Yang Masih Tersisa dari Aku
Angin laut menyapu lembut jendela bambu rumah kecil itu. Di dalamnya, seorang pria terbaring di atas dipan kayu. Tubuhnya penuh bekas luka, kakinya dan kepalanya masih diperban, dan punggung kirinya dipenuhi memar yang belum hilang.
Christian membuka mata dengan napas berat. Rasa sakit di punggungnya masih seperti semalam tapi dada nya jauh lebih sakit lagi karena kenyataan yang paling menyakitkan—bahwa Nafa tak ada di sisinya.
Di kursi dekat tempat tidur, Kevin, sahabat lamanya, memeriksa botol infus dan perban dengan gerakan terampil. Bukan perawat resmi—hanya anak jalanan yang pernah ikut pelatihan darurat saat Adam masih jadi “raja pasar”.
“Lu gila, Chris,” gumam Kevin. “Tapi gue ngerti kenapa lu bela mati-matian cewek itu.”
Christian tidak menjawab. Ia hanya menatap langit-langit.
“dimana dia sekarang?” Suaranya parau, hampir seperti bisikan.
Kevin menarik napas. “Adam membawa dia ke Amerika”
Christian menutup mata. Sekilas, senyum tipis muncul di wajahnya. Tapi cepat lenyap, digantikan oleh gurat cemas.
“Gue harus cari dia.”
Kevin langsung menatapnya tajam. “Belom. Lu bahkan belum bisa jalan normal.”
“Aku nggak peduli... Dia pasti nyari aku, Kev.”
Kevin menggeleng. “Nggak. Semua orang pikir lu yang mati. Marco hancur nggak dikenali. Jaket, helm, motor—semua punya lu. Itu kenapa polisi dan semua orang salah sangka.”
Christian menatap lurus ke luar jendela, ke garis laut yang membentang jauh.
“Aku bukan cowok yang sama, Kev. Aku udah bawa dia ke arah yang salah. Aku kalah. Dan hampir ngerenggut nyawanya.”
Ia menunduk.
“Aku cuma akan nyakitin dia kalau muncul sekarang.”
Kevin terdiam. Mungkin untuk pertama kalinya, sahabatnya itu bicara dengan suara orang dewasa, bukan anak motor yang semaunya sendiri.
“Tapi aku akan sembuh,” lanjut Christian. “Gimanapun caranya. Karena aku harus pastikan dia bahagia. Entah... sama aku. Atau... dengan orang lain.”
---
Beberapa bulan berlalu. Christian mulai belajar berjalan lagi. Luka-lukanya perlahan membaik. Tapi malam-malamnya masih dihantui oleh suara klakson truk, oleh tubuh Nafa yang limbung, dan oleh suara hatinya yang tak pernah diam.
Di tengah latihan fisik yang menyakitkan, Christian membuka ponsel lamanya—yang selama ini ia simpan tapi tak pernah berani dinyalakan.
Ia memasang kartu SIM baru. Membuka kembali sosial media.
Sudah hampir enam bulan sejak malam kelam itu. Tubuh Christian memang belum sepenuhnya pulih, tapi semangatnya sudah terbakar sejak lama. Luka-luka di wajahnya perlahan hilang, tapi luka di hatinya justru menganga lebar setiap malam.
Di rumah petak tua milik Kevin, Christian menatap cermin. Rambutnya mulai tumbuh kembali, wajahnya tak asing lagi... hanya saja mata itu — mata yang dulu menyala dengan semangat bebas — kini redup, penuh beban.
“Lo yakin udah cukup kuat buat keluar?” tanya Kevin dari ambang pintu.
Christian menoleh dan mengangguk. “Gue gak bisa diem aja, Kev. Nafa... Titto... semua orang pasti ngira gue udah mati.”
Kevin diam sejenak, lalu berjalan masuk dan meletakkan map di atas meja. “Ini... info terakhir yang gue dapet. Gue susah payah cari ini sambil tutup-tutupin lo dari orang-orang.”
Christian mengambil map itu dengan tangan gemetar. Di dalamnya ada cetakan media sosial, screenshot akun lama Emilia, potongan story Iriantie, dan Resort tempat mereka kerja dulu.
“Terima kasih, Kev,” gumam Christian lirih.
Kevin menghela napas. “Lo tau kan... kalau lo muncul, semuanya bakal ribet? Lo dianggap udah mati. Gue yang urus KTP palsu, kartu medis, semua demi nutupin jejak lo.”
Christian menatap sahabatnya dengan mata bersinar. “Gue harus tau apa yang terjadi sama Nafa. Gue harus lihat sendiri kalau dia... baik-baik aja.”
Kevin menahan kata-katanya. Ia tahu, sejak sadar dari kritis, Christian cuma punya satu tujuan — mencari Nafa.
Malam itu juga, Christian berjalan perlahan ke luar rumah. Udara malam menusuk tulangnya, tapi langkahnya mantap.
---
Beberapa hari kemudian...
Jawel Palace..
Christian berdiri beberapa meter dari sana, mengamati dari kejauhan.
Seorang pria tinggi dengan rambut keriting dikuncir keluar dari dalam, tertawa bersama dua orang lainnya.
Titto.
Christian menahan napas. Ingin berlari, memanggil, memeluk. Tapi keraguan menghantam lebih keras daripada rasa rindu.
Titto menoleh, seakan merasakan tatapan itu.
Mata mereka bertemu.
Titto mendadak terdiam. Tertawanya berhenti. Mulutnya setengah terbuka.
“Chris…?” bisiknya nyaris tak terdengar.
Christian melangkah maju. Senyum tipis muncul di wajahnya. “Hai, bro.”
Titto menjatuhkan gelas plastik di tangannya. Lalu dalam satu tarikan napas, ia berlari dan memeluk Christian kuat-kuat. “GILA! GILA! Lo hidup, anjir! Sumpah... semua orang ngira lo udah mati!”
Mereka terdiam dalam pelukan itu, napas Titto terdengar tercekat.
“Lo ke mana aja?! Kenapa lo gak kasih kabar?!”
Christian melepaskan pelukan. “Panjang ceritanya, bro. Tapi intinya... gue hidup, dan gue balik.”
Titto tertawa kaku, masih tak percaya. “Lo... lo beneran... Ya Tuhan. Gue gak mimpi, kan?”
Christian menggeleng pelan.
Titto menarik napas dalam-dalam, lalu memandang sekeliling. “Chris... yang lain harus tau. Kita harus hubungin Iriantie, Emilia, Tit... siapa aja.”
Christian menggeleng cepat. “Gak, belum. Gue belum siap untuk ramai-ramai. Gue butuh ketemu seseorang dulu.”
“Siapa?” tanya Titto, penasaran.
Christian menatap mata sahabatnya dalam-dalam. “Nafa.”
Titto terdiam.
“…Nafa?” ulangnya pelan.
Christian mengangguk.
Titto menggeleng lambat. “Gue udah lama banget gak denger kabar dia. Sejak elo hilang... dia juga kayak hilang. Gue gak tahu sekarang dia di mana, atau jadi apa. Kita semua tercerai setelah itu terkahir kabar dia dibawah ke Amerika saat koma.”
Christian menunduk. “Lo gak tahu dia gimana sekarang?”
“Enggak. Gak ada kabar. Gue... gak punya keberanian buat nyari juga. Semua dari kita kayak trauma, Chris. Semua ngerasa... kehilangan lo itu pukulan paling dalam.”
Christian menatap kosong ke depan. “Gue pikir lo yang paling mungkin tahu.”
Titto mengangkat bahu. “Sorry, bro. Gue benar-benar gak tahu, semenjak kejadian malam itu kita gak pernah bahas lagi tentang kalian berdua, karena terlalu sakit"
Christian mengangguk pelan. “Gak apa-apa. Gue akan cari sendiri.”
Titto ragu. “Lo yakin, Chris? Setelah semua ini... lo masih mau nemuin dia?”
Christian menatap langit gelap. “Karena semua ini... gue harus nemuin dia.”
JEJAK YANG HILANG
Tiga tahun telah berlalu sejak kecelakaan maut di pinggiran kota — malam yang merenggut nyawa seseorang dan mengubur banyak jawaban dalam diam. Kasus itu lama ditutup, ditandai dengan satu jenazah hangus yang diyakini sebagai Christian, pemuda dari geng motor yang dikabarkan hilang malam itu bersama seorang perempuan.
Namun, segalanya berubah.
---
Kantor Kepolisian Wilayah Timur – Pukul 08.47 Pagi
Seorang staf administrasi menemukan email masuk di alamat umum kepolisian. Pengirimnya anonim. Tanpa subjek, hanya satu kalimat pendek:
> "Yang mati malam itu... bukan dia."
Terlampir sebuah video berdurasi 28 detik dari kamera CCTV jalan. Isinya: dua sosok terlihat dalam keremangan. Seorang pria menarik perempuan muda naik ke motor dengan paksa. Hanya satu motor. Tidak ada pengejar. Motor melaju sendiri, lalu… kilatan lampu truk dari sisi jalan. Dentuman keras. Kobaran api.
Petugas jaga langsung membawa file tersebut ke penyidik senior, Pak Heru.
“Ini dari email umum, Pak. Bisa jadi hoaks, tapi… kalau benar, ini bisa membalik semua.”
Pak Heru memandangi layar laptop dalam diam, lalu berdiri. “Panggilkan tim forensik. Buka kembali arsip kasus kebakaran kendaraan 3 tahun lalu. Saya mau lihat laporan lengkap, terutama identifikasi korban.”
---
Beberapa Hari Kemudian
Penyelidikan kembali dibuka. Petugas menggali ulang laporan jenazah yang dulu ditemukan terbakar bersama puing motor Kawasaki merah. Laporan awal mencatat adanya kalung, HP yang hangus, dan tato kecil berbentuk segitiga di jari tengah korban.
Saat itu, jenazah langsung disimpulkan sebagai Christian, karena motor yang dikendarai miliknya, dan kalung yang diduga milik Nafa — perempuan yang sempat dikabarkan hilang bersamanya malam itu.
Namun, hasil DNA yang baru dibandingkan dengan arsip medis Christian menunjukkan ketidaksesuaian total.
---
Ruang Interogasi – Kantor Polisi
Langit menggantung kelabu. Hujan deras. Dimas — teman lama Christian dan Marco dari geng motor — duduk di depan penyidik.
Pak Heru menggeser sebuah foto ke arahnya. “Kamu kenal tato ini?”
Dimas mengangguk perlahan. “Segitiga kecil... Itu milik Christian dan Marco. Mereka bikin bareng waktu SMP. Katanya simbol persahabatan mereka. Kalau satu mati, yang satu lagi harus hidup dengan lebih berani.”
Pak Heru mencondongkan tubuh. “Kami pikir ini Christian. Tapi kami baru dapat laporan DNA. Tidak cocok.”
Dimas terlihat tegang. “Kalian pikir... yang mati itu Marco?”
“Kami belum bisa pastikan,” jawab Pak Heru, lalu menyodorkan beberapa foto barang bukti. “Kalung ini ditemukan di lokasi kejadian.”
Dimas menyipitkan mata. “Itu... kalung cewek yang di bawah Christian, tapi Aku pernah lihat di dompet Marco
ada foto cewek itu... Hmmm Nafa kalau tidak salah.”
Pak Heru saling pandang dengan timnya.
Satu petugas muda bergumam, “Jadi Christian mungkin masih hidup?”
Dimas menutup mulutnya, tubuhnya sedikit limbung. “Dia sudah lama berhenti dari geng beberapa beberapa bulan sebelum kejadian, Christian sudah tidak pernah lagi muncul di arena balap. Lalu tiba-tiba hari itu dia menghubungi saya, bahwa dia akan datang malam itu... Tiba-tiba meraka bertiga hilang. Sampai beberapa jam setelah nya kami mendengar kematian Christian. Marco Tidak ada kabar bertahun-tahun jejaknya hilang. Kami pikir dia kabur karena rasa bersalah...”
Pak Heru menatap layar CCTV yang diputar ulang. Satu motor. Satu pria. Satu perempuan.
Tak ada pengejar. Tak ada saksi lain.
Dan mayat itu... bukan Christian.