Loading...
Logo TinLit
Read Story - Hello, Me (30)
MENU
About Us  

Pagi itu, aku membuka email sambil menyiapkan bekal Ray yang merengek ingin telur dadar berbentuk dinosaurus. Satu notifikasi masuk—subjeknya familiar. Dari panitia lomba menulis yang kuikuti beberapa minggu lalu.

Aku berhenti sejenak, jantungku berdetak pelan-pelan, seperti tahu apa isi pesannya sebelum aku membacanya.

Kubuka.

Dan benar saja.

Terima kasih telah berpartisipasi… namun, tulisan Anda belum berhasil lolos ke tahap akhir.

Aku diam. Tanganku masih memegang spatula. Telur di wajan mulai gosong, tapi aku tak langsung bergerak.

Bukan karena aku terlalu kecewa. Tapi karena aku merasa… lelah.

Sudah yang keberapa kali? Lima? Enam? Aku mulai kehilangan hitungan.

Ray menarik bajuku pelan. “Mama, dinosaurusnya jadi patah, ya?”

Aku tersenyum kecil. “Iya, Nak. Tapi nanti Mama bikin lagi, ya. Yang utuh.”

Kalimat itu keluar begitu saja. Tapi rasanya menohok.

Yang patah… bisa dibikin lagi.

***

Siang harinya, aku menyempatkan diri ke taman dekat rumah. Duduk di bangku panjang, bawa notes kecil dan pulpen. Di sekelilingku, anak-anak berlarian. Seorang ibu di sebelahku sibuk mengipas bayinya. Tapi di dalam kepalaku, hanya ada satu suara: apa aku masih mau mencoba lagi?

Kalau aku menyerah sekarang… nggak ada yang salah, kan? Nggak ada yang akan menuntut. Nggak ada yang rugi.

Tapi diam-diam, aku tahu, ada bagian dari diriku yang akan ikut mati kalau aku berhenti.

Menulis, buatku, bukan lagi soal menang atau kalah. Tapi soal menjaga nyala yang mulai kutemukan kembali. Soal membuktikan bahwa aku nggak akan hilang dalam rutinitas. Soal percaya bahwa semua proses ini, gagal dan berhasilnya, sedang menyiapkan aku untuk jadi versi yang lebih utuh.

Radit pernah bilang waktu itu, “Kalau gagal bikin kamu berhenti, berarti mimpinya cuma angan-angan. Tapi kalau kamu terus jalan meski gagal, itu berarti kamu sungguh-sungguh.”

Aku menarik napas panjang.

Lalu menulis satu kalimat baru di notes:

“Aku tetap menulis. Karena aku tahu, ini bukan tentang berhasilnya. Ini tentang setianya.”

***

Malamnya, setelah Ray tidur, aku membuka folder naskah yang lama. Kubaca ulang satu-persatu. Ada yang belum selesai. Ada yang masih jelek. Tapi juga ada yang membuatku berkaca-kaca sendiri.

Aku mulai mengedit satu cerpen. Bukan untuk dikirim ke mana-mana dulu. Tapi untuk belajar. Untuk menepati janji pada diriku sendiri: aku akan terus menulis, walau gagal datang berkali-kali.

Karena nyatanya… gagal pun bisa jadi bahan cerita.

Dan aku ingin jadi orang yang, bahkan saat gagal, tetap bisa berkata:

“Aku belum selesai.”

***

Aku tidak langsung ikut lomba lagi setelah pengumuman kegagalan itu.

Butuh waktu.

Bukan karena aku patah. Tapi karena aku ingin mencoba cara yang berbeda. Aku tahu aku masih banyak kurangnya. Tulisan-tulisanku sering terlalu jujur, kadang terlalu personal, kadang berantakan. Tapi aku juga tahu, aku ingin belajar. Aku ingin lebih siap, lebih kuat.

Jadi aku mendaftar kelas menulis online.

Kelasnya berlangsung seminggu sekali, via Zoom, malam hari setelah Ray tidur. Kadang aku ikut sambil mengenakan piyama, dengan rambut acak-acakan dan secangkir kopi sisa sore. Tapi hatiku selalu penuh saat mendengarkan materi-materi tentang membangun karakter, memperkuat dialog, atau cara merangkai konflik dengan emosi yang terasa hidup.

Aku mulai mengisi ulang catatan-catatan kecil di buku tulisku. Ada coretan tentang tokoh, tentang plot, dan puisi-puisi yang muncul tiba-tiba. Aku bahkan mulai merevisi cerpen-cerpen lama dengan teknik baru yang kupelajari.

Dan ya, aku ikut lomba lagi.

Bukan satu, tapi tiga sekaligus. Aku tahu, hasilnya belum tentu sesuai harapan, tapi aku juga tahu: ini bukan tentang hasil lagi—ini tentang siapa aku saat aku mencoba.

Hingga akhirnya, satu malam di awal bulan, aku membuka email seperti biasa. Tanpa ekspektasi apa-apa. Sekadar ingin bersih-bersih kotak masuk sebelum tidur.

Tapi di sana, satu subjek mencuri perhatian.

“Selamat! Naskah Anda Terpilih untuk Diterbitkan.”

Jantungku berhenti sejenak.

Aku membuka email itu dengan tangan gemetar. Paragraf pertamanya membuat dadaku panas, mataku berkaca-kaca.

“Dengan ini kami mengabarkan bahwa naskah Anda berjudul ‘Di Persimpangan Cinta’ telah lolos seleksi dan akan diterbitkan sebagai bagian dari antologi cerpen tahun ini. Terima kasih telah berbagi suara dan kejujuran melalui kata.”

Aku menutup mulut dengan tangan. Menahan isak yang tiba-tiba datang.

Tangisku bukan karena bangga.

Tapi karena aku tahu… aku hampir menyerah.

Dan ternyata tidak menyerah adalah keputusan paling tepat yang pernah kuambil.

Radit menemukanku di ruang tengah dengan mata sembab. “Kenapa? Ada apa?”

Aku hanya menyodorkan ponsel padanya. Dia membaca pelan-pelan. Lalu tersenyum.

“Diterbitkan?”

Aku mengangguk. “Nggak nyangka…”

Dia mendekapku. “Aku nyangka. Karena kamu nggak pernah berhenti nyoba.”

***

Malam itu, aku menulis lagi.

Bukan untuk lomba. Bukan untuk validasi. Tapi karena aku ingin mengabadikan satu hal penting:

Bahwa ternyata, ada bagian dari hidup yang mulai utuh… saat kita berani membangunnya pelan-pelan.

Dan dari semua perjalanan menjadi istri, ibu, pekerja kantoran—aku juga bisa jadi penulis.

Aku tak lagi ragu menyebut diriku begitu.

Karena akhirnya, bukan hanya aku yang percaya—tapi dunia juga mulai mendengarnya.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
TANPA KATA
18      17     0     
True Story
"Tidak mudah bukan berarti tidak bisa bukan?" ucapnya saat itu, yang hingga kini masih terngiang di telingaku. Sulit sekali rasanya melupakan senyum terakhir yang kulihat di ujung peron stasiun kala itu ditahun 2018. Perpisahan yang sudah kita sepakati bersama tanpa tapi. Perpisahan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Yang memaksaku kembali menjadi "aku" sebelum mengenalmu.
Perjalanan Tanpa Peta
52      47     1     
Inspirational
Abayomi, aktif di sosial media dengan kata-kata mutiaranya dan memiliki cukup banyak penggemar. Setelah lulus sekolah, Abayomi tak mampu menentukan pilihan hidupnya, dia kehilangan arah. Hingga sebuah event menggiurkan, berlalu lalang di sosial medianya. Abayomi tertarik dan pergi ke luar kota untuk mengikutinya. Akan tetapi, ekspektasinya tak mampu menampung realita. Ada berbagai macam k...
Monokrom
91      78     1     
Science Fiction
Tergerogoti wabah yang mendekonstruksi tubuh menjadi serpihan tak terpulihkan, Ra hanya ingin menjalani kehidupan rapuh bersama keluarganya tanpa memikirkan masa depan. Namun, saat sosok misterius bertopeng burung muncul dan mengaku mampu menyembuhkan penyakitnya, dunia yang Ra kenal mendadak memudar. Tidak banyak yang Ra tahu tentang sosok di balik kedok berparuh panjang itu, tidak banyak ju...
Solita Residen
1457      806     11     
Mystery
Kalau kamu bisa melihat hal-hal yang orang lain tidak bisa... bukan berarti kau harus menunjukkannya pada semua orang. Dunia ini belum tentu siap untuk itu. Rembulan tidak memilih untuk menjadi berbeda. Sejak kecil, ia bisa melihat yang tak kasatmata, mendengar yang tak bersuara, dan memahami sunyi lebih dari siapa pun. Dunia menolaknya, menertawakannya, menyebutnya aneh. Tapi semua berubah seja...
Ruang Suara
186      130     1     
Inspirational
Mereka yang merasa diciptakan sempurna, dengan semua kebahagiaan yang menyelimutinya, mengatakan bahwa ‘bahagia itu sederhana’. Se-sederhana apa bahagia itu? Kenapa kalau sederhana aku merasa sulit untuk memilikinya? Apa tak sedikitpun aku pantas menyandang gelar sederhana itu? Suara-suara itu terdengar berisik. Lambat laun memenuhi ruang pikirku seolah tak menyisakan sedikitpun ruang untukk...
Me vs Skripsi
1851      764     154     
Inspirational
Satu-satunya yang berdiri antara Kirana dan mimpinya adalah kenyataan. Penelitian yang susah payah ia susun, harus diulang dari nol? Kirana Prameswari, mahasiswi Farmasi tingkat akhir, seharusnya sudah hampir lulus. Namun, hidup tidak semulus yang dibayangkan, banyak sekali faktor penghalang seperti benang kusut yang sulit diurai. Kirana memutuskan menghilang dari kampus, baru kembali setel...
FAYENA (Menentukan Takdir)
356      261     2     
Inspirational
Hidupnya tak lagi berharga setelah kepergian orang tua angkatnya. Fayena yang merupakan anak angkat dari Pak Lusman dan Bu Iriyani itu harus mengecap pahitnya takdir dianggap sebagai pembawa sial keluarga. Semenjak Fayena diangkat menjadi anak oleh Pak Lusman lima belas tahun yang lalu, ada saja kejadian sial yang menimpa keluarga itu. Hingga di akhir hidupnya, Pak Lusman meninggal karena menyela...
Help Me Help You
1704      1006     56     
Inspirational
Dua rival akademik di sebuah sekolah menengah atas bergengsi, Aditya dan Vania, berebut beasiswa kampus ternama yang sama. Pasalnya, sekolah hanya dapat memberikan surat rekomendasi kepada satu siswa unggul saja. Kepala Sekolah pun memberikan proyek mustahil bagi Aditya dan Vania: barangsiapa dapat memastikan Bari lulus ujian nasional, dialah yang akan direkomendasikan. Siapa sangka proyek mus...
Unexpectedly Survived
104      93     0     
Inspirational
Namaku Echa, kependekan dari Namira Eccanthya. Kurang lebih 14 tahun lalu, aku divonis mengidap mental illness, tapi masih samar, karena dulu usiaku masih terlalu kecil untuk menerima itu semua, baru saja dinyatakan lulus SD dan sedang semangat-semangatnya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP. Karenanya, psikiater pun ngga menyarankan ortu untuk ngasih tau semuanya ke aku secara gamblang. ...
A Missing Piece of Harmony
228      181     3     
Inspirational
Namaku Takasaki Ruriko, seorang gadis yang sangat menyukai musik. Seorang piano yang mempunyai mimpi besar ingin menjadi pianis dari grup orkestera Jepang. Namun mimpiku pupus ketika duniaku berubah tiba-tiba kehilangan suara dan tak lagi memiliki warna. Aku... kehilangan hampir semua indraku... Satu sore yang cerah selepas pulang sekolah, aku tak sengaja bertemu seorang gadis yang hampir terbunu...