“Kamu ke mana sih, Rain? Tolong angkat teleponnya!” gumam Rindu sambil mencoba menyambungkan ponsel pintarnya dengan nomor sang anak. Tersambung, tetapi sepertinya sengaja tidak diangkat.
Susana di depan ruang ICU begitu dipenuhi kesedihan. Mardian tidak berhenti menangis di pelukan Karina, Milly pun juga hadir dan meninggalkan kelas, dan berupaya menghentikan tangisan Asih, ibu tiri Randy yang memang sudah lebih dulu dia kenal.
“Sudah ada kabar dari Dion?” Sandy yang baru tiba tampak terengah-engah. Dia masih mengenakan setelan rapi, sebab saat mendengar kabar kondisi anaknya memburuk, dia langsung datang ke rumah sakit tanpa sempat berganti pakaian. “Rin, kamu ini bagaimana sih? Menjaga anak tidak becus. Bagaimana mungkin kamu tidak tahu kalau anakmu kabur dari rumah?”
Ucapan ketus Sandy sontak membuat Rindu terkejut dan menatap pria itu tajam. “Maksud Bapak?”
“Ya memang benar, kan? Kamu ibunya. Kamu yang tinggal dengannya. Bagaimana mungkin kamu bisa tidak tahu anakmu pergi ke mana?”
“Pak Sandy, tolong jaga bicara Anda!” Rindu menarik napas panjang, lalu memasukkan ponsel pintarnya ke dalam tas. “Saya tidak ingin berdebat, tapi seharusnya Anda bicara begitu.
“Saya membesarkan Raina selama ini tanpa pernah minta bantuan kepada Anda. Lalu, sekarang seenak jidat Anda menghakimi saya?” Dia menunjuk dirinya sendiri penuh emosi. “Kalau bukan karena Randy ayah dari anak saya, saya juga tidak akan mau ada di sini.”
“Sudah! Sudah!” Asri berdiri, mendekati dan mengelus-elus dada suaminya. “Pa, tolong jangan berdebat di sini. Kasihan Randy. Dia sedang kritis, Sayang.”
“Ma –“
“Duduk sini! Di samping Milly.”
*_*
“Lo yakin, Yon?”
Dion yang menyetir bertanya pada Leon, yang kini jadi duduk di kursi penumpang.
Pria berpakaian seragam kedai ayam goreng itu mengangguk. “Kalau berdasarkan pengakuan temannya sih begitu, Mas. Kemarin Raina menghubunginya untuk dicarikan pekerjaan.”
*_*
Raina bergegas mencari tempat duduk, menyimpan tas ransel di pangkuannya.
Dikarenakan belum banyak penumpang yang masuk, tampaknya bus ini pun belum akan segera berangkat, mana untuk menghabiskan waktu Raina pun memutuskan untuk memejamkan mata.
Sementara Randy yang masih mengekor, duduk di bangku kosong di sebelah Raina. “Tolonglah, Rain!” Dan masih tidak berhenti bicara. “Harus berapa kali gue memohon supaya kamu mau pulang?”
“Bisa diam? Ganggu tahu nggak?” keluh Raina. Lalu, melepaskan jaket dan menjadikannya penutup muka. “Kalau mau balik, ya balik saja sendiri. Nggak usah ngajak-ngajak orang.”
Meskipun direspons dengan ketus, tetapi bagi Randy ini merupakan sinyal yang bagus. Setidaknya, Raina sudah mau buka mulut. “Atau begini saja, kalau kamu memang nggak mau pulang, eh bagaimana kalau telepon ibumu saja? Paling nggak, kamu pamit biar Rindu nggak cemas.”
“Sudah ya, Ran! Cukup!” Raina menyibakkan jaketnya kasar, lalu menoleh pada Randy tajam. “Nggak usah ikut campur urusan gue. Karena kayak yang gue bilang kemarin ..., sampai kapan pun juga lo nggak akan pernah jadi bokap gue. Jadi berhenti berlagak lo kayak bokap gue. Ngerti?”
“Iya aku tahu, Rain. Aku memang nggak membesarkan kamu. Nggak pantes kamu panggil Papa tapi –tolong jangan hukum aku seperti ini, Rain.”
Raina menatap ke luar jendela bus. Lalu-lalang kendaraan, juga ratusan manusia yang singgah di sana menjadi pengalih perhatiannya. “Siapa yang menghukum siapa?” Lalu, menoleh kembali ke arah Randy. “Lo sadar nggak sih kalau gara-gara lo hidup keluarga gue berantakan?”
“Aku sadar, Rain. Aku minta maaf.”
“Maaf doang nggak akan cukup.”
Ucapan Raina bak belati tajam, mengiris hati Randy dengan sangat cepat. Dengan cepat pria itu menyentuh dadanya. “Terus aku harus apa, Raina?”
“Pergi.”
“Apa?”
“Pergi dan jangan pernah balik lagi.”
Randy bergeming, menatap wajah kemerahan Raina lekat, lalu mengangguk. “Iya. Kamu nggak usah khawatir karena sebentar lagi aku akan pergi. Tapi tolong ..., tolong jangan hancurkan hidupmu, Raina.” Sambil menarik napas panjang, dia berdiri kemudian pergi.
Setelah beberapa meter Randy melangkah, air matanya jatuh.
*_*
“Kenapa ya, Bu, mudah buat kita menasihati orang lain tapi begitu dihadapkan masalah yang sama, berat banget ngejalaninnya?” Pertanyaan itu Raina ajukan kepada sang Ibu tiga hari lalu, ketika dia pulang dari rumah sakit.
Yang dijawab pelukan oleh Rindu. “Seperti itulah kehidupan, Sayang. Selain rumput orang lain lebih hijau, sepatu orang lain juga tampak lebih indah.
“Kebanyakan dari kita hanya bisa menghakimi, padahal mau dilihat dari sisi mana pun, kita tidak akan pernah bisa memahami orang lain karena sepatu yang kita gunakan berbeda.”
Ingatan itu memudar, Raina buru-buru menyeka air matanya. Dia menyaksikan langkah gontai Randy di bawah.
Orang-orang memasuki bus, para calon penumpang yang lain.
Tiga puluh sembilan hari lalu untuk pertama kalinya Raina bertemu dengan Randy. Seorang pria brengsek yang dikutuk seluruh Indonesia, yang memaksanya menjadi penolong, yang perlahan menjadi kawannya dan kini harus dia terima sebagai ayah kandungnya.
“Nggak, Rain! Lo nggak akan pernah paham!” Kilas balik kembali muncul di kepala Raina, seperti kaset hitam putih yang memperlihatkan perdebatannya dengan Randy lima hari lalu. “Ini hanya akan menghancurkan hidup anak gue.”
“Dia berhak tahu siapa ayahnya, Randy.”
“Buat apa?”
“Memangnya lo mau mati tanpa ketemu sama dia? Memang lo mau dia tahu ayahnya pas lo sudah nggak ada?”
“Mungkin itu lebih baik.”
“Gila lo.”
Ya. Randy memang sudah gila.
Raina tersentak dari lamunannya. Dia spontan menyambar tas berlari keluar.
*_*
Sebatang rokok seperti biasa menghiasi antara telunjuk dari jari tengah perempuan berlipstik hitam itu. “Halo, Ran?”
Yang disapa seketika menghentikan langkah, berbalik. “Lo di sini?”
“Masih ada beberapa jam lagi,” katanya sembari memamerkan jam yang melingkar di tangannya.
Randy menghampirinya. “Andai gue punya waktu lebih lama.”
“Begitulah. Penyesalan selalu datang terakhir. Padahal gue sudah bilang kemarin, lo harusnya memilih pilihan pertama.”
“Nggak. Lo salah kali ini,” sanggah Randy. Dia tertawa pedih. “Kenapa gue ..., harusnya Tuhan nggak mempertemukan gue dan Raina dengan cara seperti ini. Gue bahkan nggak bisa melakukan apa-apa untuk anak gue sendiri. Oh iya, lo bisa bantuin gue?”
“Bantu?”
“Lo kan malaikat. Tolong bilang ke Tuhan buat nggak bikin hidup Raina susah!” pintanya sambil bersimpuh. “Gue rela kalaupun harus masuk neraka. Tapi tolong, ini permohonan pertama gue setelah bertahun-tahun ..., bantu Raina bahagia. Dia satu-satunya yang berharga dalam hidup gue.”
Malaikat tampak kaget, tetapi kemudian melemparkan puntung rokok ke tanah. Dia berjongkok, menatap mata cokelat Randy dan tersenyum. “Sayang sekali, Ran, bukannya gue nggak mau bantu tapi itu di luar wewenang gue.”
“Lo malaikat.”
“Maut. Gue malaikat maut, Randy.”
“Atau kalau nggak, lo sampaikan pesan ini ke malaikat lain.”
Perempuan itu menarik napas panjang dan menghelanya lewat mulut. “Berdiri!” katanya sambil menarik tangan Randy. “Lo nggak perlu bersujud ke gue. Itu percuma. Mintalah langsung kepada Tuhan. Hanya dia yang bisa mengabulkan doa manusia.”
“Kalau begitu di mana gue bisa menemui Tuhan?”
Malaikat tidak langsung menjawab, dia justru mengulurkan tangan kanannya. “Di rumah.”
“Maksud lo –“
“Rumah yang sebenarnya.”
Tubuh Randy membeku. Mungkinkah ini artinya mati?
“RANDY!” Suara teriakan Raina terdengar dari kejauhan, membuat Randy spontan menoleh. Benar saja, gadis itu berlari ke arahnya. “RAN! TUNGGU!”
“Jika engkau ikut denganku sekarang,” suara si Malaikat Menjadi berat, mengejutkan Randy. Yang begitu dia toleh, makhluk itu telah berubah menjadi sosok pria besar bertudung hitam, “maka masih ada waktu untuk menemui Tuhan. Namun, jika kau pulang sesuai waktumu, kau akan langsung dikirim ke pengadilan.”
“E ....” Mulut Randy mendadak kelu, dia bimbang. Haruskah ini dia lakukan? Demi Raina. Tapi dia tidak akan bisa bersama Raina lagi.
Seolah paham yang dipikirkan pria itu, Sang Malaikat berkata, “Begitulah orang tua, Randy. Pengorbanan adalah makanan mereka sehari-hari. Tenang saja, bukan hanya dirimu. Semua orang tua yang kujemput juga mencemaskan anak-anak mereka.”
Randy hendak mengulurkan tangannya, namun sebelum itu Raina lebih dulu tiba.
“Kenapa?” tanya Raina tiba-tiba.
Randy yang terkejut bergeming. Tak sanggup membuka mulutnya.
“Kenapa lo nggak pernah bilang ke gue sejak awal?” lanjut Raina. “Kenapa lo nggak mau minta maaf ke gue? Padahal kan gue bisa nolongin lo.”
Meski tahu sia-sia, Randy mencoba menyeka air mata Raina dengan jemarinya. “Jaga diri kamu baik-baik ya, Nak.” Air mata mereka sama-sama banjir. “Papa minta maaf karena nggak perah ada buat kamu. Papa paham kok kalau kamu nggak akan pernah memaafkan apalagi menganggap Papa sebagai papa kamu. Nggak apa-apa. Kamu nggak salah. Papa yang salah.
“Jangan pernah benci ibu kamu. Sampaikan juga maafku buat dia dan yang lainnya. Ya?”
“Ran –“
“Aku pergi dulu. Nanti kita bertemu lagi.” Randy mundur, meraih tangan si Malaikat dan dalam sekejap dia hilang. Lenyap.
“Nggak! Nggak! Nggak!” ucap Raina panik. “Randy? Ran!”
“RAINA!”
“Leon?”
Yang dimaksud berlari dari kejauhan, melambaikan tangan ke arahnya.
“Kok kamu tahu ada di sini?”
Leon justru memeluknya. “Kamu jangan begini lagi ya. Aku khawatir banget.”
“Iya. Kamu ke sini sama siapa?”
“Kak Dion. Oh iya, kita harus ke rumah sakit sekarang. Semua orang ada di sana karena Kak Randy dipindah lagi ke ICU.”
“Randy?”
Mereka langsung berlari kembali ke parkiran, tempat di mana Dion memarkirkan mobil.
Namun, baru beberapa meter sebelum mereka sampai, keduanya sudah disambut oleh Dion. Yang mana ayah dua anak itu tengah menangis. “Rain. Randy, Rain.”
“Randy kenapa?” Raina berlari dan menerjang bahu Dion keras. “Kak Dio, jawab! Randy baik-baik saja, kan? Kak? Jangan diam saja?”
Dion membiarkan tubuhnya di dorong hingga menghantam pintu mobil. “Dia sudah nggak ada, Rain.”
“Nggak! Kak Dion bohong!”