jika panggilannya tidak dijawab.
"Kan udah ikut Merpati Putih. Pegal-pegal nanti kalau kebanyakan gerak."
Monita tertawa kecil. Hari ini dia menemukan beberapa kesamaan antara Aceng dan Jhoni.
"Gue gabung sekali-sekali. Jadi tamu aja," lanjut Aceng. Mereka semakin dekat dengan meja saji. Di sekeliling meja itu ada beberapa bangku lipat agar tamu bisa duduk santai sambil bersantap. Monita tersenyum pada gerombolan tiga orang yang bercengkerama di sana. Seingatnya, mereka belum berkenalan.
"Pacar lo, Ceng?" Salah satu bertanya usil saat mereka mendekat. Suaranya agak rendah dan kepalanya tertutup hoodie.
Aceng berdecak. "Nol poin. Harap coba lagi."
Monita pun memutuskan memperkenalkan diri. "Halo, Kak. Saya Moni, temannya Aceng," ucapnya dengan anggukan sungkan.
Perempuan berbusana serba hitam yang duduk di seberang segera meluruskan, "Santai ... santai .... Pakai 'lo-gue' aja. Kalau 'saya-kakak' berasa jadi asisten dosen." Setelah dilihat lamat-lamat, Monita baru sadar bibir perempuan ini mengenakan lipstik ungu. Kedua matanya juga dibingkai eyeliner tebal. Penggemar band metal mungkin, pikirnya.
Si Hoodie melirik simbol sekolah di lengan kanan Monita. "Oh. Anak Raja juga," gumamnya.
Monita mengangguk meski tahu yang tadi bukan pertanyaan. Aceng yang kini bersandar di tepi meja pun menjelaskan singkat, "Mereka teman sekelas Amel dulu," sembari menyodorkan sekaleng minuman soda, entah untuk dibawa pulang atau untuk meredakan kecanggungan.
"Wah, kebetulan, nih. Felix gimana kabarnya? Masih cakep dia? Sekarang punya pacar?" Satu yang duduk di sebelah Lipstik Ungu ikut menimbrung. Rambutnya panjang terurai, dihiasi bando silver berkelip. Seketika Monita merasa pernah mengenali perawakannya.
Mendengar itu, Lipstik Ungu pun menyenggol kencang bahu Bando Silver. "Nggak usah mulai," katanya.
"Oi, kalian nggak nge-bully Monita, kan?" Amel, yang sejak Monita tinggalkan tadi sedang asyik mendiskusikan acara temu ramah bersama anggota komunitasnya, menghampiri mereka. Dia mencomot sepotong pizza dan duduk di sebelah Si Hoodie.
"Apaan dah bully-bully. Yang ada Si Yuna nih lagi nanyain kabar dedek gemesh-nya." Lipstik Ungu menimpali, disusul serangan remah-remah donat dari Bando Silver yang ternyata bernama Yuna.
"Kalau gitu, ya diajak duduk juga lah." Amel memberi kode agar Monita menempati bangku kosong di sebelahnya. Monita tidak ingin menolak. Trio di hadapannya makin lama makin menarik. Dia juga penasaran dengan hubungan antara Yuna dan Felix. Mungkin lima sampai sepuluh menit tidak masalah.
"Oh iya, mereka ini alumni Raya Ja—"
"Udah tau dia, Mel. Telat lo."
"Ada yang lo kenal, nggak?" Hoodie kembali angkat suara, membuat Monita merasa sedang diuji. Jika dijawab "tidak", apa mereka akan sakit hati? Tapi, dijawab "ada" pun sama saja dengan berbohong.
Akhirnya Monita memilih jalan tengah. "Kayaknya pernah lihat Kak Yuna. Tapi lupa."
Mendengar itu, dagu Yuna semakin terangkat. "Udah terbukti, kan? Gue yang paling beken di antara lo semua. Makanya, jangan sepu-sepu. Sekolah-pulang sekolah-pulang."
"Enak aja. Kami orangnya lebih suka senang-senang. Sekolah-nangkring sekolah-nangkring." Lipstik Ungu berusaha melawan.
Meja mereka seketika dipenuhi tawa renyah.
Monita ikut tertawa, karena kalau diam saja akan terlalu kentara. Sekilas diliriknya Aceng untuk meminta petunjuk. Aceng menaikkan kedua bahu sambil meneguk cola, kemudian bergerak ke arahnya, menempati bangku kosong paling ujung tepat di sebelahnya, dan memberi kode, "Nggak jadi pulang?" tanpa bersuara.
Monita berbisik, "sepuluh menit," bersamaan dengan penjelasan dari Lipstik Ungu.
"Dia panitia MPLS waktu lo masih junior. Tapi itu semua buat deketin Felix aja."
"Ya namanya juga lagi bucin-bucinnya." Yuna tanpa ragu membenarkan pernyataan itu. "Eh, bentar. Tapi muka lo lama-lama familiar juga. Lo temannya Si Anak Dokter itu, ya?"
"Anak Dokter, Anak Dokter .... Dia punya nama, loh." Lipstik Ungu kini menendang kaki Yuna. Kali ini tidak kencang-kencang, formalitas saja.
"Maksudnya: Kana?" Monita memastikan.
Wajah Yuna seketika cerah. "Lo teman sekelasnya juga, kan?"
Monita mengangguk. "Kita duduk semeja."
"Berarti lo tau dong, Kana sama Felix itu sebenarnya pernah jadian atau enggak? Soalnya Si Aceng kalau ditanya, jawabnya pasti 'nggak tau', 'tanya aja sendiri', 'bukan urusan gue'," lanjut Yuna.
Aceng berhenti memainkan kaleng sodanya. "Memang itu kenyataannya."
"Ya lo bantu dikit kek cari-cari informasi. Biar gue bisa move on."
"Nggak usah dengerin, Ceng. Memang bebal nih orang." Hoodie menengahi.
Lipstik Ungu menambahkan, "Tau nggak Mon, kabarnya Yuna pernah mau labrak Kana sanking cemburu buta."
"Gue nggak setega itu, kali Miss."
Miss? Namanya Miss? Atau 'Mis'? Monita masih berusaha mengikuti percakapan mereka.
"Gue cuma mau mastiin aja: mereka beneran jadian atau enggak." Yuna mengklarifikasi, lalu menunjuk Hoodie. "Lo sih, cerita setengah-setengah waktu itu."
"Kan udah gue jelasin berkali-kali kalau Felix cuma diminta jagain Kana." Hoodie membela diri.
"Iya, tapi lo jelasinnya pas kita udah tamat."
"Namanya Dirga masuk pas kita udah tamat. Lagian udah lama banget gue nggak jumpa sama tuh anak. Gue juga baru tau dia sepupuan sama Felix."
Tiba-tiba Amel menyela, "Ngapain bahas itu lagi, sih? Moni jadi kebingungan, loh."
Untuk yang terakhir, Monita ingin seratus persen setuju. Lain halnya dengan keluhan Amel yang pertama. Jika obrolan teman-temannya dihentikan, dia malah akan semakin bingung.
Tiba-tiba Aceng merogoh ponsel di saku celananya. Tidak ada bunyi, tapi layarnya menyala-nyala tanda ada yang memanggil.
Monita berusaha menangkap isi pembicaraan kedua sisi. Di kirinya, Si Hoodie tampak masih tidak ingin mengalah. "Si Kepala Batu ini mesti ditempa sering-sering, Mel. Biar encer dikit otaknya."
Sementara di kanan, Aceng menjawab panggilan dengan nada serius. "Halo .... Iya, Tante, masih di sini."
Kesimpulan sementara yang dia dapat: Ibunya menelepon Aceng (entah didapat dari mana kontaknya, Monita berjanji akan menyelidiki) untuk menanyakan posisi. Waktunya hampir habis, tetapi dia harus mencari tahu kenapa Hoodie membawa-bawa nama Dirga.
"Udah, ya, Nyonya-Nyonya." Aceng bersiap-siap beranjak. "Moni mau pulang dulu. Udah ditungguin maminya."
"Sebentar." Monita berusaha mengulur waktu. Ibunya bisa menunggu beberapa menit, yang penting mereka sudah bertukar kabar. Dia menoleh serius ke Hoodie dan bertanya, "Lo kenal sama Dirga?"
"Dia sama Dirga satu SD di Raya Jaya. Mereka dipertemukan oleh perkumpulan ibu-ibu kodim." Yuna membantu menerangkan, tampak sama sekali tidak tersinggung dengan omelan Hoodie sebelumnya.
"Terus, hubungannya dengan Kana apa?"
"Loh, bukannya Kana sama Dirga teman dekat dari kecil?"
"Oh iya! Baru ingat, kita belum foto bareng, kan, Moni?" Amel beranjak dari kursinya dan merangkul Monita—setengah memaksanya berdiri. "Ayo-ayo, sebelum lo balik."
Monita dengan setengah hati menurut. Hoodie membantu mengambil gambar beberapa kali dengan latar berbeda-beda. Setelah itu, Monita berpamitan dan bergegas keluar taman dengan langkah panjang-panjang. Aceng masih mengikutinya.
"Lo pasti tau sesuatu, kan?" tanya Monita dingin, kepalanya masih enggan menoleh. Sekarang semakin masuk akal kenapa tadi pagi Dirga tidak membalas sapaannya. Kenapa Kana memilih berlama-lama di UKS sepanjang jam istirahat. Mereka sengaja menghindar.
"Mereka cuma teman lama."
"Tapi kenapa nggak ada yang cerita ke gue?"
"Lo harus dengar penjelasan mereka dulu."
Monita berhenti, memberanikan diri untuk berhadapan dengan Aceng. "Dan penjelasan dari lo apa?"
"Gue nggak berhak ikut campur, Moni."
Alasan itu hanya membuat Monita semakin sakit hati. Jika tidak ingin ikut campur, berarti Aceng tidak ingin memihak padanya. Dia dikhianati tiga orang sekaligus.
"Oke. Gue bakal tanya ke Kana langsung." Monita membuka ranselnya dengan tergesa-gesa, mengambil ponsel dan menyalakannya. Rentetan pemberitahuan menyambutnya. Dua puluh panggilan tidak terjawab: sembilan dari ibunya, tujuh dari Delia, empat dari Priska.
Puluhan pesan masuk belum terbaca.
Paling atas dari ibunya. Lima menit yang lalu: Mami udah di parkiran. Acaranya udah selesai? Atau Mami jemput ke dalam?
Selain itu, ada belasan pesan masuk dari Delia dan Priska. Ditambah satu obrolan grup baru. Monita membuka obrolan grup itu. Anggotanya hanya mereka bertiga—dia, Delia, dan Priska. Pesan terakhir dikirim dua puluh menit lalu: postingannya udah di-takedown.
Monita menggulir ke atas, mencoba merangkum permasalahan yang Delia-Priska diskusikan. Sampai dia tiba di pesan-pesan awal.
Girls, gue yakin sama ingatan gue, tapi gue mau confirm dulu ke kalian. Cewek di foto ini Kana, right? Jendela di background identical banget dengan yang di kamarnya.
Di bawah pesan itu ada kiriman gambar berupa tangkapan layar postingan media sosial Dirga. Postingan itu menampilkan foto polaroid Dirga bersama seorang perempuan saat mereka berusia sekitar 10 tahun. Masing-masing berpose di kedua sisi aquarium kecil berisi ikan mas koki.
Sekarang sudah jelas siapa cinta pertama Dirga yang sebenarnya.
🕶️