Dulu, setiap kali guru menanyakan apa cita-citaku, dengan bangga aku akan menjawab ‘dokter hewan’. Kata Ibu, sejak kecil aku memang suka sekali dengan hewan. Banyak anak kucing kampung yang aku bawa pulang untuk dirawat. Selain itu, aku juga berani sekali menangkap kecoa dengan tangan kosong yang mengganggu Mas Yanto belajar. Atau saat aku dan teman-teman kampung pulang dari sekolah melewati anjing nakal milik salah satu warga. Bukannya kabur seperti yang lain, aku malah mendekatinya untuk memberikan separuh sosis yang aku beli di depan sekolah. Bahkan, aku masih ingat pernah menangis hebat saat Dodo mogok makan. Aku merengek meminta Bapak untuk membawa Dodo ke dokter hewan. Saat melihat dokter hewan memakai jas putih lengkap dengan stetoskop, aku semakin mematen dokter hewan sebagai cita-cita abadiku.
Insiden kematian Bapak dan pembunuhan yang dilakukan oleh Mas Yanto sebenarnya tidak menyurutkan semangatku untuk menggapai mimpi itu. Setiap hari aku menghabiskan waktu di dalam kamar untuk belajar persiapan UTBK hingga bergadang tanpa sepengetahuan Ibu. Namun, usahaku tidak membuahkan hasil. Aku tidak diterima di jurusan impianku. Rasa kecewa itulah yang kemudian membuatku berpikir mungkin lebih baik aku bekerja untuk meringankan beban Ibu dan melepaskan mimpiku menjadi dokter hewan.
Dua tahun kemudian, hari ini, aku baru saja mendapat ucapan selamat karena diterima di Program Studi Kedokteran Hewan UGM. Aku menjerit hebat setelah membaca tulisannya keras-keras. Sementara Ibu yang speechless masih mencoba mendekatkan wajahnya ke layar laptop. Setelah membacanya dengan keras, kini gantian Ibu yang menjerit. Beliau langsung memelukku.
“Selamat anak Ibu. Kamu keren banget Dara,” kata Ibu yang kemudian menciumi pipiku.
Aku yang malu mendapat ciuman itu perlahan mendorong Ibu untuk melepas pelukannya dariku.
“Semua berkat doa Ibu.”
“Berkat usaha kamu juga. Dari dulu Ibu tahu seberapa besar kamu belajar untuk kabar baik ini. Ibu bener-bener bangga karo awakmu, Ra,” kata Ibu lalu mengusap-usap rambutku.
“Makasih udah mau bertahan buat Dara,” ucapku sambil menggenggam kedua tangan Ibu.
“Mas kamu pasti bahagia banget kalau Ibu cerita tentang ini.”
Ucapan Ibu membuatku melepaskan tangan beliau. Aku beralih pada layar laptop, mengutak-atiknya seolah baru saja aku tidak mendengar apa yang Ibu ucapkan. Tidak tahu kenapa, setiap kali mendengar Ibu membahas Mas Yanto, aku jadi sedikit kesal. Seolah ada ruang sempit di hatiku yang menentang untuk memaafkan perbuatannya.
“Sudah empat tahun, Ra. Masih enggak mau temuin Mas kamu? Kamu enggak kangen?”
Tidak pernah aku merasakan itu. Bahkan untuk mengingatnya saja tidak pernah.
“Ibu tahu kamu kecewa sama masmu, tapi nggak bisakah kamu temui dia sebagai masmu bukan sebagai penjahat?”
Setetes air mata jatuh membasahi punggung tanganku. Mataku sudah menggenang. Aku tahu betul satu kedipan mata akan membuat mereka semua terjun. Tepat saat itu tiba, aku segera memeluk Ibu untuk menyembunyikan tangisku di sana. Ibu pun membalas pelukanku sambil mengusap-usap punggungku.
“Darah lebih kental dari pada air, Ra. Mau gimana pun, mau sampai kapan pun, Mas Yanto tetaplah masmu. Bapak bakal sedih kalau kalian enggak rukun.”
Bohong jika aku bilang tidak merindukan Mas. Setiap kali melihat foto-foto masa kecil kami yang Ibu pajang, aku selalu kabur ke kamar karena tidak kuat menahan tangis. Aku merindukan sosok Mas Yanto yang selalu menjadi tamengku saat bertengkar dengan teman-teman kampung atau sosok Mas Yanto yang selalu mengenalkanku sebagai dokter hewan kecil kepada teman-temannya yang memiliki masalah dengan hewan peliharaan mereka.
“Halo, Dara. Apa kabar?”
Tubuhku menjadi membeku melihat Mas Yanto yang duduk di hadapanku. Dia terlihat begitu berantakan dengan gaya rambut gondrongnya yang baru pertama kali aku lihat. Kaos yang dia kenakan telah berubah dari warna biru muda menjadi kotor dan terlihat beberapa lubang di bagian pundak. Mirisnya lagi, gagang kacamata milik Mas Yanto hanya sisa satu sehingga miring saat dia gunakan.
“Mas seneng sekali bisa lihat kamu lagi, Ra.”
Aku masih bergeming. Pandanganku terus menyusuri setiap jengkal tubuh Mas yang terlihat berbeda. Mas yang aku kenal memiliki kulit bersih dan putih, bukan gelap dan penuh bekas gigitan nyamuk. Tapi anehnya, Mas masih bisa tersenyum lebar hingga kedua lesung pipinya terlihat.
Sebelum berangkat ke mari, aku sudah berjanji untuk tidak menangis. Akan tetapi semua itu pecah saat aku melihat jari Mas yang penuh dengan plester. Aku tahu betul, plester itu bukan untuk menutupi luka, melainkan untuk mencegah luka seperti yang aku lakukan di hari pertemuan terakhir kami. Hari itu aku melakukannya secara spontan. Tidak tahu bahwa itu akan menjadi kebiasan Mas. Pantas saja Mas selalu meminta Ibu membawakan plester setiap kali menjenguknya.
“Kok nangis, Ra? Maafin Mas.”
“Mas…maafin Dara baru datang sekarang. Maaf Dara pernah punya keinginan untuk putusin persaudaraan kita.”
“Enggak. Masmu iki emang pantes buat dapet konsekuensi iku, Ra.”
Aku menggelengkan kepala. Tangisku semakin kencang diiringi isakan. Meskipun begitu aku tetap mencoba untuk berbicara di sela isak tangisku, “Enggak. Mas Yanto adalah mas terbaik di dunia yang Dara syukuri karena Tuhan jadiin Dara adik Mas.”
Mas Yanto juga terlihat bergenang air mata. Dia berusaha mengalihkan wajahnya untuk menghapus air mata yang perlahan menetes.
“Mas ingat hari pertama Dara masuk sekolah setelah Bapak ninggalin kita? Dara enggak mau pulang sambil terus nunggu Bapak jemput, tapi sampe sore Bapak enggak mungkin datang. Bapak udah pergi ninggalin kita. Saat Dara nangis sendirian, Mas datang naik sepeda buat jemput Dara, tenangin Dara, terus beliin Dara es krim stroberi. Padahal waktu itu Mas lagi demam.”
Sepuluh tahun lalu, hari pertama di semester genap—hari pertama masuk sekolah setelah Bapak meninggal, aku terus menunggu Bapak menjemputku pulang sejak jam dua siang. Sudah banyak lambaian tangan yang aku layangkan kepada teman-teman yang telah pulang dijemput oleh orang tua mereka. Sudah banyak juga tolakan yang aku layangkan pada ajakan teman-teman Bapak untuk menebeng pada bemo mereka.
“Dara! Ayo nebeng Pak Lek. Gratis.”
Aku hanya menggeleng hingga tidak terhitung sudah berapa gelengan yang aku lakukan.
Sekolah sudah mulai sepi. Anak-anak yang mengikuti ekstrakurikuler, guru-guru, bahkan pedagang depan sekolah pun sudah pada pulang. Hanya tersisa aku seorang, berdiri di depan pagar sekolah menunggu Bapak.
Sudah berjam-jam aku berdiri, tetapi Bapak tidak akan datang. Mataku sudah mulai berair saat langit semakin gelap. Meskipun tahu akan fakta menyakitkan bahwa Bapak telah pergi jauh, kakiku tetap tidak bisa bergerak untuk segera pulang.
Saat tangisku telah bercucuran, tidak lama aku melihat Mas Yanto dari kejauhan menggoes sepedanya dengan kencang. Hari ini Mas absen sekolah karena badannya panas semingguan belakangan ini. Kata orang-orang Mas masih merasa syok akan kepergian Bapak. Terlebih lagi Mas juga yang mengumandangkan azan di telinga Bapak sambil terus menangis.
“Dara. Kenapa nangis?” tanya Mas setelah berhenti di depanku. Dia langsung menjatuhkan sepedanya dan memegang kedua lenganku. Mas mengecek keadaanku. Wajah pucatnya masih dapat memancarkan rasa khawatirnya.
“Kenapa kamu enggak pulang-pulang? Ini udah jam berapa, Ra?” tanya Mas lagi sambil menghapus air mataku dengan tangannya.
Dengan tangis yang terisak-isak aku menjawab pertanyaan Mas, “Bapak enggak lewat-lewat Mas. Dara udah nunggu dari jam dua. Kaki Dara capek berdiri terus dari tadi.”
Mas terdiam mendengar jawabanku. Dia langsung memelukku begitu erat. Tangannya mengusap-usap punggungku. “Maafin Mas baru dateng. Sekarang, ayo kita beli es krim stroberi,” ucap Mas yang berhasil menenangkanku.
Diambilnya ransel yang aku gendong sejak tadi untuk ia gendong di belakang punggungnya. Mas mengangkat sepedanya yang tadi sengaja ia jatuhkan. Setelah duduk di atas sadel, Mas menarikku untuk duduk di depannya. Kami pun pergi mencari toko es krim terdekat.
Sore itu, sebelum pulang ke rumah, Mas membelikanku es krim stroberi. Kami makan es krim bersama di bawah pohon ceres di sebelah warung penjual. Mas Yanto menyuruhku untuk meluruskan kaki, yang kemudian dia pijit. Bukannya senang aku malah menangis kembali melihat kasih sayang yang Mas berikan padaku—adiknya yang cengeng ini.
“Kenapa nangis lagi? Mas nggak minta, kok, es krimnya.”
“Jangan tinggalin Dara, ya, Mas. Cukup Bapak aja.”
“Pasti.”
Setelah kejadian itu, aku dan Mas saling mengandalkan satu sama lain. Aku selalu mengandalkan Mas sebagai panutan untuk terus belajar sementara Mas mengandalkanku sebagai penyemangatnya untuk belajar. Mas tidak pernah menolak atau mengeluh setiap kali aku menanyakan materi yang tidak aku pahami. Dia akan mengajariku secara perlahan hingga aku mengerti. Namun, semua itu perlahan hilang saat kami akhirnya mengetahui fakta di balik kematian Bapak. Seperti bagaimana caranya mengajariku dengan pelan-pelan, secara perlahan juga Mas meninggalkanku. Mas menemukan dunia baru yang menyesatkan dan yang mengurungnya dalam jeruji besi.
“Maafin Mas enggak nepatin janji buat selalu ada di samping kamu, Ra.”
“Maafin Dara juga udah egois, merasa paling tersakiti. Padahal kita semua juga sakit, Ibu juga.”
“Tapi enggak ada kata terlambat untuk perbaiki semua ini, kan, Ra?” tanya Mas yang aku jawab dengan anggukan kepala.
“Mas akan perbaiki, Ra. Meskipun butuh waktu lama, kamu sama Ibu mau nungguin Mas, kan?”
Aku kembali mengangguk. Punggung tanganku menghapus sisa air mata yang masih menetes. “Dara juga akan perbaiki. Mas jangan khawatir, Dara dan Ibu selalu tunggu Mas pulang.”
“Makasih, Ra,” kata Mas sambil tersenyum lebar setelah menghapus air matanya yang tidak bisa ditahan.
“Oh, ya. Mas ingat pernah janji bikinin klinik yang besar buat Dara?”
Kali ini Mas yang mengangguk.
“Empat tahun lagi. Tolong buatin sketsanya ya, Mas. Dara cuma mau pakai arsitek Yanto,” ucapku yang membuat Mas tertawa.
“Siap, calon Bu Dokter Dara,” kata Mas sambil memperagakan sikap hormat.
Kali ini, kami berdua tertawa. Bahagia.
* * *