Loading...
Logo TinLit
Read Story - Negaraku Hancur, Hatiku Pecah, Tapi Aku Masih Bisa Memasak Nasi Goreng
MENU
About Us  

Seragamku kebesaran satu setengah ukuran, dan berbau seperti pupuk kandang yang disimpan dalam lemari tertutup sepanjang musim panas. Bukan perumpamaan. Itu benar-benar bau yang menusuk, perpaduan antara tanah basah, plastik tua, dan harapan yang sudah lama mati.

Rompinya punya logo “Tokyo Municipal Park Department” yang warnanya sudah tidak jelas. Mungkin dulunya hijau muda, tapi sekarang lebih mirip warna teh basi yang disaring pakai kaus kaki. Celananya menggantung seperti dilema hidup, dan topinya longgar seolah ingin kabur dari kepalaku sejak aku pertama kali memakainya.

Ini adalah hari pertama kerjaku sebagai petugas kebersihan taman. Pekerjaan paruh waktu. Gajinya pas-pasan. Jam kerjanya pagi-pagi. Dan status sosialnya... ya, mari kita bilang: berada tepat di bawah tukang fotokopi rusak yang sering dimarahi.

Aku tidak tahu kenapa aku menerima pekerjaan ini. Mungkin karena rasa tanggung jawab. Mungkin karena uang makan makin tipis. Atau mungkin... karena aku sedang dalam fase “perjalanan membentuk karakter” yang direkomendasikan YouTube motivational Jepang jam 3 pagi.

Aku berdiri di pinggir taman kota yang lumayan luas, sambil memegang sapu bambu yang sudah setengah botak dan keranjang anyaman plastik yang terasa seperti pernyataan hidup: tipis, bolong di beberapa bagian, dan tetap harus dibawa ke mana-mana.

Di sebelahku, berdiri Yamada-san. Supervisor. Pria paruh baya dengan ekspresi netral permanen dan energi seperti printer tua: pelan, tidak jelas kapan mulai, tapi tiba-tiba sudah selesai.

Tanpa basa-basi, ia menunjuk ke jalur setapak yang dipenuhi daun musim gugur.

"Zenbu. Souji," katanya singkat. Bersih semua.

Aku mengangguk seperti mengerti. Padahal cuma 40 persen. Sisanya diisi dengan rasa gugup, jet lag ringan, dan pertanyaan: "Kenapa aku tidak ambil kerjaan di minimarket saja?"

Tiga pekerja lain sudah menyebar tanpa sepatah kata. Tak satu pun dari mereka menyapaku. Mereka seperti NPC dari game RPG yang sudah bosan dengan quest-nya sendiri. Mereka bekerja seperti robot emosi: fokus, efisien, tidak mengeluh, tidak peduli dengan newbie berkeringat yang berdiri mematung di dekat pohon.

Aku mulai menyapu. Satu gerakan, dua gerakan. Debu naik. Daun berlarian. Dan dunia tidak peduli aku di sini.

Lima menit pertama: semangat. Aku membayangkan ini bagian dari latihan disiplin Jepang. Aku tokoh utama. Aku rendah hati. Aku berproses.

Sepuluh menit: mulai sadar bahwa tidak ada soundtrack latar seperti di anime. Yang ada hanya suara gesek sapu dengan tanah yang kering dan suara “kresek” yang terlalu jujur untuk suasana hati ini.

Lima belas menit kemudian: sakit pinggang. Bahu mulai nyeri. Daun-daun seperti dikendalikan makhluk halus. Baru dikumpul sedikit, datang angin dan semuanya kabur seperti murid sekolah bolos pelajaran.

Aku mencoba teknik baru: menyapu dari tengah ke luar, seperti whirlpool kecil. Gagal total. Daun-daunnya malah menyebar seperti puzzle yang marah dibongkar.

Aku mulai menamai mereka.

Daun besar cokelat tua: “Ketua Genk.”

Daun kuning menggulung: “Si Tua Bandel.”

Daun merah kecil yang terus menempel di ujung sapu: “Nokoru,” si yang selalu tertinggal.

Tiga puluh menit kemudian: aku berdiri diam, memandangi tumpukan daun yang menatap balik dengan ekspresi pasrah.

“Kenapa kita hidup, ya?” gumamku ke mereka.

Aku mulai mengalihkan perhatian ke pekerja lain, yang satu seperti mesin. Tangannya bergerak ritmis tanpa suara. Yang lain bahkan tidak terlihat berkeringat. Mereka seperti makhluk mitos yang memang dilahirkan untuk pekerjaan ini.

Aku, di sisi lain, adalah alien dengan seragam terlalu besar dan sepatu yang mengeluarkan suara “plok-plok” karena kaos kaki belum kering sepenuhnya sejak kemarin.

Kupikir pekerjaan ini akan membuatku ‘membumi’. Katanya kerja kasar membentuk karakter. Tapi sejauh ini yang terbentuk baru lecet di telapak tangan dan rasa malu eksistensial karena satu jam membersihkan taman malah bikin taman makin berantakan.

Tiba-tiba, supervisor melintas tanpa suara di belakangku seperti ninja usia paruh baya.

“Yamada-san,” sapaku ragu.

Ia hanya menatap daun-daun berserakan di depanku, menghela napas pelan, lalu berjalan pergi tanpa sepatah kata.

Aku merasa seperti murid remedial yang baru sadar soal ulangannya bukan minggu depan, tapi hari ini.

Lalu aku menarik napas, menguatkan tekad.

“Ini belum akhir. Ini baru tutorial.”

Aku mengangkat sapu seperti samurai yang baru kalah tapi belum menyerah.

Dan kembali menyapu, pelan-pelan, seperti menyusun ulang harga diriku sendiri satu helai daun pada satu waktu.

Aku terus menyapu. Gerakan tangan makin pelan, bukan karena aku menguasai teknik tertentu, tapi karena tubuhku sudah masuk mode hemat baterai.

Taman ini ternyata cukup luas. Ada bangku-bangku kayu berlumut, jalur berliku dari batu pipih, dan kolam dangkal dengan air yang nyaris tidak bergerak.

Daunnya bukan cuma banyak, mereka muncul dari tempat-tempat yang seharusnya tidak logis. Di bawah bangku. Di celah kerikil. Di atas tempat sampah. Seolah taman ini punya fitur “respawn daun otomatis” yang tidak bisa dimatikan.

Lalu... aku melihatnya.

Di sudut taman yang agak teduh, di bawah pohon maple Jepang yang daunnya merah-oranye seperti api kecil, duduk seorang gadis. Seragam putih-biru.

Rambut hitam lurus panjang, tergerai sampai punggung. Tubuhnya tenang, kontras dengan dunia di sekitarnya yang bergerak acak dan absurd.

Ia memegang buku sketsa besar yang terbuka lebar di pangkuannya. Tangannya bergerak pelan, seperti penari balet yang terlalu malas tampil di panggung, tapi terlalu elegan untuk berhenti. Setiap gerakannya mengalir, seperti ia tahu persis ke mana garis itu harus pergi.

Aku berdiri beberapa meter darinya, menyapu dengan gerakan makin lambat, lupa waktu. Entah kenapa, keberadaannya membawa ketenangan.

Bukan yang megah atau magis. Tapi semacam... diam yang enak didengar. Diam yang tidak membuatmu merasa sendiri.

Mataku melirik keranjangnya. Sudah setengah penuh. Aku bisa berhenti sejenak. Atau sekadar berpura-pura mengecek daun di area dekatnya.

Aku mendorong keranjangku dengan suara “krek-krek” yang membuatku menyesal seketika. Suara itu terdengar seperti kentut robot di antara harmoni pagi yang sunyi.

Aku mencoba diam-diam mendekat. Tapi tubuhku tetap berbunyi. Sepatuku berbunyi. Sapu gesek tanah. Keranjang keresek. Bahkan nafas pun terasa seperti sirine ambulans.

Ia tidak menoleh. Masih fokus. Masih menggambar.

Dan aku... malah berdiri seperti penjaga taman yang tersesat dalam film Studio Ghibli.

Perlahan, aku mulai menyapu di area dekatnya. Dengan lembut. Satu gerakan halus. Dua gerakan sopan. Tiga...

Dan seperti takdir kecil yang menyukai kekacauan, sapuku menggeser satu tumpukan daun.

Angin ikut campur.

Daun-daun kering terangkat pelan... dan tiga helai kecil jatuh pas di atas kertas putihnya yang penuh garis halus.

Aku menegang. Dunia berhenti. Bahkan burung pun seperti menahan napas.

Ia menoleh.

Pelan.

Seperti gerakan slow motion yang tidak pakai efek khusus, tapi bikin jantungku berhenti tepat di detik ketiga.

Matanya... tajam. Tapi bukan tajam marah. Lebih ke tajam yang tahu. Seperti dia bisa membaca pikiranku dan menyimpulkan, “Ah, manusia bodoh dengan sapu.”

Wajahnya tenang. Ekspresinya datar. Tapi bukan kosong. Lebih seperti... seseorang yang sudah terlalu sering kecewa dengan dunia tapi masih menyempatkan diri untuk menggambar bunga.

Aku membeku. Otakku panik. Bahasa tubuhku kacau.

“Ah, sumimasen! Sorry! Sorry! Uh… I didn’t… uh, I mean… I sweep… eh, I was…”

Tanganku mulai memberontak dari akal sehat. Satu menunjuk ke sapu. Satu lagi menunjuk ke daun. Lalu ke kertasnya. Lalu... entah kenapa aku menunduk seperti mau memberi hormat, tapi malah mirip gerakan pemanasan lutut.

Sekilas, aku merasa seperti karakter latar di anime sekolah yang tiba-tiba dikasih dialog tapi lupa skrip.

Ia tidak berkata apa-apa.

Sebaliknya, ia meniup perlahan permukaan kertasnya. Daun-daun kecil itu jatuh dengan lembut ke pangkuannya, seolah ikut malu atas kekacauan yang mereka sebabkan.

Lalu ia mengambil tisu dari saku tasnya dan mulai mengusap bekas noda di pojok kertas.

Aku masih berdiri di tempat.

Menyesal.

Gugup.

Dan sedikit lapar.

Keringat dingin turun di pelipis. Bukan karena takut dimarahi, tapi karena... ada semacam keheningan di antara kami yang tidak bisa diisi dengan kata-kata. Keheningan yang lebih keras dari suara keranjang tadi.

Aku berpikir untuk kabur. Atau lompat ke kolam dangkal terdekat. Atau pura-pura jadi patung kebersihan taman.

Tapi lalu, ia mengangkat kepalanya. Menatapku.

Dan... tersenyum.

Tipis. Bukan senyum basa-basi. Bukan juga senyum sarkastik.
Itu senyum yang terasa... nyata. Seperti senyum dari seseorang yang tidak sering membagikannya, tapi tahu kapan harus memberikannya.

Aku terdiam.

Senyum itu membuat seluruh rasa malu tadi... terasa seperti cerita lucu yang belum selesai. Membuat kegugupan berubah jadi rasa ringan yang aneh. Dan hangat.

Aku membalas dengan anggukan setengah hormat, setengah terima kasih, dan setengah “maafkan saya, saya manusia kacau”.

Lalu kembali menyapu, pelan-pelan. Tapi kali ini, sapu terasa lebih ringan. Udara terasa lebih bersih. Dan dunia... sedikit lebih baik.

Langkahku kembali bergerak. Sapu di tanganku masih sama, tapi rasanya berbeda. Seolah alat ini, yang sejak tadi jadi simbol kehinaan personal, mendadak berubah jadi tongkat sihir yang bisa menyingkirkan malu, bukan cuma daun.

Aku menyapu tanpa suara, tapi dalam kepalaku, suara-suara batin sibuk berdiskusi.

"Tadi itu senyum, kan?"

"Iya. Valid."

"Kenapa bisa bikin lega, ya?"

"Karena untuk pertama kalinya hari ini, ada yang benar-benar melihat kamu."

Selama beberapa minggu di kota ini, aku merasa jadi transparan. Di jalan, di toko, bahkan di asrama tempatku tinggal, orang-orang lewat, senyum sopan, atau tidak senyum sama sekali. Aku tak berharap banyak, hanya ingin dunia mengakui bahwa aku ada.

Dan tadi... dia melakukannya. Tanpa kata. Tanpa salam. Tapi cukup.

Bahkan sekarang, aku tidak tahu namanya. Tidak tahu kelas berapa dia, sekolah mana, suka menggambar sejak kapan. Tapi kurasa itu tidak penting.

Yang penting adalah: dia melihatku.

Bukan sebagai petugas berseragam kebesaran, bukan sebagai orang asing yang menyapu taman dengan canggung. Tapi sebagai manusia.

Dan mungkin, hanya mungkin... aku ingin melihatnya juga. Bukan sekadar memandangi. Tapi melihat, cara dia melihat bunga dan dunia di sekelilingnya. Dengan penuh perhatian, tanpa tergesa-gesa, dan diam-diam penuh makna.

Aku melirik ke arahnya. Ia sudah kembali menggambar, seolah dunia ini tidak berubah.

Tapi bagiku, semuanya berubah.

Angin berembus pelan. Beberapa daun masih berjatuhan, tapi kali ini aku tidak kesal. Mungkin daun memang harus jatuh, supaya ada yang menyapu. Supaya ada pertemuan kecil seperti ini. Supaya hidup tidak terlalu lurus dan steril.

Hari ini aku masih figuran. Tapi figuran yang sempat berbagi satu adegan dengan tokoh utama dunia orang lain.

Dan itu cukup.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Jalan Menuju Braga
466      359     4     
Romance
Berly rasa, kehidupannya baik-baik saja saat itu. Tentunya itu sebelum ia harus merasakan pahitnya kehilangan dan membuat hidupnya berubah. Hal-hal yang selalu ia dapatkan, tak bisa lagi ia genggam. Hal-hal yang sejalan dengannya, bahkan menyakitinya tanpa ragu. Segala hal yang terjadi dalam hidupnya, membuat Berly menutup mata akan perasaannya, termasuk pada Jhagad Braga Utama--Kakak kelasnya...
Qodrat Merancang Tuhan Karyawala
1360      894     0     
Inspirational
"Doa kami ingin terus bahagia" *** Kasih sayang dari Ibu, Ayah, Saudara, Sahabat dan Pacar adalah sesuatu yang kita inginkan, tapi bagaimana kalau 5 orang ini tidak mendapatkan kasih sayang dari mereka berlima, ditambah hidup mereka yang harus terus berjuang mencapai mimpi. Mereka juga harus berjuang mendapatkan cinta dan kasih sayang dari orang yang mereka sayangi. Apakah Zayn akan men...
FAYENA (Menentukan Takdir)
533      348     2     
Inspirational
Hidupnya tak lagi berharga setelah kepergian orang tua angkatnya. Fayena yang merupakan anak angkat dari Pak Lusman dan Bu Iriyani itu harus mengecap pahitnya takdir dianggap sebagai pembawa sial keluarga. Semenjak Fayena diangkat menjadi anak oleh Pak Lusman lima belas tahun yang lalu, ada saja kejadian sial yang menimpa keluarga itu. Hingga di akhir hidupnya, Pak Lusman meninggal karena menyela...
Kacamata Monita
1254      558     4     
Romance
Dapat kado dari Dirga bikin Monita besar kepala. Soalnya, Dirga itu cowok paling populer di sekolah, dan rival karibnya terlihat cemburu total! Namun, semua mendadak runyam karena kado itu tiba-tiba menghilang, bahkan Monita belum sempat membukanya. Karena telanjur pamer dan termakan gengsi, Monita berlagak bijaksana di depan teman dan rivalnya. Katanya, pemberian dari Dirga terlalu istimewa u...
Halo Benalu
1069      492     1     
Romance
Tiba-tiba Rhesya terlibat perjodohan aneh dengan seorang kakak kelas bernama Gentala Mahda. Laki-laki itu semacam parasit yang menempel di antara mereka. Namun, Rhesya telah memiliki pujaan hatinya sebelum mengenal Genta, yaitu Ethan Aditama.
Perjalanan yang Takkan Usai
392      317     1     
Romance
Untuk pertama kalinya Laila pergi mengikuti study tour. Di momen-momen yang menyenangkan itu, Laila sempat bertemu dengan teman masa kecil sekaligus orang yang ia sukai. Perasaan campur aduk tentulah ia rasakan saat menyemai cinta di tengah study tour. Apalagi ini adalah pengalaman pertama ia jatuh cinta pada seseorang. Akankah Laila dapat menyemai cinta dengan baik sembari mencari jati diri ...
Melihat Tanpamu
163      129     1     
Fantasy
Ashley Gizella lahir tanpa penglihatan dan tumbuh dalam dunia yang tak pernah memberinya cahaya, bahkan dalam bentuk cinta. Setelah ibunya meninggal saat ia masih kecil, hidupnya perlahan runtuh. Ayahnya dulu sosok yang hangat tapi kini berubah menjadi pria keras yang memperlakukannya seperti beban, bahkan budak. Di sekolah, ia duduk sendiri. Anak-anak lain takut padanya. Katanya, kebutaannya...
In Her Place
998      656     21     
Mystery
Rei hanya ingin menyampaikan kebenaran—bahwa Ema, gadis yang wajahnya sangat mirip dengannya, telah dibunuh. Namun, niat baiknya disalahartikan. Keluarga Ema mengira Rei mengalami trauma dan membawanya pulang, yakin bahwa dia adalah Ema yang hilang. Terjebak dalam kesalahpahaman dan godaan kehidupan mewah, Rei memilih untuk tetap diam dan menjalani peran barunya sebagai putri keluarga konglomer...
I Found Myself
50      46     0     
Romance
Kate Diana Elizabeth memiliki seorang kekasih bernama George Hanry Phoenix. Kate harus terus mengerti apapun kondisi Hanry, harus memahami setiap kekurangan milik Hanry, dengan segala sikap Egois Hanry. Bahkan, Kate merasa Hanry tidak benar-benar mencintai Kate. Apa Kate akan terus mempertahankan Hanry?
Taruhan
59      56     0     
Humor
Sasha tahu dia malas. Tapi siapa sangka, sebuah taruhan konyol membuatnya ingin menembus PTN impian—sesuatu yang bahkan tak pernah masuk daftar mimpinya. Riko terbiasa hidup dalam kekacauan. Label “bad boy madesu” melekat padanya. Tapi saat cewek malas penuh tekad itu menantangnya, Riko justru tergoda untuk berubah—bukan demi siapa-siapa, tapi demi membuktikan bahwa hidupnya belum tama...