VROOOOMMMM!
Cahaya matahari memantul dari bodi motor yang melaju kencang di jalan raya. Seorang pria bertubuh tegap, mengenakan jaket kulit hitam dan celana panjang senada, membelah siang yang terik dengan kecepatan penuh. Helm hitam menutupi seluruh wajahnya, menyembunyikan ekspresi yang tak lagi mampu ia kendalikan.
Dari balik visor yang mengilat, setetes air mata lolos—bulir bening yang seharusnya tak terlihat di tengah siang terang, tapi tetap ada... menggantung, lalu jatuh.
Tak ada yang benar-benar siap menerima kabar buruk.
Begitu pun dirinya.
Beberapa jam lalu, hidupnya berubah seketika. Sebuah pesan, satu kalimat saja, cukup untuk membuat dunianya runtuh.
Takdir Allah selalu yang terbaik, katanya.
Tapi kenapa yang datang justru terasa paling menyakitkan?
Kenapa kabar buruk selalu muncul di tengah terang, tanpa bayangan, tanpa aba-aba?
BRAK!
Satu detik.
Dalam kondisi biasa, waktu itu terasa sepele. Tapi bagi seseorang yang baru saja dihantam takdir dengan keras—detik bisa berarti nyawa. Lalu, apakah pria itu masih bisa selamat, setelah sebuah truk melaju dari sisi kanan dan menghantam motornya dengan kecepatan penuh?
Motornya sudah tak berbentuk—hanya serpihan logam berserakan di jalan. Tubuhnya terlempar jauh, jatuh menghantam aspal dengan suara dentuman yang memekakkan. Darah segar mengalir dari luka-luka di sekujur tubuhnya, menghitam di atas jalan raya yang panas. Semua terjadi dalam sekejap, seolah waktu ikut terhenti.
Sirene ambulans meraung memecah keheningan di sepanjang jalan melaju cepat menuju lokasi kecelakaan. Orang-orang hanya bisa berdiri terpaku—ada yang menutup mulut, ada yang menunduk. Pria itu diangkat perlahan ke atas tandu, lalu dibawa masuk ke dalam ambulans. Sirene kembali meraung saat kendaraan itu melaju menuju rumah sakit, memaksa deretan kendaraan di jalan menepi demi memberi jalan bagi pasien yang sedang kritis. Semua tahu, waktu adalah nyawa.
Di tepi kerumunan yang mulai membeku dalam diam, seorang gadis berdiri terpaku. Ia mengenakan seragam sekolah madrasah—rok abu, atasan putih lengan panjang, dan jilbab putih polos yang terjatuh rapi di bahunya. Kainnya sedikit berkibar diterpa angin siang yang gerah, namun wajahnya tetap tertunduk.
Suara sirene ambulans meraung tajam, membelah udara. Gadis itu menarik napas dalam-dalam, lalu menunduk pelan—seolah sedang menyembunyikan gemetar yang nyaris tak tertahan.
Ah, rupanya, sebaik apa pun kita merancang hari—dengan rencana yang disusun rapi, harapan yang dijaga hati-hati—selalu saja ada hal-hal yang tak bisa kita prediksi. Hidup tak selalu datang dengan isyarat; kadang ia memilih diam, lalu tiba-tiba mengubah segalanya dalam sekejap.
Kini, di antara bunyi sirene dan langkah-langkah yang tergesa, doa menjadi satu-satunya yang terasa utuh. Ketika semua orang terpaku, ketika waktu seolah melambat, hanya satu yang masih bisa bergerak ke mana-mana: harap yang dibisikkan lirih kepada Allah.
Di tengah keramaian yang perlahan membisu, sepasang tangan menengadah—telapak terbuka menghadap langit, sebagaimana cara seorang hamba memohon saat tak tahu lagi harus berbuat apa. Namun tangan itu tak sekadar meminta kesembuhan. Ada nama yang terlintas, tanpa suara, tanpa panggilan lantang—namun tak pernah benar-benar jauh dari pikirannya.
“Allāhumma ishfihi shifā’an lā yughādiru saqaman,” bisiknya lirih—Ya Allah, sembuhkan dia dengan kesembuhan yang tak menyisakan sedikit pun penyakit.
Suara itu hampir tak terdengar di tengah hiruk-pikuk, tapi bagi hatinya, itu adalah jeritan paling sunyi—sebuah harapan bahwa Allah pasti mendengarnya.
Doa itu mungkin tak pernah diketahui oleh siapa pun, termasuk oleh pria yang kini terbaring dalam ambulans. Tapi Allah Maha Tahu. Sebuah doa yang datang tanpa diminta, namun tulus dikirimkan.