Pagi itu, aku membuka email sambil menyiapkan bekal Ray yang merengek ingin telur dadar berbentuk dinosaurus. Satu notifikasi masuk—subjeknya familiar. Dari panitia lomba menulis yang kuikuti beberapa minggu lalu.
Aku berhenti sejenak, jantungku berdetak pelan-pelan, seperti tahu apa isi pesannya sebelum aku membacanya.
Kubuka.
Dan benar saja.
Terima kasih telah berpartisipasi… namun, tulisan Anda belum berhasil lolos ke tahap akhir.
Aku diam. Tanganku masih memegang spatula. Telur di wajan mulai gosong, tapi aku tak langsung bergerak.
Bukan karena aku terlalu kecewa. Tapi karena aku merasa… lelah.
Sudah yang keberapa kali? Lima? Enam? Aku mulai kehilangan hitungan.
Ray menarik bajuku pelan. “Mama, dinosaurusnya jadi patah, ya?”
Aku tersenyum kecil. “Iya, Nak. Tapi nanti Mama bikin lagi, ya. Yang utuh.”
Kalimat itu keluar begitu saja. Tapi rasanya menohok.
Yang patah… bisa dibikin lagi.
***
Siang harinya, aku menyempatkan diri ke taman dekat rumah. Duduk di bangku panjang, bawa notes kecil dan pulpen. Di sekelilingku, anak-anak berlarian. Seorang ibu di sebelahku sibuk mengipas bayinya. Tapi di dalam kepalaku, hanya ada satu suara: apa aku masih mau mencoba lagi?
Kalau aku menyerah sekarang… nggak ada yang salah, kan? Nggak ada yang akan menuntut. Nggak ada yang rugi.
Tapi diam-diam, aku tahu, ada bagian dari diriku yang akan ikut mati kalau aku berhenti.
Menulis, buatku, bukan lagi soal menang atau kalah. Tapi soal menjaga nyala yang mulai kutemukan kembali. Soal membuktikan bahwa aku nggak akan hilang dalam rutinitas. Soal percaya bahwa semua proses ini, gagal dan berhasilnya, sedang menyiapkan aku untuk jadi versi yang lebih utuh.
Radit pernah bilang waktu itu, “Kalau gagal bikin kamu berhenti, berarti mimpinya cuma angan-angan. Tapi kalau kamu terus jalan meski gagal, itu berarti kamu sungguh-sungguh.”
Aku menarik napas panjang.
Lalu menulis satu kalimat baru di notes:
“Aku tetap menulis. Karena aku tahu, ini bukan tentang berhasilnya. Ini tentang setianya.”
***
Malamnya, setelah Ray tidur, aku membuka folder naskah yang lama. Kubaca ulang satu-persatu. Ada yang belum selesai. Ada yang masih jelek. Tapi juga ada yang membuatku berkaca-kaca sendiri.
Aku mulai mengedit satu cerpen. Bukan untuk dikirim ke mana-mana dulu. Tapi untuk belajar. Untuk menepati janji pada diriku sendiri: aku akan terus menulis, walau gagal datang berkali-kali.
Karena nyatanya… gagal pun bisa jadi bahan cerita.
Dan aku ingin jadi orang yang, bahkan saat gagal, tetap bisa berkata:
“Aku belum selesai.”
***
Aku tidak langsung ikut lomba lagi setelah pengumuman kegagalan itu.
Butuh waktu.
Bukan karena aku patah. Tapi karena aku ingin mencoba cara yang berbeda. Aku tahu aku masih banyak kurangnya. Tulisan-tulisanku sering terlalu jujur, kadang terlalu personal, kadang berantakan. Tapi aku juga tahu, aku ingin belajar. Aku ingin lebih siap, lebih kuat.
Jadi aku mendaftar kelas menulis online.
Kelasnya berlangsung seminggu sekali, via Zoom, malam hari setelah Ray tidur. Kadang aku ikut sambil mengenakan piyama, dengan rambut acak-acakan dan secangkir kopi sisa sore. Tapi hatiku selalu penuh saat mendengarkan materi-materi tentang membangun karakter, memperkuat dialog, atau cara merangkai konflik dengan emosi yang terasa hidup.
Aku mulai mengisi ulang catatan-catatan kecil di buku tulisku. Ada coretan tentang tokoh, tentang plot, dan puisi-puisi yang muncul tiba-tiba. Aku bahkan mulai merevisi cerpen-cerpen lama dengan teknik baru yang kupelajari.
Dan ya, aku ikut lomba lagi.
Bukan satu, tapi tiga sekaligus. Aku tahu, hasilnya belum tentu sesuai harapan, tapi aku juga tahu: ini bukan tentang hasil lagi—ini tentang siapa aku saat aku mencoba.
Hingga akhirnya, satu malam di awal bulan, aku membuka email seperti biasa. Tanpa ekspektasi apa-apa. Sekadar ingin bersih-bersih kotak masuk sebelum tidur.
Tapi di sana, satu subjek mencuri perhatian.
“Selamat! Naskah Anda Terpilih untuk Diterbitkan.”
Jantungku berhenti sejenak.
Aku membuka email itu dengan tangan gemetar. Paragraf pertamanya membuat dadaku panas, mataku berkaca-kaca.
“Dengan ini kami mengabarkan bahwa naskah Anda berjudul ‘Di Persimpangan Cinta’ telah lolos seleksi dan akan diterbitkan sebagai bagian dari antologi cerpen tahun ini. Terima kasih telah berbagi suara dan kejujuran melalui kata.”
Aku menutup mulut dengan tangan. Menahan isak yang tiba-tiba datang.
Tangisku bukan karena bangga.
Tapi karena aku tahu… aku hampir menyerah.
Dan ternyata tidak menyerah adalah keputusan paling tepat yang pernah kuambil.
Radit menemukanku di ruang tengah dengan mata sembab. “Kenapa? Ada apa?”
Aku hanya menyodorkan ponsel padanya. Dia membaca pelan-pelan. Lalu tersenyum.
“Diterbitkan?”
Aku mengangguk. “Nggak nyangka…”
Dia mendekapku. “Aku nyangka. Karena kamu nggak pernah berhenti nyoba.”
***
Malam itu, aku menulis lagi.
Bukan untuk lomba. Bukan untuk validasi. Tapi karena aku ingin mengabadikan satu hal penting:
Bahwa ternyata, ada bagian dari hidup yang mulai utuh… saat kita berani membangunnya pelan-pelan.
Dan dari semua perjalanan menjadi istri, ibu, pekerja kantoran—aku juga bisa jadi penulis.
Aku tak lagi ragu menyebut diriku begitu.
Karena akhirnya, bukan hanya aku yang percaya—tapi dunia juga mulai mendengarnya.