Nara duduk termenung di meja kerjanya, ingatan tentang kegagalan demi kegagalan terus berputar di kepalanya. Sudah tiga kali ia mengikuti tes seleksi PNS. Tiga kali pula pintu itu tertutup rapat di hadapannya. Setiap kali, harapan itu sempat membara, lalu pupus begitu saja.
Orang tuanya selalu berharap anak sulungnya bisa menjadi PNS. Baginya, itu adalah lambang kestabilan dan kebanggaan keluarga—jalan hidup yang aman dan terhormat. Ibu sering bilang, “Kalau kamu jadi PNS, hidupmu terjamin. Kami semua bangga.”
Namun, kenyataan berkata lain.
Perjalanan Nara tidak mudah. Setelah sarjana, ia bertekad melanjutkan kuliah S2 demi memperbesar peluang karier. Namun, Satu per satu, harapan akan beasiswa itu gugur—seperti bunga yang layu sebelum sempat mekar. Keuangan keluarga yang pas-pasan membuatnya harus berhenti di tengah jalan.
Setiap kali gagal, hatinya hancur. “Apakah aku memang kurang mampu?” bisik hatinya dalam diam.
Terlalu sering ia merasa seperti sedang berlari dalam lorong gelap tanpa ujung. Nara masih terjebak dalam lingkaran yang sama. Ia merasa menjadi beban, terus bergantung pada Ibu yang sudah lelah berjuang.
“Kenapa aku gagal terus? Apa yang salah dengan aku?” pikirnya, sambil menatap langit-langit ruangan yang mulai memburam.
Rasa percaya dirinya terkikis perlahan. Ia meragukan kemampuan, bahkan identitasnya sendiri. “Apakah aku hanya akan menjadi seseorang yang selalu gagal? Siapa aku tanpa gelar PNS itu? Tanpa gelar S2? Tanpa pekerjaan yang membanggakan?”
Ia merasa terjebak dalam peran yang tidak lagi bisa ia kenali: istri yang seharusnya kuat, ibu yang seharusnya tegar, tapi dalam diam, dirinya merasa rapuh dan tersesat.
“Nara, kamu harus lebih kuat,” suara kecil di dalam dirinya mencoba memberi semangat. Tapi rasa lelah sudah terlalu dalam mengakar.
Ia memejamkan mata, berusaha mencari secercah harapan. Namun kegagalan demi kegagalan membuat hatinya nyaris beku.
“Aku ingin bangkit, tapi aku takut jatuh lagi,” gumamnya.
Malam itu, di tengah keheningan rumah, Nara tahu satu hal: ia tidak bisa terus seperti ini. Ia harus menemukan jalan baru, atau setidaknya, memulai dari titik yang baru.
Langkahnya pelan menyusuri lorong rumah menuju kamar. Anak dan suaminya sudah terlelap. Rumah sunyi. Tapi pikirannya justru semakin bising. Ia membuka laci meja rias, mencari sesuatu untuk mengalihkan pikiran. Pensil alis, hand cream, charger—semuanya terasa biasa saja. Sampai matanya menangkap sebuah buku lusuh dengan sampul biru muda yang menguning di ujung-ujungnya.
Jurnal lamanya.
Ia memegangnya perlahan, seolah sedang menyentuh bagian dirinya yang sudah lama hilang. Jemarinya membuka halaman pertama. Tulisan tangan remaja dengan tinta hitam memenuhi lembar demi lembar—penuh emosi, keluhan, mimpi, bahkan puisi-puisi pendek yang dulu tak pernah berani ia tunjukkan pada siapa pun.
"Kalau aku gede nanti, aku pengin jadi penulis. Nulis cerita yang bisa bikin orang ketawa, senyum-senyum sendiri, atau ngerasa kayak lagi ngobrol sama temen. Seru aja kali ya, kalau tulisan kita bisa nemenin orang pas lagi capek atau sedih."
Nara membacanya pelan-pelan. Ada sesuatu yang menghangat di dadanya. Matanya tiba-tiba berkaca-kaca.
Kapan terakhir kali ia merasa sepenuh itu saat menulis?
Kapan terakhir kali ia jujur pada diri sendiri tentang apa yang benar-benar ia cintai?
Hidup telah membawanya menjauh dari semua itu. Ia terlalu sibuk mengejar validasi, memenuhi ekspektasi, dan membuktikan bahwa dirinya tidak sia-sia. Tapi justru di sana—di tengah semua itu—ia kehilangan dirinya sendiri.
“Menulis,” bisiknya lirih, seolah sedang menyapa diri sendiri yang lama tertidur. “Dulu kamu pernah jadi alasanku bangun pagi. Sekarang aku bahkan lupa rasanya punya mimpi.”
Ia mengusap halaman-halaman jurnal itu perlahan, seperti seseorang yang menyentuh kenangan masa kecil. Hangat, tapi juga menyakitkan.
Malam itu, untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, Nara duduk dengan pena dan kertas kosong di hadapannya. Ia tidak tahu harus mulai dari mana. Tapi ia tahu: ia ingin kembali ke sana, ke tempat di mana ia bisa menjadi dirinya sendiri. Tanpa topeng. Tanpa tekanan.
Dengan tangan sedikit gemetar, ia mulai menulis.
"Halo, aku yang berusia tiga puluh tahun. Aku tahu kamu lelah. Tapi aku juga tahu kamu belum selesai. Mari kita mulai lagi pelan-pelan, tapi sungguh-sungguh."
Dan seperti itu, Nara menyalakan kembali api kecil yang selama ini padam.