Perceraian tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan rasa sakit yang harus Mardian tahan ketika harus menyerahkan hak asuh putra semata wayang mereka kepada sang suami.
Padahal dua bulan lamanya, Mardian mengerahkan seluruh jiwa dan raganya untuk memenangkan pengadilan. Namun, semua harus dia lakukan demi kehidupan Randy yang lebih baik, setidaknya begitulah yang dia pikirkan saat itu.
Mardian belum lupa hari di mana dia mengetahui rahasia besar yang disembunyikan anaknya di gudang rumah mereka. Sama seperti sang ayah, Randy pun menyimpan segala kehidupannya di sana, termasuk bagaimana pemuda itu menarik paksa Rindu, anak pembantu mereka ke dalam gudang, di antara penuh barang serta lantai yang berdebu.
Randy menelanjangi masa depannya sendiri.
“Harusnya kamu tahu risiko ini,” gerutu Mardian pada pertemuan pertamanya dengan Sandy di sebuah restoran, tepat setelah mereka sah bercerai di depan gedung pengadilan. “Kenapa sih kamu harus selingkuh di rumah, Mas? Tidak bisakah kamu menyewa kamar hotel supaya tidak dilihat anakmu?”
“Aku benar-benar nggak menyangka kalau pada akhirnya akan jadi begini, Di.”
“Lalu, kamu berharap apa?” ketus Mardian. “Berzina di rumah, di depan anak, lalu kamu mau anakmu jadi anak saleh? Mimpi di siang bolong. Tuhan juga bakal tertawa.”
“Di, tolong jangan bicara begitu. Aku juga menyesal,” pinta Sandy. “Andaikan aku bisa memperbaiki semuanya.”
“Yang sudah pecah, sampai kapan pun akan pecah.”
“Dian.” Sandy hendak menengkup tangan mantan istrinya itu, tetapi Mardian yang menyadari langsung menarik tangannya dari meja. “Jika ada yang bisa kulakukan, katakan saja. Apa pun akan kulakukan demi anak kita.”
“Bawalah Randy bersamamu.”
“Apa?”
“Besarkan dia dengan baik.”
“Kau serius?”
“Apakah aku terlihat bercanda?” Meskipun dingin, tetapi Sandy paham betul bahwa Mardian sedang terluka saat itu. Berat. “Dan jangan pernah biarkan dia kembali apa pun yang terjadi.
“Dia tidak boleh bertemu lagi dengan Rindu. Kita harus memisahkan mereka sebelum terlalu jauh.”
Namun, ternyata Mardian salah karena ternyata hubungan Rindu dan putranya sudah terlalu jauh.
Dua bulan setelah tahu ajaran baru berlangsung, Mardian justru mendapat kabar mengejutkan, di mana Rindu dikabarkan jatuh pingsan di sekolah. Orang tuanya datang sambil menangis dan minta di antarkan Mardian ke rumah sakit, tentu sebagai majikan dia tidak menolak.
“Anak kami sakit apa, Dok?”
“Kondisinya akan baik-baik saja, kan?”
Tuti dan Joko menanyai dokter yang datang untuk memeriksa Rindu. Tubuh gadis itu dibaringkan di unit gawat darurat lengkap dengan infus yang tersambung di punggung tangan kirinya, sedangkan Mardian duduk mengamati dari kursi kayu yang ada di samping ranjang.
“Bapak dan Ibu tenang saja,” jawab Dokter lembut. “Adik Rindu tidak kenapa-kenapa, tetapi kami memiliki kabar yang kurang mengenakkan untuk kalian.”
“Apa, Dok?”
Dokter perempuan itu menarik napas panjang, menoleh ke arah Rindu dan Mardian, lalu kembali menatap Joko dan Tuti. Sepertinya, dia kesulitan merangkai kata. “Putri kalian sedang hamil tiga bulan.”
*_*
“DASAR ANAK KURANG AJAR! DISURUH SEKOLAH MALAH HAMIL! KALAU SUDAH BEGINI BAGAIMANA? KALAU ORANG-ORANG TAHU KAMU HAMIL, MAU DITARUH DI MANA MUKA BAPAK?”
“Aduh! Ampun, Pak! Sakit!”
“Mas, sudah!”
“BIAR! BIAR DIA TAHU RASA! DIPIKIR SEKOLAH BAYAR PAKAI DAUN!”
“..., tolong, Bu. Aku nggak kuat!”
Mardian yang datang ke kediaman Joko malam itu mengurungkan niatnya untuk mengetuk pintu, tatkala dari balik pintu terdengar suara pukulan benda tumpul beradu dengan rintihan Rindu.
*_*
“Apa ini, Bu?” Mata Joko terbelalak saat mendapati Mardian meletakkan amplop tebal ke atas meja. Yang langsung pria itu buka untuk dilihat isinya. “Banyak sekali uang ini, Bu?”
Mardian memalingkan muka, tidak sanggup melihat wajah orang tua yang anaknya sudah dihancurkan oleh putranya, dan menjawab, “Anggap saja itu biaya tutup mulut.”
“Maksud Ibu?”
“Jangan biarkan orang-orang tahu kalau –“ Mardian menegakkan punggungnya, lalu mendekati Joko. “Dengar! Saya tidak peduli akan kalian gunakan untuk apa uang itu; dan apa yang akan kalian lalukan pada bayi itu.
“Yang jelas, saya mau kalian merahasiakan siapa ayahnya. Saya tidak mau masa depan anak saya hancur karena ini.”
“Lalu bagaimana dengan masa depan anak kami, Bu?” Tuti mendadak muncul dari ruangan sebelah. “Hidupnya juga hancur.”
“Kalau begitu aborsi saja!” jawab Mardian cepat. “Uang itu lebih dari cukup untuk membayar biayanya, bahkan masih ada cukup banyak sisa untuk kalian hidup ke depannya.”
“Tapi –“
“Apa jumlahnya kurang!” Mardian kembali menyela. “Saya akan berikan apa saja yang kalian mau.”
Joko dan Tuti terdiam, saling pandang.
“Lagi pula, anak-anak kita masih terlalu muda. Mereka tidak mungkin menikah. Mereka masih punya masa depan. Ini belum terlambat.”
*_*
“ ..., begitulah kemudian saya harus menyerahkan setengah hektar tanah kepada mereka.” Sepanjang bercerita, Mardian tidak berhenti terisak, sampai- Maria harus membantu menguatkan dengan mengelus-elus bahunya. “Dan sesuai kesepakatan, setelah menjual tanah itu, mereka pindah.
“Kami benar-benara kehilangan kontak. Itulah kenapa saya tidak tahu kalau Ririn memilih melahirkan anaknya.”
“Sabar, Bu!” kata Maria. “Toh, ini bukan sepenuhnya salah Ibu kok. Ibu kan nggak tahu. Lagian ..., aduh! Gue nggak habis pikir, kenapa mereka melakukan semua ini? Apa coba niatnya? Terus, kenapa baru muncul sekarang? Apa jangan-jangan mereka mau memanfaatkan keadaan?”
“Maksud lo, Mar?”
“Ya ampun, Kak Dion. Masa begitu saja nggak paham?” Maria memutar bola matanya malas. “Ini sudah jelas banget kalau keluarganya si Ririn-Ririn itu, mau minta warisan.”
“Kayaknya nggak mungkin deh, Mar. Secara, kalau memang mereka mau minta pertanggung jawaban, kenapa baru sekarang? Kenapa nggak dari dulu saja? Di saat karier Randy sedang naik-naiknya.”
“Ya justru itu. Kak Dion lupa kejadian Joana kemarin? Orang bisa gila hanya karena dendam, terlebih –“
Dion menggeleng. “Nggak, Mar! Nggak! Jangan karena Randy teman kita, lalu kamu nggak bisa berpikir jernih. Karena bagaimanapun juga Ririn berhak melahirkan bayinya.”
*_*
“Mungkin inilah satu-satunya cara kita bisa menyematkan nyawa Randy.”
Maria terlihat kesal saat Raina –yang sedari tadi menunggu di luar untuk membujuk Randy –justru mengamini ide Dion. “Tapi, Rain, kalau mereka minta syarat aneh-aneh, gimana? Lo belum lupa kan sama Kak Mona? Apalagi kita nggak tahu orang seperti apa si Ririn itu?”
“Ya justru inilah saatnya kita cari tahu.” Raina menoleh ke arah Randy yang duduk di pinggir kolam, tak jauh dari tempat mereka berada. “Apalagi si Randy nggak mau ngomong apa-apa. Dari tadi lho dia diam terus. Kalau kita diamkan, bisa-bisa dia mati.”
“Raina benar. Waktu kita mepet, Mar.”
“Ya sudahlah! Terserah lo berdua! Gue mau tidur!” Maria bangkit dari kursi dengan muka masam, lalu berjalan masuk ke rumah. Meninggalkan Raina dan Dion di bawah langit malam yang entah bagaimana terasa begitu sendu.
“Kak Dion sudah dapat alamatnya?”
Dion mengeluarkan potongan kertas dari sakunya. “Hanya alamat rumah lamanya saja.”
“Coba lihat!” Raina menyambar benda tersebut dan membacanya. “Harusnya nggak jauh dari rumah Randy. Coba deh nanti aku tanyain ke Ibu, siapa tahu dia kenal dengan orang tuanya Ririn ini. Biasanya kan kalau ada gosip di kampung cepat menyebar.”
“Thanks ya, Rain. Maaf ngerepotin.”
“Sama-sama. Aku senang kok bisa berteman dan bantuin kalian.”
*_*
“Mama memang menyematkan masa hidup anak Mama, tapi di sisi lain juga menghancurkan masa depan anakku.”
Malam itu, Randy memutuskan untuk tidak ikut pulang ke kontrakan Raina, hanya untuk bisa ngobrol –meskipun hanya sepihak –dengan ibunya.
Saat Randy datang ke kamar, Mardian masih terjaga, duduk di pinggir kasur sambil menatap foto masa kecil Randy yang memang di pajang di nakas.
“Aku tahu Mama sayang sama aku,” ucap Randy berat. “Ya, sekarang aku tahu rasanya, Ma. Sialnya, karena sudah tahu ..., aku justru nggak bisa marah ke Mama.”
Randy mengusap wajahnya kasar. “Dulu aku penasaran kenapa Mama buang aku. Aku merasa disingkirkan. Tapi sekarang ..., aku bahkan nggak punya pembelaan, Ma!
“Bahkan tadi, saat kalian ngobrol di dalam ..., aku nggak nyangka kalau Raina bakal ngejar aku keluar. Dan Mama tahu apa yang dia lakukan? Raina bilang, aku harus memaafkan Mama dan memintaku menemui anakku.
“Tapi, bagaimana kalau Raina tahu, Ma!” Dia bersimpuh di samping ibunya. “Aku harus apa, Ma! Tolongin aku, Ma! Aku nggak mau Raina tahu, Ma!”
Setidaknya dengan wujudnya yang sekarang, Randy punya kebebasan untuk menangis meraung-raung tanpa perlu takut mengganggu orang lain.
“Raina pasti akan kecewa, Ma! Aku nggak mau menghancurkan hidupnya.”