Hari minggu ini aku mendapat kerja shift sore sehingga memiliki banyak waktu kosong hingga siang nanti. Namun sebanyak apa pun waktu kosong yang aku miliki, pasti hanya aku gunakan untuk membaca novel. Kemarin saja aku seharian penuh menghabiskan waktu liburku dengan berdiam diri di kamar dengan novel lama yang akhirnya mendapat giliran untuk aku baca. Semalam aku berniat untuk menamatkan novel itu, tapi nyatanya saat masuk ke bab konflik yang mulai memanas, mataku yang malah duluan panas. Alhasil aku ketiduran.
Setelah tidur malam yang nyenyak, kini mataku sudah tidak panas lagi. Aku pun melanjutkan membaca novel yang tertunda. Novel tersebut menceritakan tentang pemuda yang terpaksa mencuri untuk menghidupi ayahnya yang mengidap stroke. Namun aksinya itu tertangkap basah oleh warga sehingga berakhir masuk ke dalam jeruji besi. Pemuda itu terus merasa cemas setiap harinya memikirkan nasib ayahnya yang tinggal sendirian di rumah. Dia sudah meminta tolong kepada sipir untuk mengecek keadaan ayahnya, tapi tidak pernah direspons.
Di tengah konflik yang memanas, perutku berbunyi. Aku tidak ingin menunda lagi membaca kisah pemuda penyayang ayah untuk ke sekian kalinya sehingga aku mengajak novel tersebut untuk menyantap sarapan bersamaku.
Tangan kananku sibuk memasukkan nasi ke dalam mulut, tangan kiriku sibuk memegang novel agar tidak tertutup sekaligus mengganti ke halaman selanjutnya, dan mataku sibuk membaca setiap kata yang ada. Aku bersyukur menjadi generasi Z yang ahli dalam melakukan dua kegiatan dalam satu waktu sekaligus atau biasa di sebut multitasking. Akan tetapi keahlian itu sepertinya lebih berguna untuk kegiatan lain dalam pandangan Ibu. Beliau menyindirku seperti ini, “Lek tanganmu onok sepuluh enak, Ra. Isok ngewangi Ibu masak, kora-kora, umbah-umbah, jemur klambi, nyetriko, nyapu, ngepel.”
Sindiran Ibu membuyarkan fokusku membaca novel. Kini aku mengalihkan pandanganku pada Ibu yang berada di depanku, beliau sedang menghitung pekerjaan yang baru saja ia sebutkan. Hitungannya berhenti di angka tujuh.
Ibu menunjukkan angka tujuh dengan jarinya kepadaku sambil berkata, “Itu baru tujuh. Sisa tiga bisa buat makan, baca novel, sama garuk punggungmu yang gatel.”
Keningku mengerut mendengar perkataan beliau yang tidak masuk akal tapi cukup lucu untuk lelucon yang keluar dari mulut ibu-ibu berumur 45 tahun.
Mengerti akan situasiku yang berada di ambang hidup dan mati, aku pun menghentikan memamerkan keahlian multitasking-ku di hadapan Ibu. Aku menunda kembali membaca kisah pemuda penyayang ayah tersebut dan lebih memilih fokus untuk menghabiskan sarapan hari ini yang menunya adalah pecel dengan lauk telur ceplok. Sementara Ibu terus mengecek barang-barang pesanan putra tercintanya.
“Nasi uwes, lauk uwes, sayur uwes, sabun uwes, obat-obatan uwes. Opo maneh, yo? Kok koyok e onok sing kurang,” ucap Ibu berbicara dengan pikirannya sendiri.
“Plester,” ucapku bertepatan dengan sarapanku yang telah habis. Aku pun meneguk segelas air.
“Oh iyo, plester. Suwun yo, Ra. Saiki Ibu wis mulai pikun,” kata Ibu yang kemudian berlari kecil mengambil plester yang tersimpan di kotak P3K di ruang tamu. Tidak lama beliau kembali dan segera memasukkan semua bawaannya ke dalam tas besar.
Aku pun juga kembali melanjutkan membaca novel yang terus-terusan tertunda.
Pemuda itu memilih menusuk perutnya hingga mendapat belasan jahitan. Dia juga diwajibkan untuk rawat inap selama seminggu untuk pemulihan. Kondisi itu ia jadikan kesempatan untuk melarikan diri melalui jendela saat sipir tengah lengah.
Sepanjang jalan tangisnya tidak kunjung berhenti. Dia merasa sudah menjadi anak durhaka karena telah meninggalkan ayahnya yang tidak berdaya sendirian di rumah. Sementara itu aparat polisi yang telah mengetahui aksi kaburnya mulai berpatroli ke seluruh penjuru kota. Pemuda itu berakhir menjadi buron.
“Ra, kamu beneran enggak mau ikut?”
Aku menggeleng dengan pandangan yang masih tertuju pada novel. Aksi kabur pemuda itu begitu menegangkan, aku tidak mau menundanya lagi.
“Mas selalu nanyain kamu, loh, Ra. Sekali aja jengukin masmu, dia pasti seneng.”
Tapi sepertinya Ibu suka sekali menggangguku. Aku jadi tidak bisa fokus membaca, maka aku putuskan untuk menjedanya sebentar saja sampai memastikan Ibu telah pergi.
“Dara enggak minat. Lagian masa tahanan Mas juga masih lama, kapan-kapan juga bisa, kan?”
“Iya kalau Mas kamu belum dilayar. Kalau udah dilayar bakal susah jenguknya.”
“Ya… enggak usah dijenguk. Dara juga enggak minat.”
Ibu terdiam. Sepertinya beliau sudah kehilangan argumentasi untuk berdebat denganku. Aku merasa senang akan hal tersebut.
“Yowis Ibu budal sek. Ojok lali lek mendung jemuran e entas en!”
“Siap, Ndoro!”
Ibu telah berangkat pergi menjenguk putra tercintanya. Itu artinya aku bisa bebas melanjutkan membaca novelku yang tertunda.
Aksi kabur pemuda itu tidak mudah. Di sepanjang perjalanan dia terus dihadapi rintangan. Mulai dari trotoar rusak yang mengharuskan ia berlari di pinggir jalan beriringan dengan kendaraan yang lalu lalang. Lengah sedikit pemuda itu bisa mati.
Rintangan kedua dia harus masuk ke dalam gang-gang sempit saat mendengar suara mobil polisi yang berpatroli. Gang sempit ternyata menyulitkan pelariannya karena begitu banyak orang lalu lalang, mulai dari bapak-bapak yang sedang memandikan burung di depan rumah, anak-anak yang bermain, ibu-ibu yang merumpi hingga pedagang pentol maupun es krim yang lewat silih berganti.
Pemuda itu terus berlari kencang meskipun jahitan di perutnya masih belum kering. Namun aksi kaburnya yang menegangkan dan menggugah hatiku sebagai pembaca ternyata membawaku kepada ketiadaan. Ayah pemuda itu tidak ada di rumah. Lebih sakitnya lagi saat aparat polisi yang telah berhasil menangkap pemuda tersebut membawanya ke makam sang ayah.
Plot twist yang tidak pernah aku sangka bahwa selama ini pemuda tersebut hidup dengan mayat ayahnya. Para tetangga menangkapnya karena terus mencium bau bangkai dan melihat gerak-geriknya yang aneh.
Pemuda itu menangis kencang sambil memeluk nisan ayahnya. Cerita berakhir, pemuda tersebut kembali di bawa ke Rumah Sakit Jiwa yang selama ini dalam imajinasinya adalah penjara.
Aku sontak menjatuhkan novel ke atas meja makan. Kedua tanganku kini memegangi kepala yang hampir saja pecah setelah mendapat dua plot twist sekaligus dalam satu cerita. Plot twist pertama, selama ini ayah pemuda tersebut telah meninggal bahkan jauh sebelum hari penangkapan dan plot twist kedua, selama ini pemuda itu dirawat di RSJ bukan di penjara. Halusinasi pemuda itu telah membohongiku sebagai pembaca.
Di tengah diriku yang masih terkejut akan plot twist novel yang baru saja aku baca, tiba-tiba saja petir berbunyi keras membuatku terkejut. Aku menepuk keningku. Gawat, jemuran Ibu!
Dengan cepat aku berlari keluar rumah untuk mengangkat jemuran Ibu. Akan gawat jika aku membiarkan baju yang sudah kering itu basah kembali, Ibu akan menceramahiku. Pasalnya baju-baju di jemuran itu bukan milik kami melainkan milik pelanggan. Sejak aku kecil Ibu bekerja menjadi buruh cuci milik tetangga. Setelah pindah ke kontrakan ini, Ibu mencoba merintis usaha laundry miliknya sendiri dari nol. Ibu mempromosikan door to door ke tetangga dan para mahasiswa di lingkungan kami. Beruntungnya beberapa mahasiswa maupun para pekerja di mall belakang rumah kami tertarik untuk menggunakan jasa Ibu.
Ketika aku sedang mengangkat jemuran, beberapa pemuda karang taruna datang mengejutkanku. Hari ini aku senam jantung terus. Semoga saja tidak sampai kena stroke karena terus terkejut.
“Siang Mbak Dara! Maaf ganggu waktunya,” ucap salah seorang pemuda berperawakan tinggi dengan tubuh kurus. Dia tersenyum lebar kepadaku.
Lima pemuda karang taruna itu terdiri dari tiga perempuan dan dua laki-laki. Mereka datang sambil membawa brosur di tangan. Saat aku mendekati mereka yang berdiri di depan pagar, salah satu perempuan dengan kerudung hitam menyikut teman perempuan di depannya. Perempuan yang disikut itu pun maju selangkah untuk menjelaskan alasan kedatangan mereka.
“Halo, Mbak Dara! Kenalin aku Vania,” ucap perempuan dengan rambut panjang yang memperkenalkan dirinya sebagai Vania. Perempuan itu bahkan mengulurkan tangannya untuk berkenalan denganku.
Dengan ragu aku membalas uluran tangannya, “Dara.”
“Ini Rania,” lanjut Vania memperkenalkan perempuan berkerudung hitam. Perempuan bernama Rania itu tersenyum kecut.
“Lia,” ucap Vania menunjuk perempuan tomboi di sebelah kanannya. Perempuan tomboi bernama Lia itu tersenyum sambil melambaikan tangannya padaku.
“Aku Reno,” ucap pemuda yang menyapaku tadi. Dia juga ikut mengulurkan tangan yang terpaksa aku balas.
“Dara,” ucapku singkat.
“Salam kenal, Mbak Dara,” ucap Reno tersenyum lebar, lalu pemuda itu merangkul teman laki-laki di sampingnya yang berperawakan gendut, “Ini Ahmad. Kami berdua teman dari kecil. Orang-orang namain kami angka sepuluh.”
Ahmad yang dirangkul tersenyum kepadaku sambil berusaha melepas tangan Reno dari pundaknya. Sementara ketiga perempuan menertawakan guyonan Reno yang garing bagiku. Aku hanya diam menatap mereka hingga pandanganku bertemu dengan Vania yang langsung menghentikan tawanya. Gadis itu kemudian menyela obrolan teman-temannya untuk menjelaskan kepadaku maksud kedatangan mereka.
“Jadi maksud kedatangan kami ke sini untuk mengajak Mbak Dara berpartisipasi dalam acara tujuh belasan kampung kita. Ini Mbak Dara bisa baca kegiatan dan lomba apa saja yang bakal kami adain,” ucap Vania sambil menyerahkan brosur kepadaku.
Aku mengambil brosur itu dengan ragu. Sekilas aku membaca ada beberapa perlombaan seperti balap karung, balap kelereng, joget kursi, dan beberapa kegiatan lainnya seperti bersih-bersih kampung dan jalan sehat.
Lima pemuda karang taruna itu tidak kunjung pergi seolah menunggu konfirmasi keikutsertaanku. Mereka saling dorong mendorong untuk meminta jawaban keikutsertaanku.
“Aku enggak bisa ikut, aku kerja,” ucapku singkat dan to the point. Dari awal aku memang tidak tertarik untuk ikut acara seperti itu. Bahkan di kampungku dulu, sudah berkali-kali anak karang taruna mengajakku untuk bergabung, tetapi selalu aku tolak mentah-mentah.
Aku mengulurkan kembali brosur yang sempat aku baca, tapi segera ditolak oleh Vania. Dia berkata, “Eh… brosurnya ambil aja, Mbak. Siapa tahu Mbak Dara berubah pikiran bisa langsung datang aja ke balai RW.”
“Betul, Mbak. Dipikir-dipikir dulu aja, Mbak gapapa. Kami anak karang taruna nggak galak-galak, kok,” lanjut Reno dengan senyumnya yang lebar.
Tidak mau berbincang lebih lama lagi, aku pun hanya mengangguk saja. Anggukanku juga sepertinya sudah cukup membuat mereka akhirnya berpamitan. Saat aku berbalik untuk melanjutkan mengangkat jemuran, aku bisa mendengar pemuda karang taruna yang membicarakanku. Aku mendengar salah satu dari mereka berucap, “Wis tak kandani pasti ditolak. Mbak Dara iku ansos enggak bakal gelem melok acara koyok ngene.”
Ucapan pemuda itu benar apa adanya. Aku memang antisosial. Mana mungkin aku dengan sukarela ikut acara tujuh belasan tanpa ada tujuan. Buang-buang waktu dan tenaga untuk hal yang tidak ada artinya. Lebih baik aku menghabiskan waktuku diam di kamar membaca novel dan belajar caranya tersenyum palsu di hadapan customers.
Namun sayang seribu sayang, Ibu menjerumuskanku di antara dua pilihan sulit. Ibu menyuruhku memilih untuk ikut bersamanya menjenguk Mas Yanto atau ikut serta menjadi panitia tujuh belasan. Dua pilihan itu sangat sulit karena tidak ada yang ingin aku pilih dari keduanya. Memilih pilihan pertama adalah hal yang sangat menyiksa. Aku sudah membayangkan situasiku di sana berhadapan dengan Mas Yanto yang sangat aku hindari, yang ada aku hanya ingin menjambak rambut atau mencakar wajahnya. Memilih pilihan kedua adalah hal yang aku benci, bersosialisasi dengan banyak orang tanpa ada tujuannya. Aku juga bisa membayangkan situasiku di balai RW yang hanya duduk memojok mendengarkan suara berisik anak-anak muda itu, aku tidak akan kuat.
“Cepat pilih sekarang! Ikut Ibu besok jenguk masmu atau jadi panitia tujuh belasan?!”
Sial! Harusnya aku membuang brosur itu sehingga Ibu tidak tahu bahwa aku diundang menjadi panitia tujuh belasan.
“Dara di rumah aja, ya, Bu? Dara capek kerja, mau istirahat aja,” rayuku sambil memeluk lengan kiri Ibu.
Ibu belum menjawab, beliau masih sibuk memasak untuk besok pagi dibawa ke lapas. Minggu ini Mas memesan untuk dibawakan ayam goreng serundeng. Tidak banyak argumentasi, Ibu akan selalu memasakkan masakan apa pun yang putra tercintanya pesan. Bahkan setiap kali kami berdua makan di meja makan, Ibu akan mengingat Mas dengan kalimat andalannya, “Ngene iki masmu nak kono mangan opo, yo, Ra?”
Setiap kali mendengar kalimat itu, aku hanya bisa memutar bola mata.
“Kalau Dara ikut panitia tujuh belasan itu bakal capek, Bu. Hampir tiap hari siapin lomba. Belum lagi nanti waktu acaranya, mana bisa Dara ikutan. Dara, kan, kerja.”
Aku masih belum kapok merayu Ibu. Supaya beliau mengiyakan ucapanku, maka aku mengambil alih sutil yang beliau pegang. Aku menyuruh Ibu untuk bergeser sehingga aku bisa melanjutkan memasak serundeng itu. Biasanya di novel-novel yang aku baca, rayuan seperti ini akan berhasil.
“Oke, sip. Besok kamu ikut Ibu.”
Novel itu hanyalah tulisan fiksi. Isinya tidak seratus persen benar dan bodohnya aku sempat percaya dengan cara merayu murahan ini.
Menimbang-nimbang lagi, sepertinya akan lebih baik jika aku memilih menjadi panitia tujuh belasan. Aku bisa kabur setelah keluar dari rumah ini tanpa sepengetahuan Ibu. Betul. Itu pilihan yang tepat meskipun harus menjadi anak durhaka. Maafkan aku Ibu.
“Dara jadi panitia aja, deh. Ini langsung ke balai,” ucapku sambil mengulurkan kembali sutil kepada Ibu.
Setelah berucap seperti itu, aku mengambil jaket dan ponsel, lalu berjalan keluar rumah. Seperti yang telah aku rencanakan dalam otak jahatku, aku tidak berjalan menuju balai RW melainkan halte terdekat. Aku menaiki bus kota yang terserah akan membawaku pergi ke mana.
Di dalam bus, aku bisa melihat jalanan kota yang begitu ramai sore ini. Para pekerja maupun pelajar memadati jalan untuk segera pulang ke rumah masing-masing. Mereka terlihat tidak sabar hingga beberapa kali mengklakson saat lampu merah telah berubah menjadi hijau. Umpatan saling terlontar di antara pengendara hanya karena mereka sama-sama tidak sabar. Aku memandang heran melihat pemandangan tersebut dari dalam bus. Di saat orang-orang berbondong-bondong tidak sabar pulang ke rumah, aku malah memilih pergi dari rumah.
Kini pandanganku berganti pada bulan yang sudah mulai menghiasi gelapnya langit. Dia berlari cepat meskipun tidak memiliki kaki. Bulan yang tinggal seperempat itu menorehkan senyum sinisnya kepada bus yang membawaku pergi. Aku menjadi kesal mendapati bahwa bus yang aku tumpangi begitu payah hanya untuk mengejar bulan. Bus ini terlalu lemah. Terlalu banyak berhenti padahal bulan di langit sudah kurang ajar mengejeknya.
Aku yang kesal pun memilih turun di halte random. Aku ingin membuktikan pada bus payah bahwa aku bisa mengejar bulan yang terus tersenyum sinis di atas sana.
Di ramainya jalanan kota akan pengendara yang tidak sabar pulang, aku berlari beriringan dengan mereka. Tentu saja aku tidak dapat mengejar kecepatan buatan manusia itu, begitu juga mengejar buatan Tuhan. Setelah berlari jauh, aku tetap kalah dari bulan yang makin tersenyum sinis membuatku ingin menorehkan cabai merah di sana agar dia kepedasan.
Mengakui kekalahanku, aku memilih untuk berhenti di sebuah taman luas yang aku temui dalam perjalanan. Taman ini ramai sekali. Banyak pedagang yang sedang menawarkan dagangannya, banyak anak muda yang sedang berbincang-bincang, banyak sejoli yang sedang bermesraan, dan banyak keluarga yang sedang bermain bersama.
Biasanya aku kesal dengan tempat yang ramai, tapi entah mengapa aku merasa tempat ini seperti tidak akan menghakimiku. Aku duduk di tribune paling atas yang berbentuk lingkaran di tengah taman. Saat aku dongakkan kepalaku di atas, bulan tidak lagi berlari—kami menjadi seri. Namun saat aku luruskan pandangan ke depan, aku melihat anak-anak yang sedang berlari mengejar kitiran yang baru saja mereka lemparkan ke langit. Mereka tertawa senang lalu berlari kepada ayah mereka untuk melemparkan kembali kitiran ke langit. Saat sang ayah bersiap melempar kitiran ke langit, sang anak sudah siap dengan kedua mata yang mengintimidasi kitiran. Sang anak tidak akan membiarkan kitiran mereka tertukar dengan kitiran anak lain.
Tempat ini seperti surga. Semua orang sibuk dengan dirinya masing-masing. Tidak ada yang menyadari kehadiranku selain pedagang yang hanya lalu lalang menawarkan dagangan saja sehingga tidak begitu menggangguku.
Aku menyukai tempat ini. Tempat yang akan menjadi pelarianku dari bulan yang juga terlihat kelelahan tapi masih bisa tertawa meremehkanku.
* * *