Kadonya menyangkut perasaan.
Bocoran kecil dari Dirga semalam jelas membuat Delia dan Priska semakin menggebu-gebu, menciptakan teror yang semakin intens. Sejak pulang dari kafe depan sekolah, notifikasi di ponsel Monita mengalir tanpa henti. Segala jenis bujukan terus menyerbu, mulai dari yang halus sampai yang mengintimidasi. Di obrolan grup, Delia bahkan sempat menuliskan daftar acara-acara yang akan dihadiri Dirga dua bulan ke depan.
Semua pesan yang mereka kirimkan memang terkesan sekadar sedang main detektif-detektifan. Hanya saja, siapa yang tidak cemas jika diberondong macam-macam pertanyaan seperti "jangan-jangan Dirga ngajak Momon nge-date" atau "jangan-jangan Momon mau dikenalin ke keluarga Dirga"? Sampai-sampai Monita harus menyembunyikan ponselnya ke dalam laci meja belajar, agar benda itu bisa enyah dari hadapannya barang semalam.
Anehnya, semakin tidak digubris, semakin giat mereka mengorek informasi. Besoknya, tepat saat bel istirahat berbunyi, Delia dan Priska sudah siap-siap berjaga di depan kelas Monita untuk menyeretnya ke kantin.
"Kana, lo coba deh bujuk Momon buat ceritain tentang kado itu."
Baru saja meletakkan pesanan mereka di meja kantin, Delia langsung mengeluarkan jurus baru. Dia mulai menghasut Kana yang sejak awal tidak memihak siapa pun. Monita mendelik tidak senang. Jelas sekali Delia sudah tidak sekadar main detektif-detektifan. Ini namanya praktik kecil-kecilan politik pecah belah.
"Bener! Sebagai teman, kita berhak tau, kan? Lo juga penasaran, kan?" tambah Priska.
Kana yang tadinya mencoba fokus mencampur bumbu siomai dengan saus sambal dan kecap, kini meringis putus asa. Monita bisa membayangkan betapa bingungnya terhimpit dua kubu seperti itu. Namun, dia tetap berharap Kana mau berpihak padanya.
"Gue juga penasaran, sih. Tapi, ya ... mau gimana. Momon nggak mau cerita. Kita sebagai teman mesti hargai privasinya juga, kan?"
"Privacy? Nggak fair, dong. Selama ini gue selalu cerita semuanya, especially kalo ada kabar baru tentang Dirga. Priska juga cerita pas dia dikirimin blackmail. Lo juga cerita pas Kak Felix deketin lo."
Lama-lama Monita merasa sedang jadi terdakwa dalam persidangan, dan Delia sedang membacakan tuntutan. Jus jeruk yang dia pesan mendadak hambar.
"Gue sih curiga Momon diam-diam jadian sama Dirga." Priska menambahkan tuduhan.
Belum sempat Monita angkat bicara, Delia segera membantah, "Nonsense. Kalo jadian, ngapain sembunyi-sembunyi? Toh, so far Momon terang-terangan deketin Dirga. Yang bikin gue heran, akhir-akhir ini gue merasa Momon agak menghindar dari Dirga. Even di kafe kemarin, kelihatan banget awkward gitu. Harusnya, kalo kado dari Dirga itu memang special, Momon bakal lebih dekat dengan Dirga, dong. Tapi, faktanya terbalik. Atau jangan-jangan isi kado itu sebenarnya nggak seistimewa yang kita duga."
Monita akui, Delia cukup jenius. Tapi, apakah dia harus terang-terangan mematahkan harapannya? Kesabarannya sudah melewati batas yang bisa ditolerir. Jelas saja dia tersinggung. Bagaimanapun, meskipun dia belum tahu apa sebenarnya yang Dirga berikan, peluangnya tetap 50:50. Masih ada kemungkinan jika kado Dirga benar-benar masuk kategori istimewa. Apalagi, itu tersirat jelas dari gelagat Dirga semalam.
Monita pun segera membela diri, "Lo itu terlalu banyak hipotesis. Dengar sendiri, kan, kemarin Dirga bilang kadonya agak pribadi dan menyangkut soal ... 'perasaan'?" Meski tidak sepenuhnya yakin, yang dia katakan tetaplah fakta.
"Tetap aja nggak makes sense buat gue, Mon. I know you so well. Semakin bernilai yang lo dapetin, semakin lo banggain hal itu di depan banyak orang. Dengan lo main rahasia-rahasiaan gini, gue malah makin curiga. Kenapa nggak lo langsung kasih tau aja secara general? Nggak mesti detail. Cuma bilang aja, entah itu undangan dinner, nonton bareng, atau apalah. Nggak ada ruginya."
Lagi-lagi semua analisis Delia tepat sasaran. Namun, Monita tetap tidak terima dibantai seperti itu. Tanpa pikir panjang, dia balik menyerang, "Del, gue penasaran, kenapa lo pengiiinnn banget tau isi kado itu? Seolah-olah ada yang mau lo buktiin. Lo mau buktiin kalo jam tangan lo itu paling berharga sedunia? Please, kita semua juga tau itu merek jam pasaran, banyak Anak Raja yang pakai. Bahkan, warnanya aja bukan lo banget. Atau, lo iri karena Dirga hampir nggak datang di ultah lo dan malah bawain dua lagu di ultah gue, jadi lo berusaha framing negatif ke gue?"
"Oke, Guys, kayaknya ini udah berlebihan, deh." Kana mencoba melerai.
Mereka bertiga tahu masalah Dirga yang datang terlambat ke ulang tahun Delia adalah salah satu hari terburuk Delia, dan mereka punya kesepakatan tak-tertulis untuk tidak pernah membahas hal itu di depan Delia. Monita sadar dia sudah melewati batas. Namun, menurutnya, Delia juga tidak berhak memaksanya menceritakan segala aspek kehidupannya. Delia juga tidak berhak menuduh dan menjatuhkan mentalnya. Dan yang paling parah, jelas sekali Delia sengaja memprovokasinya. Jadi, mati-matian Monita meyakinkan diri bahwa yang dia ucapkan tadi adalah bentuk perlawanan, bukan serangan.
"Halo, halo."
Di tengah-tengah diam-diaman singkat yang mencekam pasca-debat panas, Jhoni, Risma, dan Fara datang dari arah deretan gerai makanan sambil membawa pesanan masing-masing. Jhoni dengan semangkuk mi rebus, Risma dengan sepiring batagor, dan Fara dengan jus alpukat.
"Atmosfernya agak suram, ya," komentar Risma hati-hati, tampak menyesal telah memutuskan untuk mengambil meja di sebelah mereka.
Mungkin karena masih kesal dan malas beramah-tamah dengan orang luar, Delia segera beranjak dengan gerakan kurang santai, sembari memberikan kode pada Priska.
"Gue sama Priska balik duluan."
Kana mengangguk kecil dan tersenyum maklum, sementara Monita tidak merespons karena jelas-jelas Delia hanya pamit pada Kana.
"Habis perang?" tanya Risma setelah Delia dan Priska keluar kantin.
"Mau tau aja." Monita berdecak ketus. Meski begitu, sebenarnya dia lumayan lega. Kehadiran Risma, Jhoni, dan Fara berhasil menetralkan suasana. Setidaknya, jus jeruknya kembali terasa di lidahnya.
Risma tidak bertanya lagi. Dia hanya menaikkan bahu dan mulai menyantap batagor pesanannya bersama Fara.
Di sebelahnya, Jhoni menambahkan, "Udah, jangan bete, Mon. Dengerin lagu aja, kayak gue."
Monita baru sadar sejak tadi satu telinga Jhoni ditempeli perangkat nirkabel. Kepalanya bergerak-gerak kecil, seolah mengikuti irama lagu yang tengah dia dengar.
"Tumben lo denger-denger lagu." Kana menimbrung sambil mulai menyantap siomainya.
"Persiapan tugas Bahasa Inggris," jelas Risma.
Menjelang akhir semester, tugas-tugas mulai datang bertubi-tubi. Setelah TIK, kemarin lusa giliran guru pelajaran Bahasa Inggris yang memberikan tugas kelompok. Untungnya, kali ini tidak terlalu rumit dan dikerjakan duet bersama teman semeja. Mereka diminta untuk memilih satu lagu berbahasa Inggris dan menjelaskan kalimat-kalimat kiasan yang terkandung dalam liriknya. Bagian tersulitnya, beberapa kelompok yang terpilih akan diminta bernyanyi di depan kelas.
"Iya. Horor itu tugasnya. Gue, kan, nggak bisa nyanyi. Mana bahasa Inggris gue juga pas-pasan." Jhoni menambahkan.
"Kan, bareng Aceng juga."
"Ah, dia palingan bakal lip-sync kalau dipanggil ke depan. Malah gue yang disuruh dengerin lagu ini minimal 50 kali, katanya biar terbiasa. Ini udah mau yang ke-30."
Kana tertawa kecil begitu Jhoni menunjukkan tampang pilu. "Gue doain semoga kalian nggak terpilih nyanyi ke depan, ya, Jhon. Tapi biasanya doa gue jarang terkabul."
Jhoni tadinya ingin mengaminkan ucapan Kana, tapi ujung-ujungnya dia malah semakin manyun dan dengan kesal melepaskan perangkat nirkabel dari telinganya. "Kalian udah siap? Kok kayak nggak ada beban gitu?"
"Kita baru pilih lagu. Momon yang pilih, sih. Kebetulan lagunya udah lama banget. Kalo gue perhatikan, Miss Mia seleranya lumayan kekinian, jadi yang tampil ke depan palingan lagu-lagu hits aja."
Risma menyanggah, "Belum tentu. Westlife jadul juga, tapi tetap hits."
"Memangnya kalian pakai lagu apa?" tanya Fara.
"Yang dinyanyiin Dirga pas ultah gue. Lagu kedua tepatnya," jelas Monita. Entah kenapa lagu itu jadi terasa tidak semenyenangkan saat dia pertama kali mendengarnya.
Melihat senyum Fara yang tiba-tiba redup, Monita menyesali penjelasannya. Dua hari sebelum pesta ulang tahunnya, Fara terserang demam parah sampai-sampai harus dirawat di rumah sakit. Dia berkali-kali meminta maaf karena tidak bisa datang ke pesta Monita, padahal menurut Monita dia sama sekali tidak salah apa-apa.
Supaya Fara tidak kembali minta maaf, Monita segera memutar lagu yang dimaksud dari ponselnya. "Lagu lama, sih. Liriknya juga nggak terlalu ribet."
Saat mendengarnya, Fara sesekali mengangguk-angguk kecil mengikuti alunan musik. Sampai di bagian chorus, matanya membulat, seolah menemukan hal yang berharga. "Oh, gue tau lagu ini!" serunya, kemudian segera tersenyum kikuk karena merasa kelewat antusias.
Monita segera menekan tombol pause. "Oh ya?"
Fara mengangguk yakin. "Ini soundtrack series favorit gue. Stranger Things. Pantasan aja tadi rasanya kayak pernah dengar."
"Oh. Masuk akal. Dirga kan suka ikut tren, mungkin dia tau lagu itu dari sana, kali." Risma menimpali.
Monita berpikir sejenak karena teringat sesuatu. "Seingat gue, pas SMP lo suka nonton juga, kan, Na?"
Kana mengangguk ragu. "Itu karena gue ikut-ikutan kakak gue."
Jawaban Kana membuat wajah Fara semakin berbinar. "Ingat pas scene manis Eleven sama Mike di awal-awal season 3? Lagunya muncul di situ," katanya pada Kana. Sekarang meja mereka seperti sedang ada acara dadakan temu ramah antar-penggemar.
Kana tampak mengingat-ingat, tapi sepertinya memorinya sedang macet, barangkali karena kekenyangan siomai bandung. "Kayaknya gue mesti nonton ulang," jawabnya pasrah, agak merasa bersalah karena tidak bisa memuaskan antusiasme Fara.
"Iya, sih, memang udah agak lama." Fara mengangguk maklum. "Terlepas dari itu, Moni beruntung banget, bisa dinyanyiin lagu ini. Romantis banget. Gue doain kalian bisa keluar dari friend-zone, ya."
Monita tidak tahu harus merespons apa. Pertama, baru kali ini dia mengobrol panjang dengan Fara. Kedua, sepertinya dia harus melihat adegan Eleven-Mike itu untuk tahu seberapa manis dan romantis yang Fara maksud. Dan apa tadi? Keluar dari friend-zone? Monita senang mendengarnya, tapi ada secuil keraguan yang muncul. Jika mengingat liriknya lagi, tema lagu itu memang tidak jauh-jauh dari "sahabat jadi cinta". Apa memang Dirga menganggapnya sebagai sahabat? Monita tidak sepenuhnya yakin. Selama ini mereka tidak seakrab itu.
Di tengah keraguan Monita, satu lagi tamu tak-terduga bergabung dengan mereka. Aceng datang membawa sepiring nasi goreng dan duduk di seberang Jhoni.
"Makanya, gue bilang apa, jangan beli nasi goreng Bu Indah pas Anak IPS ada pelajaran Penjas. Lama, kan, ngantrinya," ledek Risma.
"Iya. Kalo gue buka jasa calo ngantri, pasti laku." Aceng menanggapi santai sambil mulai menyantap nasi gorengnya.
"Ceng, kita kayaknya mesti ganti lagu," usul Jhoni tiba-tiba.
Aceng balas bertanya dengan kedua alisnya.
"Biar nggak dipilih ke depan. Katanya, Miss Mia suka sama lagu-lagu zaman now."
"Emang kalian pilih lagu apa?" tanya Kana.
"New Light, John Mayer. Favoritnya Aceng, tuh."
Entah karena terlalu buru-buru menelan nasi goreng, atau karena tidak terima dengan jawaban Jhoni, Aceng terbatuk-batuk saat itu juga. Jika alasan yang benar adalah yang kedua, Monita bertanya-tanya apa yang salah. Memangnya suka dengan lagu John Mayer termasuk aib yang mesti disimpan rapat-rapat?
Jhoni segera membatalkan permintaannya tadi. "Jangan panik lah, Ceng. Ya udah, nggak jadi diganti. Pake lagu ini aja, nggak masalah."
Aceng berdecak kesal setelah minum beberapa teguk. "Memangnya lo tau lagu lain?"
Jhoni menggeleng cepat.
"Ya udah. Lagian, kalo disuruh maju, tinggal nyanyi aja. Bisa baca lirik juga. Awas kalo lo lip-sync."
Menyaksikan keributan kecil di hadapannya, Monita berkesimpulan tugas Bahasa Inggris kali ini ternyata jadi masalah serius untuk Jhoni dan Aceng. Ternyata, dua cowok yang selama ini terkesan pemberani di matanya ternyata bisa panik juga hanya karena disuruh bernyanyi di depan kelas.
Sementara Jhoni dan Aceng masih sibuk saling menuduh siapa yang sebenarnya berniat lip-sync, Risma membuka topik baru, "Oh iya, Na. Sebenarnya gue tadi mau minta foto-foto pas di pesta Moni. Gue lihat semalam lo posting beberapa di IG. Boleh, kan?"
Monita jadi teringat, semalam Kana mengirim tautan ke folder yang berisi foto dan video ulang tahunnya. Semua sudah selesai diedit. Namun, dia belum sempat melihat-lihat secara menyeluruh karena pikirannya terus terganggu dengan rentetan pertanyaan Delia dan Priska.
"Oh, gampang. Ntar gue kumpulin semua foto yang ada lo," janji Kana.
"Sip, jangan lupa yang rame-rame ini juga, ya," tambah Risma sambil menunjukkan foto yang dimaksud dari ponselnya.
Monita sempat melihat sekilas. Foto itu diambil setelah acara potong kue, sesaat sebelum Dirga tampil di panggung. Mereka berfoto di dekat kue ulang tahun yang sudah habis setengah. Sebagian besar tamu dalam foto itu adalah teman sekelasnya, dan tampak jelas saat itu dia masih memegang kado dari Dirga.
Penemuan itu mendadak menyingkirkan beberapa kabut hitam yang selama ini mengganggunya. Foto dan video ulang tahun yang diambil Kana bisa jadi menyimpan banyak petunjuk. Tidak semestinya dia telantarkan begitu saja. Monita berjanji akan memulai investigasi pulang sekolah nanti.
🕶️