Semenjak aku mendaratkan kecupan di pipi Zaki yang dingin, cowok itu jadi sering menggodaku. Dia menjadi rajin mengabariku dengan mengirimkan foto kegiatannya saat sedang mengamen, melakukan pekerjaan sampingan, atau bahkan saat dia sedang menunggu lampu merah. Foto-fotonya begitu narsis, tapi berguna untuk mengisi galeri ponselku yang sudah lama kosong.
Zaki memang unik. Dia bukan cowok tampan yang dapat dengan mudah menarik perhatian kaum hawa. Penampilannya sama seperti pengamen pada umumnya—terlihat seperti belum mandi. Kaos hitam dengan celana cargo krem adalah pakaian favoritnya. Bau badannya juga tidak wangi, melainkan bau rokok yang cukup menyengat. Zaki pernah bilang dia bisa menghabiskan satu bungkus rokok setiap harinya. Selain itu, Zaki juga memiliki rambut gondrong yang selalu dia ikat half bun. Tidak lupa juga dengan gitar marun yang selalu dia selempangkan di belakang punggungnya.
Zaki juga bukan cowok kaya raya yang akan selalu mentraktir setiap kali makan bersama. Dia hanya seorang pengamen yang pendapatan sehari-harinya tidak menentu, ditambah lagi dia cukup malas. Akan tetapi, terkadang dia juga bekerja sampingan seperti menjadi kuli bangunan, ojek, atau apa pun itu se-ada dan sebisanya akan dia ambil. Makanya, setiap kali kami keluar untuk makan bersama, kami membayar makanan kami masing-masing. Aku sendiri tidak mempermasalahkan hal itu.
Uniknya, meskipun dia bukanlah cowok sempurna yang diidam-idamkan oleh kaum hawa, tapi Zaki bisa membuatku merasa selalu aman dan nyaman di sampingnya. Terkadang aku bertanya-tanya kepada diriku sendiri, mengapa aku bisa mempersilakannya masuk ke dalam hidupku. Bahkan dengan sukarela menceritakan kehidupanku yang selama ini aku kunci rapat-rapat dari diriku sendiri.
Zaki telah berhasil meluluhkanku. Zaki juga berhasil mengembalikan lesung pipiku yang telah lama terbenam.
Awalnya aku tidak percaya itu hingga orang-orang di sekitarku mengatakan bahwa akhir-akhir ini aku jadi sering tersenyum.
“Akhir-akhir ini kamu jadi kelihatan beda, Ra.”
Aku yang sedang menggunakan sepatu sontak mendongakkan kepala. Ibu tengah menghentikan aktivitas menjemur pakaian, beliau memilih menatapku dengan wajah mengintimidasi seolah aku telah melakukan kejahatan. Kami beradu pandang beberapa detik, saling memberikan wajah bingung.
“Beda gimana?” tanyaku yang beranjak setelah menggunakan sepatu.
“Semenjak kamu punya teman, kamu jadi sering senyum. Enggak itu pas makan, baca novel, cuci piring, nyapu, sampai pakai sepatu aja kamu juga senyum-senyum sendiri, Ra.”
Aku mengernyitkan keningku. Menurutku Ibu terlalu berlebihan. Aku tidak merasa sesering itu tersenyum.
“Kamu punya pacar, ya?”
Mataku melotot. Ucapan Ibu jadi melantur.
“Sama siapa coba?”
“Itu, teman kamu yang malam-malam nganterin kamu pulang.”
Jawaban Ibu mengagetkanku. Malam itu aku yakin sekali Ibu sudah tidur karena semua lampu telah dimatikan, tapi bagaimana Ibu bisa mengetahui malam itu aku diantar pulang oleh Zaki. Semoga Ibu hanya tahu sebatas itu saja.
“Dia juga yang waktu itu cuci pakaian Ibu, ya?”
Aku hanya mengangguk. Aku begitu malu karena Ibu memergoki anak gadisnya ini diantar pulang oleh cowok.
“Kapan-kapan ajak main ke rumah, Ra. Ibu mau kenalan.”
Sebelum Ibu semakin melantur, aku pun berpamitan berangkat kerja.
Nyatanya bukan Ibu saja yang melantur, manajer restoran juga berkata hal yang sama.
“Kamu lagi kasmaran ya, Ra?”
“Eh…kenapa, Mbak?”
“Aku lihat kamu senyum terus, Ra.”
“Bagus, kan, Mbak?”
Manajer mengangguk, ia menepuk pundakku. “Bagus, Ra. Senyum kamu cantik. Pertahanin, ya!”
Aku mengangguk.
Setelah manajer keluar dari kamar mandi, aku menatap cermin. Pantulan cermin itu memunculkan Dara yang berbeda. Itu bukan Dara yang menghapus lipstik merah cabai yang terasa pedas baginya. Itu adalah Dara yang mengoles bibirnya dengan lipstik merah cabai yang kini terasa manis untuknya. Aku melihat sendiri bagaimana dua lesung pipi kembali tercetak di wajahku.
Perubahan pada diriku ini berkat Zaki yang mengajakku berteriak di bawah hujan malam itu.
Mungkin berkat Zaki juga aku menelan air ludahku sendiri yang pernah mengatakan, “Aku merasa kebahagiaan yang sementara itu percuma karena yang ada kita akhirnya akan menjalani hidup dengan rasa kecewa.”
Beberapa hari ini aku melupakan kalimat itu. Aku begitu haus hingga meminum air ludahku sendiri. Dan sekarang, aku hampir mati karena meminum racun.
Kotoran merpati yang baru saja mendarat di atas kepalaku telah menyadarkanku dari kebahagiaan yang sementara. Teksturnya yang cair dan lengket, juga baunya yang tidak sedap membuatku tersadar untuk kembali pada diriku yang lama, pada Dara yang tidak mau menerima apa pun bentuk kebahagiaan.
Aku telah melakukan kesalahan dengan menerima kebahagiaan yang Zaki berikan untukku. Kebahagiaan itu membuatku terlihat seperti pecundang. Aku hampir saja benar-benar kalah dari trauma masa lalu yang mencekikku selama sembilan tahun ini.
Kini aku tidak mau kalah darinya, aku akan melawannya dengan menolak kembali apa pun bentuk kebahagiaan.
* * *
Satu hal yang selalu aku lakukan setiap kali pulang sekolah adalah memberi makan merpati-merpati milikku. Dengan begitu semangat aku melempar tasku ke teras, lalu berlari ke tempat bekupon-bekupon berdiri. Aku mengambil wadah pakan yang tersimpan di bawah salah satu bekupon. Setelah itu aku lemparkan biji jagung ke halaman parkir bemo. Merpati-merpati milikku segera mengerubunginya. Aku tersenyum melihatnya.
“Makan yang banyak, ya,” ucapku sambil mendekat kepada kerumunan merpati untuk menambah pakan mereka yang telah habis.
Merpati-merpati itu langsung menyerbunya. Beberapa merpati yang tertidur siang juga telah keluar dari bekupon, mengerubungi pakan yang aku taburkan.
Aku berjongkok di kerumunan merpati itu sambil sedikit demi sedikit menambah pakan yang dalam sekejap sudah habis.
“Hari ini Bapak janji mau ajak aku ke THR.”
“Aku nggak sabar naik boom-boom car sama Bapak buat lawan Mas Yanto.”
“Aku nggak sabar beli gulali.”
Puluhan merpati itu tidak ada yang merespons ucapanku. Tapi tidak masalah, hari ini aku begitu bahagia. Rasanya tidak sabar menunggu Bapak pulang.
“Hari ini bakal jadi hari paling bahagia,” ucapku, lalu berdiri untuk menebarkan biji jagung ke udara yang sontak membuat puluhan merpati terbang secara bersamaan.
Aku tersenyum melihat merpati-merpatiku begitu lahap memakan makanan pemberianku. Namun setelah itu, fokusku teralihkan oleh suara ambulans. Untuk pertama kalinya aku mendengar suara ambulans di kampung ini. Awalnya suara itu begitu pelan, namun semakin lama semakin keras hingga memekikkan telinga. Senyumku perlahan mulai memudar saat melihat ambulans berjalan masuk dan berhenti di depanku.
Dua orang tenaga kesehatan keluar dan segera dikerubungi oleh para warga yang sedari tadi mengekori. Aku yang penasaran mendekat, tapi Ibu segera datang menarikku menjauh dari sana.
“Ayo makan siang, Nak.”
“Kenapa ada ambulans, Bu?”
Tidak ada jawaban dari Ibu. Beliau menggandengku masuk ke dalam rumah, memberiku sepiring nasi dengan telur ceplok. “Maaf ya, hari ini Ibu enggak sempat masak,” kata Ibu dengan suara serak.
Ibu mempersilakanku menghabiskan makan siang. Sementara itu Ibu duduk di depanku dengan wajah seperti menahan tangis.
“Nanti jadi ke THR, kan, Bu? Dara mau pakai baju baru yang waktu itu beli di pasar.”
Ibu tersenyum sambil mengusap puncak kepalaku.
“Dara harus jadi anak yang kuat, ya, meskipun tanpa Bapak.”
“Emang Bapak ke mana? Harusnya Bapak udah pulang buat makan siang.”
“Bapak udah pulang, Dara. Bapak pulang duluan ke rahmatullah.”
“Maksudnya?”
Tiba-tiba Ibu berlutut di sampingku. Ditariknya kedua tanganku yang kemudian Ibu genggam dengan kuat. Aku bisa merasakan tangan Ibu sedikit bergetar. Air mata juga berjatuhan dari mata Ibu yang segera aku hapus. Ibu menggeleng-gelengkan kepala, lalu menatapku dengan sorot mata yang tidak aku mengerti. Itu bukan sorot mata tajam yang Ibu berikan saat aku mengenakan makeup-nya diam-diam dan itu juga bukan sorot mata hangat yang Ibu berikan setiap kali aku membantu pekerjaan di laundry.
Ibu pun menjelaskan bahwa ambulans tadi membawa jenazah Bapak yang tewas dalam kecelakaan lalu lintas. Sekarang Bapak tengah dimandikan oleh pengurus jenazah. Aku mendengarkan setiap kata dan kalimat yang Ibu ucapkan, tapi entah mengapa otakku sulit untuk memahaminya.
Setelah menghabiskan makan siang, Ibu menggandengku masuk ke dalam kamar. Ibu membantuku berganti pakaian, begitu pun beliau yang juga berganti pakaian. Kami berdua sama-sama mengenakan baju serba hitam, aku tidak suka warna ini. Aku ingin mengenakan baju warna merah, tapi Ibu melarangku.
Tangan Ibu kembali menggenggam tanganku. kami berdua keluar dari kamar menuju ruang tamu. Untuk pertama kalinya aku melihat rumahku yang begitu ramai oleh para tetangga. Mereka juga mengenakan baju yang sama, serba hitam. Para tetangga yang terdiri dari ibu-ibu itu terus melantunkan ayat suci. Ibu mengajakku duduk bergabung di sana, lalu Ibu ikut melantunkan ayat suci.
Tidak lama, bapak-bapak datang sambil membopong Bapak. Mereka menidurkan Bapak tepat di hadapanku. Melihat penampilan Bapak yang berbeda dari biasanya membuatku kebingungan. Bapak tidak lagi mengenakan kaos polo dengan celana panjang beserta handuk kecil merah yang selalu beliau sampirkan di pundak. Kali ini Bapak mengenakan kain putih layaknya gambar pocong yang sering aku lihat di televisi, majalah, dan poster-poster di pinggir jalan.
Aku merangkak mendekati Bapak sambil menangis, tapi Bapak sama sekali tidak merespons membuat tangisku semakin pecah. Ibu hanya mengusap-usap punggungku sambil terus berkata, “Dara yang ikhlas, Bapak sudah pulang ke rahmatullah.”
Tidak. Kenapa Bapak harus pulang ke sana? Rumah Bapak di sini, bersamaku, bersama Ibu, dan bersama Mas.
Beberapa tetangga mencoba menarikku dari tubuh Bapak, tapi sekuat tenaga aku menolaknya. Aku terus memeluk Bapak sambil menangis di dada bidang Bapak. Mulutku tidak bisa berhenti melontarkan pertanyaan, “Bapak kenapa pulang naik ambulans?” yang tidak kunjung mendapat jawaban. Bapak hanya diam,
Lalu tidak lama, Mas datang sambil berteriak, “BAPAK! AKU PUNYA KEJUTAN!!”
Semua orang langsung menoleh pada Mas yang masih mengenakan seragam merah putih dengan memegang selembar kertas di tangannya. Mas terlihat ngos-ngosan, tapi senyumnya terpampang jelas. Dia terlihat begitu bahagia hingga perlahan senyumnya memudar saat pandangannya terjatuh padaku yang memeluk Bapak. Mas terjatuh lemas. Para tetangga membantunya, tapi Mas menolak.
Mas merangkak sambil menangis. Untuk pertama kalinya aku melihat Mas menangis. Tangan kanannya masih memegang selembar kertas. Mas terus merangkak hingga setelah berada di samping Bapak, Mas berucap dengan suara yang tersengal-sengal, “Bapak…Bapak…Yanto berhasil…Yanto berhasil, Pak...”
* * *
Bau kotoran merpati yang mendarat di kepalaku kemarin sore selepas aku pulang bekerja masih tercium. Hari ini aku sampai tiga kali keramas dan bolak-balik mencuci tangan. Kotoran merpati itu memang sudah hilang, tapi aku masih mencium baunya yang tidak sedap. Akibatnya, tanganku sampai menjadi keriput karena terkena air terus.
“Ra, di depan ada teman kamu.” Ibu yang baru saja datang mengantarkan cucian pelanggan mengagetkanku yang sedang mencuci tangan. “Anaknya manis, Ra. Sopan juga. Dia cium tangan Ibu,” bisik Ibu lalu menyenggol lenganku, “Kamu ketemu di mana?”
“Ibu bilang apa ke dia?”
“Ibu bilang tunggu sebentar.”
Aku mengelap tanganku yang basah pada serbet di dekat wastafel. “Usir aja kalau dia berisik!” Pesanku pada Ibu, lalu berjalan menuju kamar.
“Loh?! Nggak jadi keluar?”
“Nggak!” jawabku yang kemudian menutup pintu kamar rapat-rapat.
Di dalam kamar, aku mendengar ponselku kembali berdering. Ini sudah panggilan yang ke tujuh sejak satu jam yang lalu aku mendengar suara motornya berhenti di depan kontrakan.
Sementara itu Ibu mengetuk pintu kamarku. “Kenapa nggak jadi keluar? Bukannya kamu dari seminggu lalu udah siapin baju buat kencan.”
Sepertinya Ibu menaruh CCTV di seluruh rumah ini. Ibu selalu tahu apapun yang aku lakukan. Aku jadi merasa tidak aman di rumah sendiri.
Seminggu lalu usai aku mendaratkan kecupan di pipi Zaki yang dingin, cowok itu mengajakku untuk pergi lagi di hari liburku. Zaki bilang dia ingin mengajakku berkeliling kota, berburu street food, dan mengabadikan momen bersama di photo box. Ajakannya membuatku excited hingga mengeluarkan semua baju di lemari untuk memilih sekiranya baju mana yang cocok aku pakai keluar bersama Zaki. Selama berjalannya hari pun aku merasa tidak sabar dengan terus-terusan melihat jam di dinding, hingga terkadang otakku menyuruh memutar jam itu agar hari ini segera tiba.
Namun, saat hari yang aku tunggu akhirnya tiba, antusiasku telah hilang. Aku tidak ingin pergi menghabiskan waktuku bersama Zaki. Aku tidak ingin membuat diriku semakin terjebak dalam kebahagiaan yang Zaki berikan untukku.
Kotoran merpati yang jatuh di kepalaku telah menyadarkanku bahwa aku telah salah mengambil jalan. Aku telah tersesat pada kebahagiaan yang sementara. Dan sebelum aku tersesat lebih jauh lagi, aku pun memutuskan kembali pada jalan yang seharusnya. Aku kembali pada Dara yang tidak menerima apa pun bentuk kebahagiaan.
“Kasihan, Ra. Dia kayaknya udah lama nunggu.”
“Bilang aja aku enggak ada di rumah.”
Tidak lama setelah itu, aku mendengar suara motor Zaki yang perlahan hilang.
Aku kembali keluar kamar untuk mencuci tanganku yang masih bau. Kotoran merpati itu begitu menjijikkan. Aku begitu membencinya. Bahkan seminggu kemudian, bau kotoran merpati itu masih samar-samar tercium meskipun sudah puluhan kali aku mencucinya.
Sama dengan kotoran merpati, Zaki juga masih terus meneleponku meskipun sudah puluhan panggilan tidak kujawab. Dia tidak menyerah untuk mengetahui alasan mengapa aku membatalkan janji yang telah kami buat bersama-sama. Ratusan pesan dia kirim menanyakan “Kamu kenapa, Ra?”, “Kamu lagi sakit?”, “Saya punya salah ke kamu?”, tiga pertanyaan itu terus dia tanyakan padaku berulang kali. Ponselku pun jadi tidak bisa berhenti berdering selama seminggu ini, tapi tidak kunjung aku mengangkat maupun membalas pesan dari Zaki. Selama seminggu ini aku terlalu sibuk mencuci tanganku yang bau.
* * *