Ruangan hampa ini akan segera berubah menjadi wujud kurungan. Tergantung orang yang memberi hukuman, jika direpretasikan seperti kurungan duniawi. Itu bisa saja seperti penjara berlantai dingin dengan jeruji besi, atau bisa ruangan tanpa ventilasi sedikit pun--karena wajarnya makhluk yang dikurung di tempat Shun sekarang tidak terlalu membutuhkan bernapas.
Itu bukan di dunia kematian, bukan pula dunia kehidupan. Tempat ini ada diantara keduannya, seperti batas samar dua dunia. Untuk sekarang, Shun seperti memejamkan mata meski dia mengedip sering sekali. Dia masih diruangan hampa. Tanpa cahaya, dia bahkan tidak bisa merasakan dirinya sendiri sekarang.
Dia yang pasrah mulai bertanya-tanya. Inikah bentuk kurungannya? Mungkin ada perubahan peraturan. Setau Shun dia akan menemui penghukum di ruangan hampa ini, sebelum kemudian orang itu membentuk tempatnya sesuka hati. Jika sudah tidak begitu, kenapa belum ada yang menjemput Shun saat dia hampir putus asa begini? Perlukah dia berteriak menyerah?
Shun menelan ludah, tenggorokannya teramat kering. Dia tidak berniat cepat menyerah, bahkan tidak sama sekali. Tapi ini seakan bukan lagi tentang pilihan, tapi sebuah keharusan. Dia mengepalkan tangan, dan tepat ketika dia hendak bersuara untuk menyerah, ruangan hampa ini mulai bercahaya, mulai dari pendar ringan dari depannya, menjalar terus ke kaki dan kebelakangnya. Perlahan, sesuatu seperti terbentuk.
Bentuk yang mengherankan dirinya. Bukan jeruji besi atau sesuatu sejenis itu. Yang ada, hanyalah pintu sebuah rumah, teras untuk melepas sepatu, rak, lantai kayu, tempat payung. Shun menahan napas, suara seperti sesuatu disusun terus terdengar. Seakan ada yang menyusun kehampaan ini menjadi sebuah rumah...tradisional Jepang?
Shun mengerjap, dia masih tidak tau harus merespon seperti apa di situasi ini. Dia bahkan tidak punya kesempatan untuk memeriksa apakah dia bermimpi atau tidak. Karena setelah bunyi terakhir, pintu di depannya terbuka. Dan seorang bertampang malas menampilkan dirinya.
"Eh--" Shun menahan suaranya yang akan keluar, dia hanya refleks memundurkan langkah.
Di depannya, berdiri seorang lelaki berpenampilan mewah---bersinar dengan setelan, rambut pendek yang disisr rapi. Ketampanan yang tidak bisa ditemukan pada manusia biasa manapun. Dan mata keemasan dengan pupil lonjong itu, Shun jelas sangat mengenalinya.
Itu orang yang mengurungnya.
Shun bahkan masih mengedip satu kali, tapi hal berikutnya lebih mengejutkannya. Bukan hanya orang itu, beberapa orang memasuki ruangan ini. Setelah orang itu, ada seorang lelaki menawan dengan muka yang terlihat pucat. Disusul seorang gadis manis bergaun putih sederhana.
"Kenapa tidak menyambut kami?" Orang yang pertama masuk itu bersuara main-main, "Misalkan Okaeri?"
"Ya--"
Lelaki itu mengibaskan tangan, lalu berdecak sambil membuka sepatu mengkilapnya. "Tidak jadi, itu menggelikan jika keluar dari mulutmu."
"Apa--apa yang terjadi, Tuan?" Shun menelan ludahnya, "mereka berdua siapa? Dan anda mau kemana tuan?"
Orang itu memasang wajah malas, melewati Shun sambil berkata, "Haruskah kujelaskan? Pokoknya kamarku di lantai dua, dan kenalan saja sendiri."
Shun refleks menoleh pada dua orang di depannya, orang yang berwajah pucat itu melewatinya. "Memalukan mengenalkan diri, tapi tetap saja...Aku Dewa Shinigamu bernama Shin."
Seketika lutut shun lemas, dia tidak mengerti kenapa dalam kurungan ini dia masih harus bertemu Dewa kematian. Lebih anehnya lagi, tidak ada aura berat dari orang yang melewatinya. Hingga alih-alih berlutut dan memberi salam, Shun hanya berdiri mematung. Dia melihat seorang gadis di depannya dan menerka-nerka.
"Dan, ka--anda?" Shun memberanikan diri bertanya pada gadis yang kini masih berdiri malu-malu.
Gadis itu tersenyum, ada dekik di pipi kirinya. "Anda telalu formal, Tuan. Saya Aya."
Tubuh shun kini menegang, dia sepenuhnya tidak percaya ini kenyataan. Diamatinya gadis itu lebih teliti: Dress seluttnya berwarna putih gading, kulitnya putih dan tampak halus, berambut hitam legam, dan matanya sangat unik; berwarna biru gelap dengan pupil vertikal. Dan yang terpenting, ada gelang dengan tali merah, berbandul tulisan kecil 'Aya'.
Shun membekap mulutnya, kemudian mencubit pipinya. "Ini bukan mimpi."
Gadis di depannya tertawa malu-malu, "Benar, Tuan. Bolehkan saya masuk? Mungkin Tuan ingin mendengar yang terjadi?"
"Te-tentu, Aya-chan?" Lidah shun kelu, seperti ada yang salah dengan memanggil gadis didepannya dengan nama kucing.
Tapi bagaimanapun, dalam kenyataan absurd ini, kucingnya menjadi manusia. Itu bahkan lebih mengejutkan daripada pertemuannya dengan Dewa Kematian.
Shun menatap hati-hati ke arah Aya yang melewatinya, dia mencubit pipinya sendiri dan mengaduh, membuat Aya berbalik."Anda tidak masuk, Tuan?"
"Aku ke sana." Shun mengikuti Aya, dia hanya tidak percaya jika Aya yang biasanya mengeong dan bertingkah lucu, kini berubah menjadi sosok gadis yang begitu imut.
Mereka berbicara di dapur. Setelah diingat lagi, tempat ini menyerupai rumah Shun--entah bagaimana bisa terjadi--tanpa kenangan seperti bingkai foto atau apa. Dia duduk di kursi meja makan dekat kulkas, sementara Aya duduk dihadapannya, tangannya tertangkup diatas meja, pipinya mengembang karena tersenyum. Dia terlihat siap bercerita.
"Jadi pertama, aku sudah tau siapa Tuan." Aya mengawali ceritanya.
Shun berusaha untuk tidak mengalihkan perhatian, dia berusaha tenang. "Begitukah? ...Bagaimana menurutmu?"
Aya mengeluarkan cengiran, "Itu keren! Ternyata aku diasuh oleh seorang siluman. Entah kenapa ada kebanggan tersendiri. Tapi satu hal, kenapa tuan menyembunyikannya dariku?"
"Itu..." Shun berdehem, "Tidak ada yang perlu dibanggakan dari seorang siluman rubah liar."
Aya menggelengkan kepala, "Kenapa tidak? Tuan berumur panjang kan?"
Shun mengangguk.
"Itu berkah, Tuan tau? Kucing hanya hidup beberapa tahun saja. Sedangkan jika berumur panjang seperti Tuan, ada banyak hal yang bisa dilakukan!"
Shun tersenyum, padahal hidup lama membosankan. "Memangnya apa yang ingin kau lakukan jika hidup panjang?"
Aya berbinar-binar, "Banyak! Mengunjungi banyak tempat, seperti Sapporo Snow Festival...katanya ada patung salju raksasa dan tempat bermain di sana, aku ingin juga mengunjungi Kyoto yang hangat..dan ingin menulis banyak cerita yang terinspirasi dari perjalananku."
Mendengar itu, hati Shun terasa nyeri. Betapa indah mimpi kucing kecilnya ini. Shun tidak pernah tau Aya memiliki mimpi seperti itu, jika saja tau...mungkin dia akan sering membawanya pergi jalan-jalan. Sekarang di tempat kurungan seperti ini, apa yang bisa dia lakukan? Shun bahkan tidak berani bertanya alasan Aya terkurung bersamanya, atau sekecil bertanya darimana Aya tau hal-hal semacam itu.
"Tuan?" Aya mengibaskan tangannya di depan Shun, "Kenapa?"
"Tidak apa-apa," Shun tersenyum, dia refleks mengangkat tangannya, menepuk-nepuk ringan kepala Aya. "Itu mimpi yang sangat indah, Aya-chan."
Aya mengerjap, dia tersenyum dengan semu merah muda dipipinya. "Tuan harus menemaniku, ya?"
Mustahil. "Tentu, Aya-chan. Mari wujudkan mimpi kita satu persatu."
Aya mengangguk, "Katanya, sekarang kita harus bersabar menjalani hukuman."
"Kata siapa?"
"Dewa Ōkuninushi..."
"Dewa--siapa?!" Shun telonjak di tempat duduknya, perutnya mendadak mulas. "Bagaimana bisa kau bertemu dengan Dewa itu?"
Aya mengamati reaksi Shun, "Entahlah, Tuan...Aku hanya dibawa Koharu, dan bertemu Dewa Shinigami saat di rumah kita, dan aku mungkin tidak sadar. Pokoknya saat bangun lagi, aku sudah dihadapan Dewa Ōkuninushi dengan wujud manusia begini."
Shun masih ternganga, tidak menduga kucing kecilnya ini bertemu hal-hal luar biasa. Sedangkan Shun sebagai yako saja terus menghindari Dewa Shinigami, apalagi Dewa Ōkuninushi. Dia hanya berinteraksi dengan yokai atau yurei. Tidak terbayangkan bagaimana bertemu Dewa-Dewa besar.
"Koharu? Itu...bagaimana keadaannya?" Shun bersuara hati-hati. Setaunya, tidak ada manusia yang baik-baik saja jika bertemu Dewa Shinigami.
Aya mengangkat bahu, "Aku tidak terlalu ingat, Tuan. Tapi tadi Yui-san dan Dewa Shinigami berdebat."
Masih banyak yang ingin Shun ketahui, tapi dia takut terlalu memaksakan diri Aya. Mengingat kurungannya berbentuk seperti ini, dan mengenal kebiasaan-kebiasaan Aya, Shun memutuskan untuk berkata, "Yasudah kita lanjut lagi, kau istirahatlah."
Aya tersenyum malu-malu, "Sebenarnya aku ingin menunggu bahan makanan datang, tapi sepertinya masih lama."
Shun tidak mengerti maksud Aya, tapi dia hanya terenyum dan membiarkan Aya pergi. Memikirkan hal-hal yang baru saja terjadi. Ini diluar perkiraannya. Tidak pernah dia duga akan mendapatkan hukuman dengan tampilan seperti ini. Bahkan ada bahan makanan yang akan datang. Setau Shun, ketika kehampaan itu mewujud kurungan, segala rasa manusiawinya akan hilang; seperti napsu makan.
Jadi rasa hausnya yang sejak tadi hilang, tidak pernah terpikirkan bagi Shun jika di tempat ini akan ada sesuatu seperti rumah pada umumnya. Shun beranjak, dia membuka ruangan di dekat dapur. Ada namanya di shoji. Dia menggeser pintu itu, dan tepat seperti dugaannya. Ini adalah ruangan kecil dengan futon di dalamnya.
Yui memasuki ruangan itu, dia memilih untuk membaringkan diri. Sangat sulit baginya untuk menerima semua yang terjadi. Dewa kematian, asisten Dewi Inari, dan kucing kecilnya yang menjadi manusia.
Itu, terlalu aneh untuk digabungkan. Shun tidak bisa menebak apa yang akan terjadi setelah ini, dia hanya tidak siap menghadapi reaksi kecewa Aya tentang kurungan ini.