Katanya perempuan kuat itu multitasking. Tapi kenapa rasanya aku seperti terus berlari sambil menahan napas? Berpura-pura senyum saat tubuhku gemetar. Berusaha ramah saat pikiranku penuh suara jerit dalam hati. Aku bisa apa selain terus melangkah?
Aku datang lebih pagi dari biasanya. Gedung kantor cabang yang baru ini masih terasa asing. Bau tembok yang baru dicat, lantai yang mengilap, dan deretan meja kerja yang belum bernyawa. Tapi justru di sinilah aku merasa bisa bernapas sedikit lebih lega. Setidaknya belum banyak yang tahu betapa seringnya aku pura-pura kuat.
Sebagai sekretaris direktur, pekerjaanku tidak jauh dari urusan yang terlihat kecil tapi bisa bikin kacau satu perusahaan kalau luput. Jadwal meeting yang tabrakan, dokumen yang harus ditandatangani sebelum deadline, hingga memilih katering rapat dengan budget yang “tolong disesuaikan, ya.” Semuanya harus aku pegang, hafal, dan selesaikan—tanpa drama, tanpa salah, dan tentu saja: dengan senyum.
Aku bukan orang yang menyukai sorotan. Tapi jadi sekretaris direktur otomatis menjadikanku titik tanya semua orang. Kalau Pak Dirut belum datang, aku yang dikejar. Kalau beliau marah, aku yang jadi tempat pelampiasan yang paling mudah dicolek.
Hari ini, salah satu divisi salah kirim dokumen presentasi. Aku sudah mengingatkan sejak kemarin, tapi tetap saja, mereka buru-buru mengirim draft lama. Dan tentu saja, saat Pak Dirut murka, aku yang dipanggil duluan.
“Kenapa kamu nggak cek dulu sebelum saya buka ini di depan klien?”
Aku diam. Menjelaskan artinya menyalahkan tim lain, dan itu bukan pilihan yang cerdas. Jadi aku hanya menunduk dan berkata, “Saya minta maaf, Pak. Akan segera diganti.”
Senyum. Selalu senyum. Itu bagian dari jobdesc tidak tertulis.
Setelah keluar ruangan, aku mampir ke pantry. Menuang kopi sachet favoritku, duduk sebentar di bangku kecil sambil membuka catatan digital di ponsel. Aku tak menulis panjang. Hanya satu kalimat.
Hari ini aku capek jadi topeng yang harus terus tersenyum.
Aku mengunci layar. Menarik napas. Lalu kembali ke mejaku seolah tidak terjadi apa-apa.
Beberapa staf lewat dan menyapaku, “Pagi, Mbak Nara! Udah cantik aja dari pagi.”
Aku membalas dengan tawa kecil, “Namanya juga sekretaris direktur, harus selalu siap difoto kapan aja.” Candaku, meski aku sendiri tahu tidak ada yang akan memotretku. Bukan karena tak penting, tapi karena aku memang tidak pernah terlihat di frame manapun.
Kadang aku bertanya-tanya, apakah aku hanya pelengkap. Seperti bingkai tanpa gambar. Selalu rapi, tapi kosong.
***
Malamnya, di rumah…
Aku mendapati Radit sedang membantu anak kami memakai piyama. Ada noda sabun di kausnya, dan rambutnya sedikit acak-acakan. Di meja dapur, ada piring kotor yang belum sempat dibereskan. Tapi ada kehangatan yang tak bisa aku jelaskan dengan kata-kata.
“Hei,” sapanya lembut, begitu aku membuka pintu. “Makan malam udah aku siapkan. Nggak banyak sih, cuma tumis kangkung dan ayam goreng. Kamu pasti capek banget, ya?”
Aku mengangguk pelan, menaruh tasku di kursi, dan meraih tangan Radit sejenak. Genggaman yang sederhana, tapi cukup untuk meredakan riuh hari.
“Nggak tahu kenapa, hari ini berat banget,” gumamku sambil melepas sepatu.
“Kalau kamu mau cerita, aku dengerin. Kalau kamu nggak mau cerita, aku tetap di sini,” jawabnya singkat, sambil mengelus punggungku.
Sejak beberapa bulan terakhir, terutama setelah aku mulai sering terlihat lelah dan kehilangan gairah, dia pelan-pelan belajar. Dari mulai bangun lebih pagi untuk bikin bekal anak, cuci piring habis makan malam, sampai bantu bersih-bersih rumah tanpa harus diminta.
Dia tidak sempurna, tapi dia terus berusaha hadir. Dan itu—buatku—cukup untuk membuatku bertahan.
Aku memeluk Ray yang sudah menguap di pelukannya. Lalu mencium pipi suamiku. “Makasih ya,” bisikku.
“Untuk apa?”
“Untuk jadi rumah yang nggak banyak tanya,” kataku pelan.
Radit tersenyum. “Kadang aku bingung, harusnya aku tanya lebih banyak atau diem aja.”
Aku tertawa kecil. “Diem, tapi masakin nasi hangat. Itu cukup.”
Dan malam itu, aku menulis lagi di jurnal kecilku sebelum tidur.
Hari ini aku hampir patah. Tapi rumahku tidak membiarkanku hancur sendirian.