Waktu tidak menyembuhkan apa pun. Tapi kehadiran—yang tulus, yang utuh—itu yang menumbuhkan harapan.
Setahun terakhir adalah tahun yang pelan. Bukan lambat karena tak ada yang terjadi, tapi justru karena segala sesuatunya terjadi dengan kesadaran penuh. Kami, dua orang dewasa yang pernah saling mencintai lalu saling menyakiti, kini sama-sama belajar membangun ulang kepercayaan yang pernah rubuh.
Aku dan Radit belum langsung tinggal serumah. Setelah malam itu—malam ketika kami memutuskan mencoba lagi tanpa janji tapi juga tanpa mundur—kami perlahan membiasakan diri untuk hadir kembali dalam hidup satu sama lain. Jemput anak bareng. Diskusi soal jadwal terapi. Sarapan di mobil sebelum berangkat kerja. Sesekali makan malam bertiga, bahkan sesederhana mie rebus dan telur dadar.
Aku masih tinggal di rumah bersama anak kami. Radit tinggal di kos. Kadang dia menginap di rumah saat anak kami rewel atau hanya ingin pelukannya. Tapi selebihnya, kami menjaga jarak. Bukan untuk menjauh, tapi agar kami bisa tumbuh di ruang masing-masing.
Ada malam-malam ketika kami mengobrol sampai larut. Di teras, berdua, saat anak kami sudah tidur. Radit sering membawakan es krim favoritku atau martabak telor dari kedai dekat kosnya. Aku akan menyeduh teh. Dan kami duduk, bukan lagi sebagai dua orang asing yang kebetulan punya masa lalu, tapi sebagai dua orang yang sedang berani menatap masa depan.
“Aku masih suka takut salah ngomong,” katanya suatu malam sambil mengaduk es krim yang mulai meleleh.
“Gitu ya?” Aku menoleh. “Padahal sekarang kamu justru lebih jujur. Dulu kamu diam terus.”
Radit tertawa kecil. “Dulu aku pikir jujur itu artinya bikin kamu khawatir.”
“Sekarang kamu tahu?”
“Kalau diam justru lebih menyakitkan.”
Kami belajar tertawa lagi. Bukan tawa penuh euforia seperti dulu saat baru jatuh cinta, tapi tawa kecil yang muncul setelah melewati banyak malam panjang.
Kadang, kami sengaja pergi berdua. Tidak jauh—sekadar staycation semalam di kota tetangga saat anak kami menginap di rumah ibuku. Kami jalan kaki di taman, sarapan di kafe, atau cuma duduk di balkon sambil membaca buku masing-masing.
Di perjalanan pulang dari salah satu trip itu, Radit sempat memutar lagu lama—lagu yang dulu jadi favorit kami. Dia menatapku sekilas.
“Kamu inget nggak waktu kita muter lagu ini pas hujan-hujanan di motor?”
Aku tertawa. “Kita basah kuyup. Terus mampir beli nasi goreng pinggir jalan, duduk di bawah atap ruko.”
Dia tersenyum. “Aku pengin banyak momen kayak gitu lagi. Tapi kali ini... aku pengin kamu tahu, kamu bisa ngeluh kalau capek. Nggak harus selalu kuat.”
Aku menoleh, menatapnya. “Kita berdua. Harus sama-sama belajar bilang ‘aku butuh kamu’ tanpa takut disalahpahami.”
Ia mengangguk pelan. Lalu menggenggam tanganku di atas tuas persneling. Tak lama, kami terdiam. Tapi kali ini, diam yang tidak canggung. Diam yang terasa penuh.
Dulu aku pikir menjadi istri itu tentang menjadi kuat. Menjadi ibu itu tentang tahan banting. Tapi setelah semua ini, aku sadar: menjadi pasangan dewasa itu tentang jadi cukup untuk diri sendiri dulu. Baru lalu bisa cukup untuk orang lain.
Aku tidak lagi menuntut Radit untuk mengerti semua rasa lelahku. Aku belajar untuk bilang, "Aku butuh kamu." Tanpa malu. Aku juga belajar memaafkan diriku sendiri karena pernah menyerah.
Cinta yang bertahan, bukan karena tidak pernah retak. Tapi karena dua orang memilih menambalnya. Lagi dan lagi.
Tahun itu menutup pelan.
Langit sore di ujung Desember menguning lembut. Udara dingin dari jendela kamar membawa aroma hujan dan tanah basah. Aku duduk di samping ranjang, mengamati anak kami yang tertidur setelah bermain seharian. Di samping tempat tidurnya, ada dua rak buku kecil—isi mainan, boneka, dan alat terapi. Kini, semuanya tampak hidup. Anakku pun tampak hidup. Tertawa lebih sering, memeluk lebih lekat, dan kini mulai sering berbicara.
Kalimat pertamanya yang benar-benar membuatku menangis waktu itu sederhana:
“Aku senang Papa pulang.”
Pulang. Kata yang dulu terasa asing, sekarang jadi pondasi baru di rumah ini.
Dari jauh, kudengar Radit sedang mencuci piring di dapur. Kami belum sempurna, tapi kini kami hadir. Ia ada di rumah hampir setiap hari. Kami masih punya ruang sendiri, tapi perlahan, aku tak lagi merasa sendiri.
Aku bangkit, menuju pojok kamar, lalu membuka mukena yang tergantung. Tak banyak yang tahu, tapi selama masa-masa itu—saat pernikahanku nyaris hancur, saat aku merasa kehilangan pegangan—aku tak pernah benar-benar berhenti berdoa. Meskipun seringnya hanya bisik pelan di dalam hati. Kadang hanya satu kalimat, lirih, “Ya Allah, kalau memang ini bisa disembuhkan… tolong beri aku petunjuk.”
Dan mungkin... ini adalah jawaban itu.
Bukan yang datang dalam bentuk keajaiban besar, bukan juga dengan drama penuh air mata. Tapi dalam bentuk upaya kecil yang dilakukan berulang-ulang. Dalam bentuk seseorang yang mau membuka diri. Dalam bentuk anak yang kini bisa berkata, “Aku sayang Mama."
Kutelungkupkan wajah di sajadah, dan untuk pertama kalinya sejak lama, aku menangis bukan karena takut kehilangan, tapi karena hati ini penuh.
“Terima kasih,” bisikku pada Tuhan.
Bukan karena semuanya jadi mudah.
Tapi karena aku masih diberi kesempatan untuk memperbaiki.
Untuk tumbuh.
Untuk percaya lagi.
Dan untuk mencintai lagi—dengan cara yang baru, cara yang lebih baik.