Hari ini aku sudah mulai mencicil mengemasi barang-barang sebab seminggu lagi aku akan resmi merantau ke Yogyakarta. Barang pertama yang aku pilih untuk dibawa ke Yogyakarta adalah setumpuk novel-novel yang belum selesai aku baca dan yang masih tersegel. Mungkin ada sekitar tiga puluh novel yang sedang aku pilah-pilih mana sekiranya bisa aku bawa sebab Ibu mengatakan bahwa aku hanya boleh bawa tidak lebih dari sepuluh novel.
Saat sedang memilih-milih sekaligus merapikan tumpukan novel, aku melihat ujung strip foto muncul dari dalam salah satu novel. Saat aku membukanya, aku cukup terkejut melihat foto diriku dengan Zaki yang terlihat begitu romantis. Itu adalah satu strip foto lainnya yang aku simpan dan gunakan sebagai pembatas buku.
Novel yang berisi strip foto ini mengisahkan tentang kehidupan asrama sepasang kekasih yang saling menyembuhkan trauma. Setelah kejadian malam yang menegangkan sekaligus mengejutkan, aku sengaja membaca novel yang menurutku cocok sekali dengan apa yang terjadi kepada kami. Aku sudah mengintip ending cerita yang menunjukkan pasangan tersebut berhasil menyembuhkan trauma mereka dan hidup bahagia. Tentu saja aku juga ingin hal tersebut terjadi kepada kami sehingga aku bertekad membacanya, anggap saja sebagai doa bagi hubungan kami. Akan tetapi, novel adalah cerita fiksi. Hubungan kami berhenti persis seperti di bab terakhir yang aku baca, yang mengisahkan pertengkaran pertama dan awal hubungan mereka menjadi renggang.
Sekarang aku jadi bertanya-tanya, apakah dengan aku melanjutkan membaca novel ini hingga selesai, hubunganku dengan Zaki bisa membaik kembali seperti hubungan pasangan di novel ini?
Keesokannya aku mengirimkan pesan kepada Zaki untuk menemuiku di taman, tempat kami saling mengasih. Aku tidak berharap besar Zaki akan datang menemuiku sebab pesanku pun tidak kunjung dibalas olehnya.
Sesuai jam janji yang aku tentukan, kini, aku telah sampai di taman yang masih sama seperti dua tahun lalu. Taman yang penuh dengan pasangan muda-mudi yang bermesraan, keluarga kecil yang bermain bersama, hingga pedagang yang berjualan. Hanya satu yang belum juga aku lihat, yaitu pengamen bergitar marun yang bernyanyi untukku.
Sudah satu jam aku menunggu, tapi Zaki tidak kunjung datang. Mungkin sepertinya aku terlalu berharap dia akan datang cepat seperti saat aku menghubunginya selepas membunuh puluhan merpati.
Lucu sekali. Kami sudah tidak memiliki hubungan. Mana mungkin Zaki akan rela-rela datang hanya karena aku memintanya datang. Aku siapanya?
“Maaf udah bikin kamu nunggu lama.”
Astaga. Ini sudah seperti di film-film saja. Di mana ketika sudah putus asa menunggu kedatangan pasangan selama berjam-jam, pasangan mereka akan datang. Sayangnya, Zaki sudah bukan pasanganku.
Kehadiran Zaki ternyata masih bisa membuat aku kikuk. Namun, aku sempat meliriknya hingga cukup dibuat terpesona dengan penampilan Zaki yang baru. Dia sudah tidak memakai kaos hitam, celana cargo krem, dan juga tidak ada gitar marun yang terselempang di punggungnya. Malam ini dia mengenakan celana jeans hitam yang dipadu padankan dengan kaos putih lengkap kemeja flanel kotak-kotak sebagai outer. Rambut gondrongnya yang biasa diikat half bun telah dia potong pendek. Penampilannya malam ini cukup membuat Zaki terlihat seperti orang lain.
“Apa kabar, Ki?” tanyaku setelah Zaki duduk dengan baik di sebelahku, seperti dulu.
“Baik. Kamu apa kabar, Ra?”
Ternyata setelah dua tahun hubungan kami berakhir, Zaki masih memanggilku ‘Ra’. Panggilan mainstream yang juga orang-orang pakai untuk memanggilku, tetapi entah mengapa aku merasa berbeda saat Zaki yang memanggilku. Terasa begitu spesial.
“Baik juga.”
“Saya yang nggak baik ke kamu, Ra.”
Senang rasanya mendengar bahwa Zaki tahu perbuatannya kepadaku itu buruk juga tidak romantis.
“Maafin saya, Ra.”
“Udah lama juga, Ki.”
“Tapi kamu benar, Ra. Kamu bukan ayah saya. Enggak seharusnya saya lakuin itu ke kamu.”
Aku hanya bisa diam seolah kehabisan kalimat untuk merespons ucapan Zaki.
“Saya tahu betul perbuatan saya ke kamu itu buruk. Saya juga tahu betul perbuatan saya pasti susah sekali untuk kamu maafkan, tapi saya tetap mau minta maaf sebesar-besarnya ke kamu, Ra. Maafin saya udah buka trauma kamu.”
“Sekarang udah hilang, kok, Ki.”
“Sekali lagi maafin saya, ya, Ra.”
Kepalaku hanya mengangguk-angguk tanpa berani menoleh pada Zaki yang duduk di sebelahku.
“Aku minta kamu datang ke sini bukan karena mau denger permintaan maaf dari kamu, kok, Ki. Aku minta kamu datang ke sini buat perbaiki hubungan kita yang berakhir buruk.”
“Kenapa hati kamu masih setulus itu, Ra? Saya bukan lagi orang baik seperti yang selalu saya bilang ke kamu.”
“Setiap orang, kan, punya sisi baik dan buruknya masing-masing, Ki. Dan aku udah lupain sisi buruk kamu.”
“Semudah itu?”
“Nggak mudah, Ki,” kataku akhirnya berani menoleh kepada Zaki yang melihatku dengan wajah kebingungan.
Aku menghela napas berat. Tujuanku kemari bukan untuk membahas perbuatan Zaki kepadaku di masa lalu. Maka, aku pun mengganti topik pembicaraan kami dengan membuka rantang yang aku bawa. Sambil membukanya satu per satu, aku berkata kepada Zaki, “Sekarang aku udah jago masak, Ki. Kamu harus coba masakan aku. Aku jamin kamu bisa nambah sampai lima kali.”
Zaki tertawa kecil. Saat aku mendongakkan wajah, dia terlihat menatapku dengan tatapan meremehkan. Itu Zaki yang aku kenal.
“Kamu nggak percaya?” tanyaku.
Zaki menggelengkan kepala sambil tersenyum miring. “Mana ada yang bisa masak lebih enak dari saya, Ra. Apalagi kamu yang tahunya cuma makan.”
Kalimat Zaki begitu menyakitkan untuk aku dengar. Ternyata begini rasanya saat seseorang tidak mempercayai kemampuan kita. Pantas saja dulu Zaki terlihat lebai di mataku saat aku tidak mempercayai kemampuan memasaknya. Sekarang, gantian aku yang merasakannya.
“Coba dulu baru boleh komentar,” kataku mempersilahkan Zaki mencicipi masakan yang aku bawa.
Zaki terlihat masih tidak percaya sambil terus menatapku seolah bertanya-tanya apakah masakanku ini aman untuknya.
“Enggak aku racun.”
“Saya juga nggak kepikiran sampai sana, Ra.”
“Terus kenapa masih ragu-ragu?”
“Saya nggak yakin aja.”
Bibirku manyun mendengar jawaban Zaki yang masih terasa menyakitkan. Kesal karena Zaki tidak kunjung mencicipi masakan yang sudah susah-susah aku buat sejak tadi siang membuatku mengalihkan arah dudukku menjadi sedikit membelakanginya, “Yaudah, sih. Kalau kamu enggak mau, aku enggak maksa.”
“Itu maksa, Ra. Iya…iya…ini saya coba masakan kamu.”
Aku masih tidak mau kembali duduk menghadap Zaki.
“Ra, ini beneran kamu yang masak?”
“Iyalah. Siapa lagi?”
“Bukan Tante yang masak?”
“Bukan!”
“Kok enak, Ra.”
Mataku melotot dibuatnya. Segera aku membalikkan badan menghadap ke Zaki yang telah melahap nasi uduk dengan lauk ayam kecap buatanku.
“Beneran enak?” tanyaku sambil memberikan wajah penuh harapan.
Zaki mengangguk. Mulutnya masih penuh nasi, tetapi tetap menjawab pertanyaanku sehingga beberapa nasi keluar dari sana.
“Saya nggak bohong, ini lebih enak dari masakan saya, Ra.”
“Lebih enak dari doro kecap, kan, Ki?
Pertanyaanku membuat Zaki membeku beberapa detik hingga dia mengangguk setuju.
“Apalagi kamu yang masak, Ra.”
Bibirku tersenyum mendengar kalimat Zaki yang aku tahu betul kali ini adalah sebuah kebenaran.
“Berarti aku bisa saingin kamu buat dapetin seratus juta, ya, Ki?”
Kini, Zaki memberikan tatapan tajam kepadaku. Masih sambil menyendok nasi, dia berucap, “Jadi itu alasan kamu belajar masak? Buat saingin saya, Ra?”
“Bercanda, Ki,” jawabku disusul tawa kecil.
Namun sebelum Zaki bersuara, aku membenarkan posisi dudukku untuk benar-benar tepat menghadap Zaki seperti saat jarum jam menunjuk tepat di angka dua belas. Bahkan aku sampai mengangkat kakiku untuk duduk bersila di atas tribune. Zaki yang melihatku mengubah posisi duduk jadi ikutan mengubah posisi duduknya persis sepertiku sambil wajahnya memberikan ekspresi mempersilahkanku untuk berbicara.
“Tapi, ya, Ki. Menurut aku kamu lebih cocok jadi penyanyi daripada chef. Suara kamu bagus tahu.”
“Kalau bisa dua-duanya kenapa satu, Ra?”
“Itu namanya maruk. Enggak baik. Jadi orang nggak boleh serakah, Ki,” jawabku yang hanya direspons anggukan kepalanya yang terlihat mengejekku. “Eh, tapi bukan berarti aku bilang gini karena aku mau jadi chef, ya. Aku bilang gini karena aku mau bukan cuma aku yang tahu kalau suara kamu merdu.”
“Kamu kangen saya nyanyiin, kah, Ra?” tanya Zaki setelah menghabiskan masakanku. Dia pun menutup kembali rantang yang tadi aku buka.
“Sedikit.”
“Kalau saya nyanyiin kamu lagi kayak dulu, di tengah taman sana,” kata Zaki menunjuk amphitheater di tengah tribune yang melingkar, “Saya bisa dapetin hati kamu lagi, nggak, Ra?”
Aku tersenyum pada Zaki yang juga tersenyum kepadaku. Terlihat dari wajah Zaki dia masih mengharapkan hubungan kami kembali seperti dahulu. Namun, tujuanku menemuinya untuk memperbaiki hubungan kami bukan untuk kembali seperti dulu.
“Kamu bakal jadi memori terindah untuk aku ingat di masa depan, Ki.”
Zaki tersenyum sinis sambil mengalihkan pandangannya dariku. “Bohong. Kamu ajak saya ketemu karena kamu mau kita kayak dulu lagi, kan, Ra?” tanyanya sambil kembali menatapku sinis.
Kepalaku menggeleng pelan. Hubunganku dengan Zaki telah berakhir dua tahun lalu dan aku tidak mau memulainya kembali.
Kemarin aku telah menamatkan novel yang sempat aku tunda membacanya karena berakhir dirawat di RSJ. Novel tentang dua sejoli yang saling menyembuhkan trauma dengan happy ending yang aku intip ternyata memiliki arti happy yang berbeda. Setelah aku membacanya hingga tamat, ternyata di ending ceritanya dua sejoli itu memutuskan untuk berpisah dengan baik-baik sebab mereka sadar bahwa mereka berdua bukanlah dokter yang dapat menyembuhkan trauma pasangan mereka.
Menamatkan novel tersebut membuatku ingin mengakhiri hubungan kami dengan baik-baik, dengan tidak ada dendam, dan dengan perpisahan yang indah. Makanya aku mengajak Zaki bertemu di sini.
“Semuanya udah berakhir, Ki. Tapi aku enggak mau semuanya berakhir malam itu, makanya aku ajak kamu ketemu di sini buat akhiri hubungan kita dengan baik-baik.”
“Emang enggak bisa kita ulang dari awal lagi, ya, Ra?”
“Maaf, Ki. Aku enggak bisa.”
Zaki mengangguk-angguk seolah dia telah paham perasaanku.
“Malam ini kita akhiri semuanya dengan baik-baik ya, Ra. Izinkan saya buat nyanyiin kamu untuk terakhir kalinya,” kata Zaki dengan senyumnya yang gemetar.
Aku mengangguk sambil tersenyum lebar. “Aku mau, tapi emang kamu bawa gitar, Ki?”
“Gampang itu. Tunggu lima belas menit, ya, Ra.”
Zaki telah berlari setelah aku menganggukkan kepala. Namun, aku menjadi terdiam saat Zaki beranjak dari duduknya. Pasalnya aku jadi bisa melihat sebuah gantungan kunci motor yang tergantung di belt loop celananya. Itu adalah gantungan kunci yang pernah aku berikan untuknya sebagai hadiah. Aku tidak pernah menyangka Zaki masih menyimpan gantungan kunci itu.
Lima belas menit kemudian Zaki datang dengan dua laki-laki yang dua tahun lalu juga membantu Zaki membawakan salon dan microfon. Zaki juga terlihat memasuki amphitheater yang ramai dengan sebuah gitar listrik di gendongannya.
Kehadiran Zaki tentu saja mengundang perhatian para pengunjung taman. Mereka bahkan sudah mengerubungi Zaki, siap menonton penampilannya. Begitu pun aku yang duduk di tribune juga telah siap menonton penampilannya.
“Selamat malam semuanya. Malam ini saya akan menjadi memori indah dalam ingatan perempuan yang saya cintai. Meskipun hubungan kami telah berakhir, tapi cinta saya masih penuh untuknya.”
Dari sini aku bisa melihat Zaki terus memandangku dari kejauhan sambil menyunggingkan senyum. Ternyata, dia masih sama seperti dulu. Romantis, bahkan hanya dari tatapannya matanya.
“Dara, kamu juga telah menjadi memori indah dalam hidup saya. Maaf dan terima kasih pernah hadir.”
Zaki mulai memetik gitar. Para pengunjung terlihat sudah mulai mengangkat ponsel mereka. Nyanyian Zaki akan abadi dalam ingatanku juga dalam layar kaca.
Setangkai mawar curianku buat kamu jadi milikku
Tapi kamu masih malu seperti mawar yang masih kuncup
Beribu cerita lucu tak pernah ku dengar getaran kelopakmu
Namun malam itu di bawah hujan kamu mekar, Sayang
Mawar pun malu melihat senyummu
Lesung pipimu dia tidak punya
Mawar pun malu melihat tawamu
Lesung pipimu dia tidak punya
Mawar curianku layu dalam semalam
Senyummu mekar abadi tidak pernah padam
Dan aku di sini terus bergumam,
Sayang, senyummu itu hanya milikku seorang bukan?
Ini lagu yang asing. Tidak pernah aku mendengarkan lagu ini sebelumnya. Bahkan, para pengunjung di sebelahku juga bertanya-tanya lagu apa yang dinyanyikan oleh Zaki.
Jika benar ini adalah lagu ciptaan Zaki, aku begitu tersanjung dibuatkan lagu secantik ini.
Selama penampilan, Zaki terus memandangku sambil tersenyum. Aku pun membalas senyumannya sambil terus memandangnya dari atas sini.
Zaki telah menyelesaikan penampilannya. Sorak sorai tepuk tangan mengudara, tidak terkecuali aku. Namun, Zaki masih tetap memandangku dari bawah sana dengan senyum lebarnya. Dia terdiam menatapku seolah menunggu respons dariku atas penampilannya barusan
Aku pun memberikan dua jempol untuk penampilannya yang begitu cantik dan romantis malam ini. Zaki benar-benar akan menjadi memori indah dalam ingatanku.
“Makasih untuk semuanya, Ki,” ucapku yang pasti tidak bisa di dengar oleh Zaki.
Malam ini, seperti lagu yang baru saja Zaki nyanyikan, aku telah menjadi mawar mekar dengan senyum lesung pipiku yang membuat mawar asli malu melihatnya.
* * *