Loading...
Logo TinLit
Read Story - Darah Dibalas Dara
MENU
About Us  

Cermin panjang di lemari memantulkan diriku yang sedang duduk bersila dengan seragam kerja berwarna hitam. Aku mulai memoles wajahku dengan makeup flash sale yang aku beli di marketplace. Secara ajaib, mata pandaku akibat sering bergadang setiap malam untuk menamatkan novel mulai tersamarkan. Bibir yang tidak pernah tertarik dengan sempurna tidak lupa aku lapisi dengan lipstik merah cabai yang Ibu belikan di pasar malam. Ibu berkata bahwa bibir yang merah dapat menarik perhatian orang-orang tanpa perlu menarik bibir secara sukarela.

Sebenarnya aku tidak suka warna merah cabai ini. Rasanya begitu pedas di bibirku meskipun lipstik itu tidak memiliki perasa. Namun, Ibu selalu memarahiku apabila aku lebih memilih menggunakan lipstik nude. Beliau akan masuk ke kamar mengambil lipstik merah cabai, lalu berlari mengejarku hingga beliau memastikan bibirku telah semerah cabai.

“Kamu lupa dulu sampai harus sembunyi-sembunyi pakai lipstik Ibu?” ucapku mengikuti gaya berbicara Ibu sambil melihat pantulan diriku di cermin. Bibirku terlihat begitu merah, siap untuk dipetik.

“Ingat nggak kamu dulu sampai patahin lipstik Ibu terus buat Mochi jadi kambing hitam?” lanjutku melanjutkan ucapan Ibu yang sangat aku hafal ketika beliau mengoleskan lipstik merah cabai.

Memang benar dulu aku pernah menggunakan makeup milik Ibu secara diam-diam saat Ibu sedang sibuk bekerja di laundry. Aku memoleskan bedak padat yang menjadi begitu putih di wajahku seperti Casper, aku membentuk alisku sebesar ulat bulu yang aku lihat di Kebun Binatang Mini, aku menggunakan eyeshadow sepuluh warna yang aku campurkan semuanya, aku menggunakan maskara yang belepotan di kantong mataku karena terlalu sering mengedipkan mata, aku menggunakan blush on merah di pipi sehingga terlihat seperti tomat, dan tidak lupa aku juga menggunakan  lipstik merah cabai di bibir. Setelah semua makeup yang Ibu punya aku tempelkan di wajahku, aku bercermin dan tersenyum centil melihat wajah anehku yang bagiku saat itu begitu cantik.

Siang itu adalah pertama dan terakhir kalinya aku menggunakan makeup Ibu secara diam-diam. Sebab tanpa sengaja aku mematahkan lipstik merah cabai milik Ibu. Waktu itu aku kebingungan harus berbuat apa. Memasangkan patahannya kembali juga akan meninggalkan jejak, tetapi mengakuinya akan membuatku kena amukan Ibu.

Di saat aku sedang mondar-mandir di kamar sambil menggigit kuku, Mochi—kucingku yang paling gembul masuk ke kamar. Dia mengeong mengisyaratkan waktunya aku memberinya makan siang. Aku pun mengajak Mochi untuk keluar kamar, mengisi tempat makanannya yang kosong dan menunggunya hingga selesai makan. Mochi terlihat lahap sekali makannya hingga tidak tersisa satu butir pun. Tiba-tiba saja ide jahat muncul di otak polosku. Aku membawa Mochi kembali masuk ke kamar Ibu. Di dalam kamar itulah aku melakukan ide jahatku. Aku hiasi bibir Mochi dengan lipstik merah cabai sambil berdoa agar Mochi tidak kepedasan.

Setelah melakukan ide jahat itu, aku meninggalkan Mochi sendirian di dalam kamar Ibu sementara aku kabur masuk ke dalam kamar, bersembunyi di balik selimut. Lima belas menit yang menyiksaku karena aku merasa kepanasan ditambah jantungku yang tidak bisa berdetak dengan normal. Tubuhku bergemetar hebat saat aku dengar pintu utama terbuka.

Ibu sudah pulang. Mungkin nyawaku sebentar lagi akan hilang.

Memang setiap jam dua belas siang, Ibu akan menghentikan pekerjaannya di laundry milik Tante Ayu yang rumahnya tepat berada di sebelah rumah kami. Ibu pulang untuk memasakkan aku, Mas Yanto, dan Bapak makan siang. Akan tetapi siang itu, aku terancam tidak mendapat jatah makan.

Aku menutup wajahku dengan selimut saat Ibu berteriak memanggilku dan Mas Yanto. Dari kamar aku mendengar suara Mas Yanto yang menanyakan mengapa Ibu berteriak memanggil namanya. Ibu pun menjawab dengan suaranya yang meninggi hingga membuat bulu kudukku berdiri. Lalu dengan entengnya Mas Yanto menjawab jika bukan dia pelakunya karena sedari pagi dia  tidak meninggalkan meja belajar sehingga kemungkinan besar akulah pelakunya. Aku memaki dalam hati saat Mas Yanto menuduhku dengan tepat saat itu.

“Siapa lagi kalau bukan Dara, Bu? Yanto enggak mungkin, kan, pakai lipstik.”

“Iya, juga. Sekarang mana adikmu itu?!”

Tidak lama Ibu kembali meneriaki namaku. Kini sebanyak tiga kali. Akan gawat jika aku tidak segera memunculkan batang hidungku. Akhirnya dengan keberanian yang hanya setetes darah, aku keluar kamar dan pergi ke kamar Ibu. Di sana Ibu berdiri di dekat meja riasnya sambil berkacak pinggang menatapku, Mas Yanto berdiri di depan pintu dengan buku yang masih di tangannya—aku tidak habis pikir dia masih sempat-sempatnya belajar di situasi seperti itu, dan Mochi yang sedang mandi di atas kasur. Seketika aku langsung menunjuk Mochi sebelum tatapan Ibu menghabisiku, “Bukan aku! Mochi yang patahin lipstik Ibu. Lihat! Bibir Mochi merah.”

Ibu segera mengalihkan pandangannya pada Mochi yang asyik menjilati perutnya mengakibatkan tubuh sucinya itu menjadi merah-merah. Melihat merah-merah di bibir dan sekujur tubuh Mochi, Ibu mendekati kucing itu masih sambil berkacak pinggang.

“Oh, jadi Mochi pelakunya?”

“Ta-tadi waktu Dara habis dari kamar mandi lihat Mochi masuk kamar Ibu. Dara enggak tahu kalau Mochi mainin lipstik Ibu,” ucapku secepat kilat.

Aku mulai menghela napas saat Ibu menepuk-nepuk kepala Mochi membuat kucing itu mulai meleyot-leyotkan tubuh moleknya. Mochi mengeong. Kucing gembul itu suka sekali dimanja.

“Kamu habis fashion show, Dek?” Tiba-tiba Mas Yanto yang akan kembali ke kamarnya bertanya padaku. Aku gelagapan begitu hebat. Tidak mau rencanaku gagal, aku pun berpura-pura meregangkan tubuhku sambil menutup mulutku yang menguap palsu.

“Dari tadi Dara tidur di kamar.”

“Tapi kenapa mukamu jadi aneh gitu?” tanya Mas Yanto lagi sambil menunjuk wajahku.

Aku menepuk kening. Saking bingungnya mencari cara untuk menghilangkan jejak perbuatanku mematahkan lipstik Ibu, aku sampai lupa menghapus riasan di wajahku.

“Mochi anak baik kok, ya. Mana mungkin Mochi main makeup punya Ibu,” kata Ibu yang akhirnya aku ketahui bahwa semenjak kehadiranku, beliau tahu bahwa akulah pelakunya.

Sebelum amarah Ibu meledak, aku segera berlutut di kaki beliau yang kini terduduk di kasur menggendong Mochi yang terus mengeong. Aku terus memohon maaf dan mengakui segala perbuatanku. Aku menceritakan apa yang terjadi dari awal hingga akhir. Aku juga berjanji kepada Ibu tidak akan lagi menggunakan makeup beliau tanpa izin. Akan tetapi Ibu sama sekali tak merespons permintaan maafku, beliau malah asyik mengajak bicara Mochi. Aku pun menangis karena diamnya Ibu adalah marahnya yang paling menakutkan.

Untungnya tidak lama Bapak pulang. Aku pun menceritakan kesalahanku dan memohon agar Bapak bisa membantuku berbicara dengan Ibu. Bapak pun melakukan negosiasi dengan Ibu yang sedang menyiapkan makan siang. Negosiasi Bapak berhasil. Ibu mau menerima permohonan maafku dengan syarat aku harus menyelesaikan kekacauan yang telah aku perbuat. Mulai dari aku harus membersihkan meja rias Ibu yang berantakan, membersihkan lantai dan seprai yang kotor terkena lipstik dari badan Mochi, dan memandikan Mochi yang sudah seperti udang matang.

Ibu melarang Bapak dan Mas Yanto untuk membantuku. Beliau berkata seperti ini, “Ojok onok sing ngewangi Dara lek kalian mau dapat jatah makan siang! Kamu Dara! Selesaikno hukumanmu baru Ibu boleh makan siang!”

Aku pun menundukkan kepala dan mulai melaksanakan hukuman. Tentunya aku masih sambil menangis sesenggukan. Sejak saat itu aku kapok dan enggak mau lagi sedikit pun menyentuh makeup milik Ibu.

Sepuluh tahun berlalu, kini aku bisa membeli makeup untuk diriku sendiri. Aku kembali merias wajahku meskipun awal-awal riasanku sangat aneh sampai Ibu menertawaiku. Kata beliau, riasanku masih mirip dengan riasanku sepuluh tahun lalu. Melihatku yang tidak jago merias wajah, Ibu pun mengajariku hingga aku cukup mahir untuk merias wajahku sendiri.

Terakhir untuk menyempurnakan penampilanku, aku menyemprotkan parfum mahal yang aku beli di mall dengan begitu irit. Bagiku berpenampilan rapi dan cantik belum afdal kalau kita belum wangi. Sementara apabila kita wangi, orang-orang akan tertarik dengan kita, persis seperti parfum mahalku yang berhasil menarik perhatian para tetangga.

“Mbak Dara iki gawe parfum opo?”

“Iyo, Mbak. Sampean wis mlaku adoh wangi e jek keri.”

“Ibu yang belikan di pasar malam,” jawabku berbohong agar sesi tanya-jawab ini berakhir cepat.

Ibu-ibu yang menanyaiku tersenyum kecut, mengisyaratkan mereka sudah tidak memiliki pertanyaan lagi sehingga aku bisa melanjutkan perjalanan. Bisik-bisik mereka yang tidak seperti berbisik terdengar bahkan setelah delapan langkah yang aku tempuh. Mereka membicarakan diriku yang cuek dan anti bersosialisasi, tidak seperti ibuku yang sangat ramah kepada para tetangga. Aku pun hanya bisa terus berjalan membiarkan diriku menjadi topik panas sore itu oleh ibu-ibu kampung yang tidak memiliki pekerjaan selain mengurusi hidup orang lain.

Tempat kerjaku memang tidak berada jauh dari rumah. Kurang lebih aku memakan waktu sepuluh menit dengan berjalan kaki. Sepuluh menit yang cukup menyiksaku karena harus melewati para tetangga yang sepertinya memiliki seribu satu pertanyaan tentangku di kepala mereka. Setiap kali aku berangkat kerja, pertanyaan mereka selalu berbeda-beda. Mereka menanyaiku mulai dari merk parfum, pekerjaan, hingga penyebab keluargaku tidak utuh. Tempat kerja yang tidak jauh itu tetap membuatku lelah selama perjalanannya.

Lebih kesalnya lagi saat Ibu mengomeliku untuk lebih ramah kepada para tetangga. Ibu selalu berpesan bahwa setiap kali aku melewati mereka, aku harus menundukkan tubuhku, memberi seutas senyum, dan mengucapkan ‘Amet, Bu!’. Dengan begitu ibu-ibu tidak akan banyak bertanya dan segera membiarkan aku lewat begitu saja. Akan tetapi, aku benci sekali melakukan tiga hal itu, terutama nomor dua, senyum. Kenapa aku harus memberikan senyumku kepada orang lain saat aku pun tidak sedang merasa bahagia karena bertemu mereka atau karena hal lain?

Tapi ternyata, memberi seutas senyum juga tetap berlaku di tempat kerja. Sedetik saja bibirku tidak terangkat, mengamuklah mereka para pembeli yang katanya ‘Raja dan Ratu’ itu.

“SAYA PEMBELI DI SINI! SAYA RATU YANG HARUS KAMU LAYANI DENGAN RAMAH. BUKANNYA JUTEK GITU!” teriak customer sambil menunjuk-nunjuk wajahku.

Aku menatap customer yang merupakan seorang ibu muda dengan dua orang anak, yang besar mungkin usia TK dan yang kecil baru berumur setahun. Ibu muda itu tiba-tiba membanting meja saat aku datang membawa pesanannya, lalu dia menunjuk-nunjuk wajahku sambil berteriak-teriak. Akibat teriakannya, anaknya yang paling kecil menangis kencang. Sang ayah pun segera mengeluarkan anaknya dari baby chair untuk kemudian ia gendong agar tangisnya mereda.

“LIHAT! ANAK SAYA SAMPAI NANGIS GARA-GARA KAMU!”

Ibu muda itu menunjuk wajahku lagi.

“Itu karena suara Anda terlalu keras,” jawabku sesuai kenyataan di lapangan.

Mendengar jawabanku, ibu muda itu makin mengamuk. Manajer dan beberapa rekan kerjaku pun datang melerai kami. Begitu juga dengan sang ayah yang memberi isyarat kepada istrinya untuk meredam amarah. Akan tetapi, amarah ibu muda itu masih membara sambil terus menunjuk-nunjuk wajahku. Melihat wajahnya yang memerah membuatku begitu bingung apa yang sudah aku lakukan hingga membuat perempuan itu begitu marahnya. Lebih membingungkannya lagi saat manajer menyuruhku menunduk dan memohon maaf kepada ibu muda itu.

Tentu saja aku menolak. Aku tidak melakukan kesalahan yang mengharuskanku memohon maaf hingga menundukkan kepala layaknya dayang-dayang kepada ratu istana. Namun semua rekan kerjaku juga menyudutkanku untuk segera meminta maaf kepada ibu muda tersebut agar para customer yang lain tidak terganggu. Aku menjadi kesal dan memilih masuk ke ruang karyawan. Saat itu juga aku mendengar permohonan maaf dari manajer yang bersahutan dengan makian ibu muda yang ditujukan kepadaku.

Lima belas menit setelah aku masuk ruang karyawan, manajer masuk menghampiriku. Ia berdiri di depanku sambil berkacak pinggang. Helaan napasnya begitu besar dan sorotan matanya memperlihatkan amarahnya padaku.

“Apa susahnya, sih, Ra untuk minta maaf?”

“Untuk kesalahan apa?”

Manajer berdecak. “Kamu kerja di sini bukan sehari dua hari, kan, Ra? Udah ratusan customer yang kamu layani, tapi kamu masih enggak tahu bagaimana cara melayani customer?”

“Ratusan lebih customer sebelumnya fine-fine aja.”

“Setiap customer punya karakteristik yang berbeda-beda, Ra!”

“Dan aku harus memahami setiap karakteristik itu?”

NO! Kamu cuma perlu lakuin sesuai SOP. Ramah ke customer. Kita bisa makan juga dari mereka, Ra,” jawab manajer sampai keningnya mengerut. Manajer kembali menghela napas besar, lalu memegangi kepalanya entah kenapa.

“Apa susahnya, sih, Ra buat senyum? Kamu cuma perlu tarik kedua ujung bibir kamu kayak gini,” kata manajer sambil memperagakan menarik kedua sudut bibirnya dengan ibu jari dan jari telunjuk, “bahkan dari TK kita juga udah diajari cara buat senyum, kan?”

Aku bergeming. Tatapanku lurus menatap bola mata manajer yang berputar. Batinku berkata, iya aku mendapat pelajaran cara tersenyum yang lulus dalam sekali coba di saat teman-temanku remedial. Akulah satu-satunya murid yang tersenyum di foto kelulusan TK. Alasan dibalik senyumku hari itu adalah karena untuk pertama kalinya seseorang memotretku lengkap dengan flash layaknya artis. Aku merasa bahagia saat itu sehingga aku tersenyum.

“Kenapa aku harus tersenyum, Mbak?”

Manajer membuka mulutnya lalu tertawa hambar. Untuk kedua kalinya beliau memegangi kepalanya lagi.

“Bukannya tersenyum itu salah satu bentuk ibadah, ya, Ra? Dan posisimu sekarang sebagai waiters yang mana kamu tahu pekerjaanmu adalah melayani customer. Coba deh dituker, kamu yang jadi customer terus pelayannya jutek, enggak ramah, enggak mau senyum, apa kamu fine-fine aja dengan itu?”

Aku mengangguk.

“Kamu lagi ada masalah, ya, Ra?” tanya manajer yang tidak aku jawab.

“Ra. Orang lain, tuh, enggak akan bisa dan bukan kewajibannya untuk memaklumi suasana hati kita yang buruk. Dan senyum adalah kunci dari suasana hati yang buruk, Ra. Lihat orang tersenyum akan membuat suasana hati kita ikut membaik. Contoh kecilnya kayak waktu ayah kamu pulang kerja dengan wajah murung dan enggak mau diajak ngobrol, kamu pasti akan bingung dan terus bertanya-tanya apa kamu ngelakuin kesalahan. Sebaliknya kalau ayah kamu pulang kerja dengan senyuman di wajah, kamu pasti akan ikut tersenyum menyambutnya. Sesimpel dan semanjur itu, Ra, sebuah senyuman .”

Ucapan manajer membuatku terdiam membeku. Aku tidak berani menatap matanya yang tidak berputar lagi. Aku menunduk, menatap sepatu manajer yang basah dan kotor, sepertinya jus jambu telah mendaratkan dirinya di sana. Pasti itu ulah ibu muda yang tidak terima aku kabur dari amukannya sehingga ia melampiaskannya pada manajer. Aku merasa bersalah akan tanggung jawab yang aku lemparkan kepadanya.

Dan untuk ucapan manajer mengenai sesimpel dan semanjurnya sebuah senyuman membuatku tersadar bahwa pantas saja aku tidak pernah tersenyum lagi, sebab terakhir kali Bapak pulang beliau tidak tersenyum dan tidak juga menjawab saat aku ajak berbicara. Bapak hanya terdiam dalam balutan kain putih dengan telinga dan mulut yang tersumpal kapas sehingga tidak dapat mendengar dan menjawab pertanyaanku, “Bapak kenapa pulang naik ambulans?”

Usai shift kerja berakhir, aku pergi ke kamar mandi untuk melihat pantulan diriku di cermin. Riasanku masih terlihat cantik. Alis kembar yang ramping, bedak yang tidak pecah-pecah, eyeshadow dan blush on pink dengan gliter yang kemerlip, maskara yang lentik, tapi tidak dengan lipstik merah cabaiku. Segera aku hapus lipstik merah cabai dengan punggung tangan yang menyebabkan riasan di sekitar bibirku menjadi berantakan, menjadi kacau sepertiku. Nyatanya lipstik merah cabai tetap tidak bisa membuat bibirku tersenyum palsu, Bu.

* * *

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
God's Blessings : Jaws
1839      847     9     
Fantasy
"Gue mau tinggal di rumah lu!". Ia memang tampan, seumuran juga dengan si gadis kecil di hadapannya, sama-sama 16 tahun. Namun beberapa saat yang lalu ia adalah seekor lembu putih dengan sembilan mata dan enam tanduk!! Gila!!!
My LIttle Hangga
782      509     3     
Short Story
Ini tentang Hangga, si pendek yang gak terlalu tampan dan berbeda dengan cowok SMA pada umunya. ini tentang Kencana, si jerapah yang berbadan bongsor dengan tinggi yang gak seperti cewek normal seusianya. namun, siapa sangka, mereka yang BEDA bisa terjerat dalam satu kisah cinta. penasaran?, baca!.
Senja di Balik Jendela Berembun
17      17     0     
Inspirational
Senja di Balik Jendela Berembun Mentari merayap perlahan di balik awan kelabu, meninggalkan jejak jingga yang memudar di cakrawala. Hujan turun rintik-rintik sejak sore, membasahi kaca jendela kamar yang berembun. Di baliknya, Arya duduk termangu, secangkir teh chamomile di tangannya yang mulai mendingin. Usianya baru dua puluh lima, namun beban di pundaknya terasa seperti telah ...
SarangHaerang
2211      899     9     
Romance
(Sudah Terbit, sebentar lagi ada di toko buku dekat rumahmu) Kecelakaan yang menimpa saudara kembarnya membuat Hae-rang harus menyamar menjadi cewek. Awalnya dia hanya ingin memastikan Sa-rang menerima beasiswanya, akan tetapi buku harian milik Sa-rang serta teror bunga yang terjadi memberikan petunjuk lain kalau apa yang menimpa adiknya bukan kecelakaan. Kecurigaan mengarah pada Da-ra. Berb...
Kota Alkroma: Tempat Ternyaman
86      52     0     
Fantasy
Kina tidak pernah menyukai kota kecil tempat tinggalnya. Impiannya dari kecil adalah untuk meninggalkan kota itu dan bahagia di kota besar dengan pekerjaan yang bagus. Dia pun setuju untuk menjual rumah tempat tinggalnya. Rumah kecil dan jelek itu memang seharusnya sudah lama ditinggalkan tetapi seluruh keluarganya tidak setuju. Mereka menyembunyikan sesuatu. Kemudian semuanya berubah ketika Kina...
DELUSION
6094      1813     0     
Fan Fiction
Tarian jari begitu merdu terdengar ketika suara ketikan menghatarkan sebuah mimpi dan hayalan menjadi satu. Garis mimpi dan kehidupan terhubung dengan baik sehingga seulas senyum terbit di pahatan indah tersebut. Mata yang terpejam kini terbuka dan melihat kearah jendela yang menggambarkan kota yang indah. Badan di tegakannya dan tersenyum pada pramugari yang menyapanya dan menga...
Mengejarmu lewat mimpi
2144      856     2     
Fantasy
Saat aku jatuh cinta padamu di mimpiku. Ya,hanya di mimpiku.
Horses For Courses
11644      2330     18     
Romance
Temen-temen gue bilang gue songong, abang gue bahkan semakin ngatur-ngatur gue. Salahkah kalo gue nyari pelarian? Lalu kenapa gue yang dihukum? Nggak ada salahnya kan kalo gue teriak, "Horses For Courses"?.
Kisah Kasih di Sekolah
749      481     1     
Romance
Rasanya percuma jika masa-masa SMA hanya diisi dengan belajar, belajar dan belajar. Nggak ada seru-serunya. Apalagi bagi cowok yang hidupnya serba asyik, Pangeran Elang Alfareza. Namun, beda lagi bagi Hanum Putri Arini yang jelas bertolak belakang dengan prinsip cowok bertubuh tinggi itu. Bagi Hanum sekolah bukan tempat untuk seru-seruan, baginya sekolah ya tetap sekolah. Nggak ada istilah mai...
NWA
2312      927     1     
Humor
Kisah empat cewek penggemar boybend korea NCT yang menghabiskan tiap harinya untuk menggilai boybend ini