Malam ini, Zaki menceritakan kebenaran tentang keluarganya yang tidak pernah aku bayangkan. Kebenaran tentang Zaki membuatku begitu membenci kalimat yang berbunyi ‘Dunia itu begitu sempit’. Mengapa harus Zaki?
“Saya cuma hidup berdua sama Ayah sejak umur lima tahun. Ibu pergi ninggalin kami karena jatuh cinta lagi sama laki-laki lain. Awalnya sulit sekali buat nerima kenyataan bahwa Ayah sama Ibu pisah. Selama seharian saya khawatir nggak ada lagi yang masakin saya masakan enak, nggak ada lagi yang suapin saya sambil nonton kartun, dan nggak ada lagi yang pukpuk saya setiap tidur. Tapi ternyata, saya nggak perlu khawatir karena Ayah bisa ngelakuin semuanya meskipun masakannya gak enak, meskipun porsi suapannya terlalu banyak di mulut saya, dan meskipun pukpuk-nya begitu berat. Saya jadi merasa lebih tenang, nggak lagi ketakutan karena Ayah selalu gandeng tangan saya.
Ayah cuma seorang satpam di perumahan. Gajinya nggak seberapa yang kemungkinan besar itu jadi salah satu alasan Ibu milih pisah dari Ayah. Meskipun Ayah hanya seorang satpam, beliau selalu berusaha buat kasih apa yang saya mau. Setiap berangkat kerja Ayah selalu ajak saya keliling naik motor, terus mampir toko untuk beli susu kotak. Lalu saat Ayah pulang larut malam, beliau akan bawakan saya nasi goreng yang katanya boleh saya habiskan sendirian. Padahal saya dengar perut Ayah terus bunyi, jadi saya suapin Ayah biar beliau nggak sungkan. Paling menakutkan kalau Ayah harus kerja malam, saya harus tidur sendirian di rumah atau terkadang saya merengek minta dibawa. Sekalinya Ayah saya menuruti permintaan itu, saya tidak bisa berhenti untuk ikut meskipun di tempat kerja saya tidur di pos satpam atau pernah sekali saya tidak tidur semalaman karena meminum sisa kopi milik Ayah. Alhasil besok paginya saya tidak berangkat sekolah.
Lalu saat saya umur sembilan tahun, tiba-tiba saja Ayah enggak pernah lagi berangkat kerja. Seragam satpamnya selalu tergantung di lemari. Setiap hari Ayah hanya di rumah nemenin saya menonton tivi atau bantu saya ngerjain PR. Saat saya tanya kenapa Ayah enggak kerja, beliau bilang lagi cuti bersama. Umur saya yang masih belum genap 10 jari tentu percaya saja.
Selama cuti bersama, barang-barang di rumah satu persatu mulai hilang, Ra. Motor yang biasanya kamu naiki itu sempat hilang dari pandangan saya. Dan banyak barang-barang kecil yang hilang, tapi setiap barang-barang itu hilang, Ayah selalu pulang bawa banyak susu kotak dan jajanan. Saya senang sekali, Ra. Sudah lama Ayah nggak belikan saya susu kotak.
Tiga bulan setelah itu Ayah masih tidak kunjung kerja. Saat saya tanya, Ayah terus jawab lagi cuti bersama. Saya mulai curiga, tidak bisa dibohongi lagi. Jadi saya paksa Ayah pakai seragam satpamnya dan berangkat kerja. Pulangnya, Ayah terlihat begitu bahagia, Ra. Beliau bawa keranjang merah. Saat saya buka, di dalamnya ada seekor merpati dan beberapa lembar uang seratus ribu rupiah. Waktu saya tanya kenapa Ayah beli merpati, Ayah jawab seperti ini:
“Ayah beli ini agar kita bisa hidup, Nak. Doain Ayah biar menang terus.”
Barulah saya tahu kalau Ayah bisa dapat uang dengan melakukan permainan Adu Doro. Sesuai penjelasan dari Ayah, saya menganggap itu permainan yang seru sekali. Bahkan pernah sesekali saya ikut menonton permainan Adu Doro di kampung. Sangat seru, sebelum saya tahu itu adalah permainan maut. Permainan haram.
Pagi itu selepas mengambil rapor di sekolah, kami pulang ke rumah dengan berjalan kaki. Ayah terus menggandeng tangan saya dengan senyum yang sumringah karena nilai saya yang bagus. Tapi selama perjalanan saya terus merengek meminta naik bemo atau becak karena lelah berjalan kaki. Namun Ayah menolak membuat saya mogok di jalan. Saya menangis kencang, tetapi Ayah sama sekali tidak marah. Beliau malah berjongkok menyuruh saya naik ke punggungnya.
“Ayo naik pesawat gratis.”
Tangis saya berhenti. Saya naik ke punggung Ayah. Beliau menggendong saya seolah-olah seperti naik pesawat terbang. Kami berdua tertawa kencang selama perjalanan pulang.
Sesampainya di rumah, seorang laki-laki tinggi berdiri di depan pagar. Ayah menyuruh saya untuk masuk ke dalam rumah karena kartun favorit saya sebentar lagi tayang. Saat saya akan masuk ke rumah, teman ayah berjongkok di samping saya lalu mengulurkan lolipop.
“Ini lolipop buat kamu,” katanya sambil tersenyum hingga lesung pipi tercetak di kedua pipinya. Itu adalah lesung pipi tercantik yang pernah saya lihat, Ra.
Dengan ragu-ragu saya mengambil lolipop itu, “Terima kasih, Om.”
Om itu mengusap-usap puncak kepala saya, lalu berkata, “Kamu sepantar sama anak saya.”
“Oh ya? Anak Om cowok juga?”
Belum mendapat jawaban atas pertanyaan yang saya lontarkan, Ayah kembali menyuruh saya masuk ke dalam rumah. Saya pun melambaikan tangan kepada Om itu, lalu berjalan masuk pergi ke ruang tengah untuk menonton kartun favorit saya.
Selang beberapa saat Ayah masuk pergi ke dapur dengan terburu-buru. Kemudian beliau kembali keluar sambil membawa pisau di tangan. Saat melewati saya yang menatapnya dengan wajah bingung, Ayah memberikan pesan agar saya tidak keluar rumah. Ayah bilang beliau punya urusan dengan temannya. Saya tidak pernah berani membantah perintah Ayah, jadi saya nurut aja, Ra. Saya lanjut nonton tivi. Saking serunya kartun yang saya tonton, saya sama sekali tidak penasaran dengan apa yang tengah Ayah lakukan bersama temannya di luar rumah.
Tidak lama Ayah kembali masuk. Namun kali ini napas Ayah terlihat ngos-ngosan. Dadanya naik turun. Lalu yang membuat saya terkejut, tangan Ayah memegang pisau yang berlumuran darah. Darahnya menetes mengotori lantai rumah kami, membuat saya penasaran dan bertanya, “Ayah kenapa?”
Perlahan bibir Ayah tersenyum. Beliau mengangkat merpati milik kami yang kepalanya telah terputus. “Ayah mari mbeleh doro,” jawab Ayah dengan senyum sumringah.
“Lapo dipateni, Yah? Nanti Ayah enggak bisa pergi main lagi. Trus Zaki enggak bisa minum susu kotak, deh.”
“Kamu lapar, kan?” tanya Ayah yang saya jawab dengan anggukan kepala. Sejak tadi pagi, Ayah belum memberi saya makan. Saya hanya meminum segelas susu kental manis hangat dengan selapis roti tawar untuk mengganjel perut.
“Tunggu, ya. Ayah masakin doro kecap buat kamu,” kata Ayah, lalu berjalan pergi ke dapur.
Mendengar doro kecap membuat saya terkejut. Selama ini, saya tidak pernah makan masakan yang terbuat dari doro maupun jenis burung lainnya. Yang saya tahu, hewan yang boleh dan bisa dimakan hanya ayam, kambing, sapi, ikan, dan udang saja. Lantas saya beranjak dari kasur untuk membuntuti Ayah.
“Emang doro bisa dimakan, Yah?”
“Bisa. Enak tahu,” jawab Ayah sambil membersihkan darah di tangannya.
“Oh, ya? Zaki mau coba.”
Saya yang penuh penasaran terus menonton yang Ayah lakukan. Mula-mula Ayah membersihkan bulu-bulu merpati dengan air panas. Setelah semua bulunya lepas, Ayah membelah merpati untuk mengeluarkan semua isi dalam tubuh merpati. Kemudian Ayah memotong-motong merpati itu menjadi kecil-kecil, tidak lupa juga mencucinya kembali. Dengan dua cabai merah besar, satu siung bawang putih dan merah, garam, dan kecap manis, Ayah menyulap merpati menjadi masakan yang begitu enak, Ra. Itu adalah masakan pertama Ayah yang enak setelah empat tahun kepergian Ibu. Masakan yang kemudian menjadi makanan favorit saya sampai sekarang.
Hari itu saya bahagia sekali bisa makan makanan enak. Apalagi Ayah suapin saya sambil nonton tivi. Tapi enggak lama kebahagiaan itu hilang ketika pintu rumah kami diketuk-ketuk dengan keras. Orang itu terus meneriaki nama Ayah. Bahkan saya masih ingat bagaimana teriakan kerasnya. “SURYA! SURYA! KELUAR KAMU!”
Ayah berpesan kepada saya untuk melanjutkan makan, sementara beliau akan pergi menemui temannya. Lagi-lagi saya percaya, Ra. Saya habiskan doro kecap itu sampai tidak tersisa bahkan saya menjilati piringnya hingga tidak ada bekas kecap di sana.
Sepiring doro kecap dengan nasi hangat telah saya habiskan. Saya turun dari kasur, hendak pergi ke dapur untuk mencuci tangan. Namun saya melihat dan mendengar keramaian di luar. Saya pun mengurungkan niat dan mengikuti rasa penasaran saya. Langkah saya berjalan di samping darah doro yang menetes ke lantai, yang kemudian saya ketahui tetesan darah itu berakhir di tubuh Om yang tadi memberi saya lolipop.
Tubuh saya membeku melihat itu. Om dengan lesung pipi tercantik itu telah tergeletak di teras rumah dengan berlumuran darah. Sementara Ayah telah diborgol oleh polisi. Melihat Ayah yang diperlakukan seperti penjahat membuat saya berlari mendorong polisi yang akan membawa Ayah pergi.
“Jangan bawa Ayah saya!”
Saya berteriak seperti itu, Ra. Teriakan saya berhasil membuat semua orang yang berada di sana mengalihkan fokusnya ke saya, begitu juga Ayah. Beliau menoleh ke saya yang memeluk tubuhnya sambil menangis mengatakan, “Ayah jangan pergi. Zaki takut sendirian.”
Untuk pertama kalinya saya lihat Ayah tidak tersenyum, Ra. Ayah malah menyuruh polisi untuk membawa saya masuk ke dalam rumah. Bahkan saat tangan saya terus terulur untuk meminta ikut dibawa serta, Ayah enggak mgandeng saya lagi. Ayah berjalan pergi tanpa paksaan dari polisi dan tanpa menoleh untuk melihat saya yang menangis kencang dalam kurungan polisi. Itu terakhir kali saya melihat Ayah.”
Aku menangis kencang dalam pelukan Ibu. Cerita Zaki berhasil membuatku semakin merasa bahwa dunia begitu jahat. Selain telah merenggut kebahagiaan keluargaku, dia juga merenggut cinta pertamaku. Dari banyaknya orang di dunia, kenapa harus Zaki?
“Permintaan maaf Tante hari itu belum bisa kamu terima, ya, Nak Jaki?” tanya Ibu pada Zaki yang juga menangis, bersandar di belakang pintu kontrakan.
Kenapa Ibu yang harus meminta maaf kepada Zaki? Bukankah keluarga kami yang menjadi korban?
“Saya benci permintaan maaf itu Tante. Bukan permintaan maaf dari Tante yang ingin saya dengar. Tante tahu? Selepas Tante menemui saya, mengajak saya untuk tinggal bersama Tante, saya menyesal menolak ajakan Tante. Hari itu saya diantar ke rumah Ibu bersama keluarga barunya. Ternyata Ibu sudah punya anak dengan ayah tiri saya. Umurnya empat tahun. Dia laki-laki sehingga kami berdua menjadi dekat. Saya sayang sama dia karena begitu lucu, begitu nurut. Namun, ayah tiri saya tidak menyukai kehadiran saya. Dia selalu panggil saya dengan sebutan Anak Pembunuh.
Suatu hari saya merasa rindu masakan Ayah sehingga saya curi merpati milik ayah tiri untuk saya masak. Adik mengikuti saya ke dapur karena kepo. Saya katakan kepadanya bahwa saya akan membuat masakan yang enak. Namun ide memasak merpati itu menjadi celaka saat saya meninggalkan adik sendirian di dapur untuk buang air kecil. Tangan adik terluka saat mencoba memotong merpati, seperti yang sebelumnya saya lakukan. Kecelakaan hari itu membuat ayah tiri saya marah besar hingga meminta Ibu mengusir saya pergi dari rumahnya.
Lalu Tante tahu apa yang terjadi? Ibu kandung saya sendiri nggak percaya sama cerita saya. Kata Ibu, tetap saja saya salah karena mencontohi adik bermain pisau. Saya sudah meminta maaf tapi Ibu tidak menerimanya. Ibu memarahi saya, memukul, mencubit, tapi yang lebih sakit saat Ibu bilang, “Dasar anak pembunuh! Ibu nyesel lahirin anak pembunuh kayak kamu.”
Waktu itu umur saya masih sembilan tahun. Saya enggak ngerti kenapa semua orang membenci dan menyalahkan saya di saat saya bahkan enggak lakuin apa-apa, Tante. Akhirnya saya kabur, kembali ke rumah Ayah, tapi rumah itu terlalu menakutkan. Bayang-bayang Om Cahyo yang berdarah masih terekam jelas di ingatan saya.”
“Kenapa kamu tidak pergi ke rumah Tante?”
“Saya pergi ke rumah Tante.”
“Kapan, Nak? Kenapa Tante tidak tahu?”
“Mungkin Dara ingat, pengamen bergitar marun yang dia kasih uang seribu.”
Aku mendongak menatap Ibu yang juga menoleh ke arahku. Ibu bertanya apakah aku mengingat Zaki kecil pernah mengamen di rumah kami. Namun aku menggeleng. Terlalu banyak pengamen yang datang ke rumah kami dan aku beri uang seribu rupiah.
“Saya pergi ke rumah Tante, tapi saya malah bertemu Dara yang sedang memberi makan puluhan doro. Melihat saya yang membawa gitar, Dara minta dinyanyikan lagu. Saya nyanyikan satu-satunya lagu yang saya bisa, yang Ayah ajarkan kepada saya. Kamu menyukai nyanyian saya, Ra, terlihat jelas dari lesung pipi kamu. Lesung pipi yang membuat saya teringat sama Om Cahyo yang berakhir berlumuran darah hari itu.”
“Terus kenapa enggak nemui, Tante, Nak Jaki?”
“Untuk apa, Tante? Yang ada juga keluarga Tante akan benci sama saya. Karena saya anak pembunuh Bapak mereka.”
Zaki berdiri sambil menghapus air matanya yang masih tersisa. Dia menatapku dan Ibu yang masih berpelukan. Detik berikutnya Zaki tertawa kencang membuatku merasa takut akan sosoknya. Malam ini Zaki benar-benar berbeda, aku tidak mengenalinya.
“Tahu apa yang lebih lucu?”
Aku dan Ibu hanya terdiam menatap Zaki yang tertawa sinis. Kami berdua tidak mengerti apa yang membuat Zaki tertawa. Apakah dia sedang menertawakan kebodohanku yang telah menjatuhkan hati padanya?
“Keluarga kalian masih saling sayang bahkan setelah putra tercinta Tante bunuh orang,” tambah Zaki, lalu dia mengacak-acak rambutnya, membuat kucirannya terlepas. “Lucu nggak, sih? Saya, anak yang enggak lakuin apa-apa tapi dibenci karena lahir dari anak pembunuh. Bahkan Ibu kandung saya sendiri juga manggil saya anak pembunuh. Dunia emang enggak adil.”
“Terus, apa tujuan kamu lakuin ini ke aku, Ki?”
“Biar kamu ngerasain gimana rasanya kamu diberi banyak kebahagiaan oleh orang yang kamu sayang, tapi pada akhirnya orang itu ninggalin kamu dan bikin kamu menderita, Ra.”
“Tapi aku bukan Ayah kamu, Ki. Kenapa kamu balas dendamnya ke aku?”
Pertanyaanku itu tidak kunjung mendapat jawaban dari Zaki. Cowok itu pergi dari rumah dengan mengendarai motornya. Dia pergi begitu saja setelah memberantakkan rumahku. Kini, aku tidak tahu harus bagaimana untuk tetap menjalani hidup yang semakin pahit.
* * *