Setiap hari Jumat, Anak Raja bisa bebas pulang lebih cepat, kecuali mereka yang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler. Biasanya lapangan Raya Jaya akan masuk pada status tersibuk karena dipadati dengan berbagai aktivitas, terutama klub olahraga, pramuka, dan paskibra. Monita sudah lama tidak menyaksikan keramaian semacam itu. Terakhir kali yaitu saat kelas X semester pertama, saat dia masih jadi murid baru dan ikut Kana bergabung dengan Dokter Remaja. Namun, tidak bertahan lama karena jauh dari yang dia bayangkan. Alih-alih belajar soal medis, saat itu mereka lebih sering bersih-bersih lingkungan sekolah dan menanam pohon. Alhasil, baru tiga bulan bergabung, Monita perlahan mundur. Mulai dari absen sekali-kali, sampai tidak pernah datang sama sekali.
Sore itu cuaca kurang mendukung. Langit mendung menimbulkan hawa malas. Tidak ada lingkaran pramuka yang mengelilingi pembina. Tidak ada anggota pemandu sorak yang sedang latihan formasi. Dari koridor tempat Monita berdiri, tampak anggota paskibra di timur lapangan membubarkan barisan dan masuk ke salah satu ruang kelas. Hanya kumpulan anggota Merpati Putih yang masih setia duduk rapi di sudut lapangan dekat pohon rindang.
"Lo yakin mau nunggu di luar? Udah mau hujan, loh."
Monita menghentikan observasi lapangannya. Di depan kelas mereka, Kana sudah siap-siap menuju UKS untuk pertemuan Dokter Remaja. Dia sengaja datang terlambat dengan alasan makan siang dulu.
Monita harusnya bisa pulang bersama teman-teman non-ekskul lain. Namun, sudah hampir satu minggu teka-teki kado belum terungkap. Jika memang benar tanggal yang dimaksud Dirga adalah akhir bulan ini, berarti Monita hanya punya waktu kurang dari tiga minggu. Dia merasa harus segera ambil tindakan yang lebih progresif. Jadi, hari ini Monita sengaja minta dijemput agak lama. Alasannya mau kerja kelompok, tapi niat sebenarnya dia ingin memulai hubungan kerja sama dengan Aceng.
Tentu saja Kana tidak mengetahui itu. Monita hanya mengaku jemputannya telat. Itu saja. Tidak ada keterangan tambahan.
"Biar nggak bosan. Sekalian lihat-lihat kegiatan Merpati Putih," jawab Monita sambil memaksa tawa kecil demi menutupi kegugupan.
Saat diskusi tugas kelompok di kafe kemarin, mereka sudah membagi-bagi peran masing-masing. Monita, Aceng, dan Fara akan mengumpulkan materi tertulis dan wawancara. Sedangkan Kana, Risma, dan Jhoni akan mengerjakan bagian pengambilan video dan editing. Sebenarnya mereka masih punya banyak waktu. Semua materi juga tersedia di internet. Monita seharusnya tidak perlu mengeluarkan usaha ekstra untuk melakukan pengamatan di sore yang mendung. Semua orang menyadari itu, termasuk Kana yang tidak bisa berhenti mengernyit heran. Namun, pada akhirnya dia tetap mengangguk percaya dan pamit ke UKS.
Sepeninggalan Kana, Monita duduk di bangku besi panjang di depan kelasnya. Kembali memperhatikan aktivitas mencari kertas dengan mata tertutup. Selama ini Monita pikir Merpati Putih itu hanya tentang kekuatan fisik. Ternyata olahraga yang ditekuni Aceng juga punya sisi unik yang menyenangkan untuk ditonton.
Aceng duduk di barisan paling pinggir. Sama seperti anggota lain, dia duduk dengan postur yang tidak sepele. Tidak ada punggung yang melengkung ke depan. Arah pandang mereka pun seragam, mengarah ke dua anggota yang berdiri di depan barisan. Satu dengan mata tertutup kain merah, satu lainnya memegang selembar kertas putih. Pergerakannya samar-samar di pandangan Monita. Dari yang dia amati, anggota dengan mata tertutup sedang berusaha menebak-nebak keberadaan kertas.
Di tengah pengamatannya, perhatian Monita teralih ke Jhoni yang datang dari arah kios fotokopi.
"Belum pulang, Mon?" tanya Jhoni. Dia membawa beberapa lembar poster dan potongan karton warna-warni, sangat kontras dengan warna langit yang semakin menghitam.
"Iya, nih. Masih nungguin jemputan."
Jhoni melirik jam tangannya sebentar, lalu memberi ide, "Daripada bosan nunggu, mending bantuin gue nempelin ini di mading."
Ternyata Jhoni sedang sibuk dengan urusan jurnalistik. Dia hendak menempelkan beberapa selebaran di mading sekolah. Monita menyambut baik tawaran itu. Mereka pun berjalan menuju pintu utama sekolah. Di sana, satu sisi dinding digunakan sebagai media untuk memajang informasi dan beberapa karya. Ada berita tentang prestasi terbaru Anak Raja, kiat-kiat menghadapi ujian masuk perguruan tinggi, dan beberapa poster perlombaan di berbagai bidang, mulai dari kejuaraan olahraga sampai olimpiade sains.
"Pegangin ini, ya."
Monita menerima gunting, double tip, dan beberapa lembar kertas yang satu per satu dicabut dari mading. Setelah itu, Jhoni mulai sibuk menempelkan kertas-kertas baru ke dinding yang dilapisi stirofoam. Beberapa kertas berisikan jadwal ujian dan poster promosi universitas. Selebihnya karya kecil-kecilan seperti cerpen, puisi, dan artikel.
Selagi Jhoni mengerjakan urusannya, Monita tertarik dengan poster kejuaraan pencak silat tingkat provinsi yang terpajang di bagian paling atas. Bisa jadi kejuaraan itu yang akan diikuti Aceng. Tahap pendaftaran dan seleksi sudah berjalan hingga minggu depan.
Di bawah poster itu, ada beberapa karya tulis dari Anak Raja, salah satunya berupa kertas kecil berwarna hitam yang ditulis dengan tinta perak. Kertas itu bertuliskan puisi singkat berbahasa Inggris. Bukan isinya yang menarik Monita, melainkan gambar ikan kecil di akhir puisi. Gambar ikan itu familiar, mirip dengan stiker ikan yang Kana gunakan sejak SMP untuk melabeli alat tulisnya. Katanya, gambar ikan itu adalah representasi mas koki yang pernah dia pelihara saat kecil.
Tidak ada nama penulis. Tulisan tangannya pun bukan milik Kana.
"Ini karya siapa, Jhon?" Monita bertanya spontan.
Jhoni berpaling melihat puisi yang ditunjuk Monita. "Kenapa? Bagus?"
"Udah lama ditempel di sini?"
Jhoni berusaha mengingat-ingat. "Mungkin seminggu lalu," katanya.
"Lo tau siapa yang nulis?"
"Yang ngumpulin bahan dari luar bukan bagian gue. Gue pelaksana aja."
"Kalo bukan bagian lo, terus siapa?"
"Bidang redaksi, si Ikmal sama Mauren."
Monita tidak kenal Mauren, jadi kemungkinan dia anak kelas sepuluh. Namun, dia kenal Ikmal, yang juga hadir di pesta ulang tahunnya bersama rombongan Dirga.
"Ikmal wakil ketua OSIS? Yang duduk di sebelah Dirga, kan?" Monita mencoba memastikan.
"Benar. Tapi, biasanya susah ngorek info begituan. Soalnya kami punya peraturan nggak nyebar-nyebarin identitas penulis anonim."
Monita tidak merespons penjelasan Jhoni. Dia hanya menunggu Jhoni selesai menempelkan kertas terakhir, menutup kaca mading, membereskan kertas-kertas lama dan membuangnya ke tempat sampah sambil menerka-nerka penulis puisi itu. Jika kode ikan memang sengaja dimirip-miripkan dengan stiker Kana, berarti puisi itu memang untuk Kana. Apa mungkin dari Kak Felix?
Segera Monita mengeluarkan ponselnya dan mengambil beberapa foto. Kana berhak membacanya.
Setelah semuanya beres, Jhoni kembali ke klub Jurnalistik. Monita pun balik ke kelasnya sendirian. Saat menyusuri koridor dekat lapangan, terdengar suara rintik-rintik kecil dan dengan cepat menjadi hujan lebat. Monita memeriksa ke lapangan di kirinya. Sudah kosong. Di ujung koridor menuju aula, tampak sebagian murid-murid berseragam putih-hitam duduk di bangku panjang depan aula. Sebagian lagi berpencar menuju ruang kelas masing-masing.
Aceng di mana?
Monita segera mendapatkan jawaban begitu masuk ke kelasnya. Aceng duduk di bangkunya. Rambutnya yang biasanya sedikit mengembang tampak agak kuyup. Cowok itu hanya mengenakan kaus putih dan celana hitam. Seragam Merpati Putih yang dia kenakan tadi sudah berpindah ke kepala. Rambutnya sepertinya tidak mau kering dengan seragam itu. Ujung-ujung rambut di dahinya sedikit kaku dan tajam-tajam. Monita bisa melihat jelas alis gelap Aceng yang membingkai garis matanya yang tegas dan dalam. Bukannya misterius, seperti yang selama ini dianggap banyak orang, Aceng malah terlihat lebih nyata.
Monita berdeham kecil dan memutuskan duduk di bangku Risma. "Kirain kalian bakal tetap mandi hujan di lapangan," katanya ringan. Mungkin sedikit candaan bisa mengakrabkan mereka.
Aceng memiringkan badan supaya bisa melihat Monita, sambil masih berusaha mengeringkan rambutnya. "Tadi bukannya bareng Jhoni?"
"Oh, tadi dia minta dibantuin nempelin mading, bentar aja. Habis itu balik ke jurnalistik."
Aceng tidak bertanya lagi. Bahkan setelah selesai dengan urusan mengeringkan rambut, dia memilih fokus ke ponselnya.
Monita memeriksa sekeliling. Hanya ada tiga murid selain mereka. Satu ketiduran di barisan belakang. Dua lagi asyik menonton drama korea. Seharusnya situasinya aman untuk menyinggung masalah kado, tapi Monita tidak yakin apakah Aceng akan merasa nyaman.
"Ceng, soal kado ...." Monita memulai dengan ragu-ragu.
Aceng tidak beralih dari ponselnya, tapi tetap memberikan gestur mendengarkan.
"Minggu lusa ke kafe tantenya Dirga, yuk?"
Kali ini Aceng benar-benar mengangkat kepalanya dan membalas pertanyaan acak Monita dengan mata yang semakin menyipit. Monita curiga jangan-jangan Aceng sedang mencoba membaca pikirannya lagi. Kalau benar, seharusnya tidak masalah. Toh, dia sudah jujur di depan kios fotokopi Senin lalu. Tidak ada lagi rahasia yang mesti ditutup-tutupi. Hanya saja, dia belum terbiasa dipandangi seteliti itu.
"Gue kayaknya harus usut masalah ini," tambah Monita. Sekilas dia kembali memindai sekeliling untuk memastikan tidak ada yang menguping.
Dengan semakin memelankan suaranya, Monita melanjutkan, "Bisa jadi ada orang yang diam-diam ambil kado itu."
Aceng menaikkan satu alisnya. "Buktinya?"
"Sekarang gue nggak punya bukti. Tapi, nggak mungkin kadonya bisa hilang gitu aja."
"Mungkin lo salah letak."
Monita menggeleng dan mengambil ponsel dari saku roknya. Setelah mencari sebuah file, dia mengarahkan layar pada Aceng. "Masih ada di tumpukan kado pas acara potong kue. Tapi, hilang pas Dirga selesai nyanyi."
Aceng memperhatikan potongan video dan beberapa foto yang ditunjukkan Monita. Dalam foto saat acara bagi-bagi kue, ada lingkar merah yang menunjukkan kado biru gelap bertali emas di tumpukan kado. Namun, dalam video singkat berdurasi sepersekian detik, setelah Dirga menyelesaikan lagu terakhir, kado itu sudah tidak ada.
Penemuan itu sepertinya berhasil menarik perhatian Aceng. Setelah memutar ulang beberapa kali, tampangnya masih menunjukkan keraguan. Monita bisa memahami Aceng. Dia juga tidak pernah menduga akan ada aksi gelap di pesta ulang tahunnya. Ditambah, undangannya hanya sedikit dan semuanya adalah orang yang dia percaya. Teman-temannya juga tidak akan melakukan hal senekat dan sepecundang itu.
"Tujuannya apa?" tanya Aceng lebih kepada dirinya sendiri.
"Itu dia. Gue juga nggak yakin. Gue nggak punya musuh di sini. Dirga juga orangnya friendly. Tapi, mungkin aja pelakunya iri lihat gue bareng Dirga."
Monita sadar jawabannya barusan terdengar terlalu percaya diri sampai-sampai Aceng mengerjap skeptis. Tapi, dia tidak bisa memikirkan motif lain.
"Jadi, hubungannya dengan kafe tantenya Dirga, apa?"
"Ya ... gue curiga, bisa jadi pelakunya itu Anak Raja. Kalau benar, mungkin aja dia bakal datang juga ke sana."
"Berarti gue juga bisa jadi tersangka, dong?" tanya Aceng, membuat Monita terpancing.
"Iya juga, sih ...," kata Monita hati-hati. Dia tidak pernah memprediksi kemungkinan ini. Namun, ketika mengingat-ingat tindak tanduk Aceng sehari-hari di kelas, Monita segera menggeleng cepat. "Tapi, kayaknya lo ada di urutan terakhir, deh."
"Kenapa gitu?"
"Lo nggak mungkin suka sama gue, kan?"
Melihat perubahan sorot mata Aceng, dari yang awalnya penasaran menjadi syok total, Monita cepat-cepat meluruskan, "Maksud gue, pelakunya kan harus punya motif. Kalau lo yang ambil kado itu, buat apa coba?"
Aceng tampak kembali berpikir. Beberapa hari ini, Monita mulai terbiasa dengan gerak-geriknya di saat-saat serius. Pasti dimulai dengan tarikan napas pelan dan panjang dengan tatapan tenang ke satu titik, hingga akhirnya ditutup dengan dua-tiga kedipan seolah baru saja tersadar dari lamunan panjang.
"Coba pikir kemungkinan lain. Angkatan kita nggak ada yang aneh-aneh."
"Gue udah coba, tapi nggak ketemu. Nggak mungkin kadonya hil—" Sadar suaranya terlalu kencang, Monita menutup mulutnya erat-erat. Dua orang yang menonton serial drama mulai melirik aneh ke arah mereka. Monita berusaha keras melemparkan senyuman bersahabat.
Sebaliknya, Aceng malah tidak terpengaruh dan kembali bertanya santai, "Jadi, lo mau cari tau pelakunya?"
Monita mengangguk sekali tanpa gairah. "Tapi gue butuh bantuan lo."
"Caranya?"
"Ada dua pilihan."
"Yang pertama?"
"Minggu besok di kafe tantenya Dirga, pasti banyak Anak Raja yang bakal datang. Mungkin ... lo bisa ... hm ... semacam baca pikiran ... dan nemuin pelakunya. Mirip kasus kehilangan hape tahun lalu." Monita meringis. Ternyata sulit menjelaskan gagasan yang ada di kepalanya. Apalagi itu terdengar terlalu supranatural.
Reaksi Aceng makin memperparah rasa tidak percaya diri Monita. Aceng awalnya diam sebentar, lalu tertawa kecil. Garis matanya semakin tajam dan ada lekuk samar di kedua pipinya.
Jadi begini kalau Aceng tertawa, pikir Monita. Pemandangan itu membuat Monita tidak jadi tersinggung.
"Sorry, sorry, yang kedua apa?"
"Lo baca pikiran Dirga, cari tau isi kadonya apa."
Sebelum tawa Aceng keluar kembali, Monita cepat-cepat memastikan, "Mau bantuin, nggak?"
"Mending ngaku. Dia pasti bisa ngerti."
"Gue nggak bisa ngaku gitu aja," tolak Monita cepat.
"Kenapa?"
"Kalo gue ngaku, ntar Dirga jadi nggak percaya lagi ke gue, terus Delia sama Priska bakal tau gue bohong, dan gue nggak bisa buktiin sesuatu ke mereka."
Sekarang, Monita merasa di mata Aceng dirinya hanyalah remaja tidak tahu diri dengan gengsi setinggi langit.
"Kalau kado itu nggak sesuai harapan lo, gimana?"
Pertanyaan itu mendadak menghentikan sistem kerja di kepala Monita. Ucapan Delia kembali terngiang-ngiang di telinganya. Jangan-jangan isi kado itu sebenarnya nggak seistimewa yang kita duga.
Kenapa Aceng juga berpikir skeptis seperti Delia? Apakah di mata Aceng dia terkesan terlalu berangan-angan? Sambil menepis segala kegundahan yang mencuat, Monita menjawab yakin, "Apa pun yang Dirga kasih, pasti gue hargai."
Aceng tidak langsung menanggapi, malah semakin menimbang-nimbang. Meskipun pundaknya terlihat lebih tenang, tapi tarikan napasnya semakin dalam. Monita jadi teringat saat Merpati Putih melakukan pemanasan di lapangan tadi.
Apa ini pertanda Aceng akan mengambil keputusan yang bijak? Bijak di kamus Aceng sudah pasti menolak mentah-mentah. Siapa pula yang mau membantu orang yang lagi bohong? Monita ingin kembali membujuk, tapi dia menahan diri karena mungkin saja Aceng memang butuh waktu.
"Lo beneran nggak mau bantu?" Hanya pertanyaan final itu yang bisa dia lontarkan.
Setelah beberapa lama, Aceng akhirnya menjawab, "Gue pikir-pikir dulu."
🕶️