“Kenapa, Rin? Kenapa? Kenapa kamu tega melakukan semua ini padaku?”
Walau sudah lama berlalu, tetapi nyatanya hingga sekarang Rindu tidak pernah benar-benar bisa melupakan tatapan yang diberikan oleh suaminya di hari itu.
Siswoyo berdiri membelakanginya, suaranya bergetar antara menahan amarah dan tangisan, sedangkan Rindu yang terduduk di atas ranjang hanya bisa terdiam, tidak sanggup berkata apa-apa.
Rindu sadar betul bahwa sejak saat itulah suaminya berubah, pria yang dinikahinya tidak pernah lagi menjadi sama. Siswoyo yang baik perlahan kehilangan kelembutan hatinya, dan semua karena kesalahan Rindu, yang secara tega telah melukai perasaan pria malang itu. Sehingga kini, ketika tubuhnya dihujani goresan pisau, yang bisa Rindu lakukan ialah menyesal.
Bukan! Rindu sama sekali tidak menyesal karena telah menikahi Siswoyo karena bagaimanapun juga pria itu telah memberinya anak-anak yang luar biasa, memberinya status pernikahan yang sah dan paling tidak pada awalnya mereka juga pernah bahagia. Akan tetapi, Rindu tak akan pernah bisa memaafkan dirinya sendiri yang terlalu takut untuk jujur sejak awal.
Pintu ruang perawatan terbuka, menampilkan Tuti yang baru saja kembali dari luar lengkap dengan keresek berisi dua botol air mineral di tangan kanan. “Rin, kok nggak tidur? Kamu habis operasi lho, harus banyak istirahat.”
“Aku sudah nggak apa-apa kok, Bu,” jawab Rindu dengan tubuh terkulai lemas di atas kasur. Dia belum bisa duduk.
Tuti meletakkan bungkusan di tangannya ke dalam lemari kecil di samping ranjang, lalu menarik kursi besi sebelum akhirnya dia duduki. “Nggak apa-apa apanya? Perutmu semalam habis di-belek, seharian kamu tidur dan baru sadar beberapa jam lalu. Kok bisa-bisanya bilang begitu?” omel wanita tua itu pada sang anak.
Namun, Rindu justru tersenyum. “Itu kan semalam, yang terpenting sekarang badanku sudah enakan. Justru Ibu yang harusnya istirahat, dari semalam nggak istirahat tho? Jangan sampai darah tinggi Ibu kumat karena kurang tidur.”
Seperti itulah Rindu, dalam kondisi apa pun dia tak pernah benar-benar memikirkan dirinya sendiri. Tidak peduli dirinya hampir mati, Rindu akan selalu melihat orang sekitar seolah merekalah yang lebih pantas diberi pertolongan. Tuti ingat betul kejadian setahun sebelumnya, ketika Rindu divonis menderita TBC. Alih-alih beristirahat, Rindu semakin giat bekerja karena sejak saat itu juga, dia mendaftarkan anak-anaknya iuran kesehatan, takut kalau-kalau mereka tertular dan butuh pengobatan. Untungnya, kemungkinan buruk itu tak pernah terjadi. Anak-anaknya tumbuh sangat sehat.
Meskipun selama ini terkesan tak acuh, sebagai orang tua sudah pasti Tuti diam-diam masih sering mencemaskan kondisi anaknya. Setua apa pun seorang manusia, tetaplah anak bagi orang tuanya. Itulah kenapa saat menemukan tubuh Rindu terkapar di lantai semalam, ingin rasanya Tuti menelan anaknya lagi. Ditambah orang yang melukai wanita itu tidak lain dan tidak bukan orang pilihan Tuti.
“Barusan Raina telepon,” kata Tuti membuka keheningan. “Dia bilang sudah di bawah. Tadinya mau langsung ke sini, tapi adiknya nangis minta beli ayam goreng.”
“Beli di mana?”
“Di depan rumah sakit. Lalapan kaki lima.” Tuti menatap nampan beisi makan malam yang disediakan di atas meja, lalu berkata, “Kamu juga makan ya? Habis ini langsung minum obat.” Tanpa menunggu jawaban, detik berikutnya sudah ada sesendok nasi dan lauk yang disodorkan ke depan mulut Rindu. “Aa!”
“Ya Allah, Bu.”
“Kok malah nyebut? Buka mulutmu!”
Rindu menurut, membuka mulut dan membiarkan makanan itu meluncur ke dalam mulutnya. Sudah sangat lama dia tidak disuapi oleh sang Ibu, bahkan bisa dibilang sudah lupa bagaimana rasanya.
Tidak sepertinya, Tuti merupakan ibu yang kaku. Omongannya kadang pedas, tetapi bagaimanapun juga bagi Rindu, wanita itu adalah surganya.
“Kok malah nangis?” Melihat anaknya terisak, Tuti buru-buru meletakkan mangkuk kembali ke atas meja, lalu menepuk bahu kiri Rindu pelan. “Ada yang sakit, Rin? Tak panggilin dokter ya?”
Rindu menggeleng sembari menyeka air mata menggunakan sebelah tangan. “Nggak usah, Bu. Ini bukan soal perut tapi –”
“Sudahlah, Rin!” tegur Tuti. “Semua sudah kadung terjadi. Nggak ada yang perlu diratapi. Yang sudah ya sudah.”
“Maksud Ibu?”
“Kamu pikir aku ndak ngerti? Kamu nangisin Siswoyo, kan? Ibu tahu kamu merasa bersalah ke dia tapi mau sampai kapan kamu akan mempertahankan rumah tangga dengan pria seperti itu? Masih untung lho kamu cuma luka. Kalau sampai mati, bagaimana? Siapa yang mau kasih makan anak-anakmu?”
“Bu, kita kan sudah pernah bahas ini –”
“Rin, yang menikah itu kamu, bukan bapakmu!” Ada begitu banyak penekanan dari cara Tuti bicara. Suaranya bahkan bergetar, terlalu lama dia memendam sebelum akhirnya punya keberanian untuk menyuarakan. “Kamu pikir Ibu ndak menyesal menyuruh kalian nikah?
“Kalau saja dulu Ibu ndak dengerin omongan bapakmu, mungkin hidupmu sekarang ndak akan kayak begini.” Tangan kanan Tuti memegang besi pinggiran tempat tidur, lalu menatap langit-langit kamar dengan nanar. “Harusnya dulu Ibu lebih percaya omonganmu. Jangankan membesarkan Raina, merawat tiga anak dan empat lansia saja kamu mampu. Ya tha, Rin?”
Rindu tidak menjawab apa-apa, bungkam. Bukan karena dia marah, melainkan tak ingin menambah bara di sana. Sebab dia paham betul bagaimana watak sang ibu. Satu ledakan akan membuat segalanya terbakar.
“Dan perlu kamu tahu, Rin, setiap kali Ibu nonton tivi,” ucapan Tuti terjeda, bersamaan dengan luruhnya air mata di wajah keriputnya, “hati Ibu hancur, Rin. Ibu merasa berdosa. Mau sampai kapan kamu ingin menutup-nutupi kenyataan dari Raina, Rin?”
“Bu –” Dengan susah payah Rindu hendak meraih tangan sang ibu, tetapi belum sempat jemarinya berhasil menyentuh, Tuti lebih dahulu mengangkat tangan, menempelkannya ke dada.
“Ini terlalu ndak adil untuk Raina, Rin!” Tuti menutup muka dengan sebelah tangan. “Anak-anakmu yang lain, mungkin sudah takdir mereka punya bapak seperti Siswoyo, tapi Raina?
“Bapaknya ada, Rin! Bapaknya hidup dan makan enak di rumah gedong, sementara Raina? Dia harus makan nasi dan garam setiap hari.
“Bukan tanggung jawab Raina harus mengurus adik-adiknya. Dia juga nggak berkewajiban mengurus orang-orang jompo ini.
“Mau sampai kapan, Rin? Mau sampai kapan kamu nanggung semua ini sendirian? Raina itu bukan hanya anakmu. Randy juga harus bertanggung jawab pada anaknya.”
*_*
“A –anak?” Randy mengulang ucapan Tuti, meminta konfirmasi meskipun sia-sia sebab di antara mereka tidak ada yang bisa melihatnya. “Apa maksud kalian –tunggu!” lanjutnya tergagap. “Nggak! Ini nggak mungkin!” Dia menggeleng diiringi tawa kecil, mencoba meyakinkan diri bahwa apa yang baru saja didengarnya hanya candaan.
Namun sayang, tangisan Rindu justru menegaskan sebaliknya.
“Rin!” Randy berlari mendekati ranjang, mencoba menyentuh tubuh wanita berseragam pasien itu dengan kedua tangan transparannya. “Ini nggak benar kan? Randy yang lo maksud bukan gue, kan? Di dunia ini ada banyak orang yang namanya Randy, kan?” tanyanya panik. “Ibumu bercanda kan, Rin? Nggak mungkin, kan, kalau Raina –”
Ingatan Randy mendadak kembali ke hari di mana dia masih remaja, tepatnya di malam ketika dia dan Rindu tengah belajar bersama di ruang keluarga di rumah yang kini jadi milik ibunya.
“Masih nggak paham juga?” Rindu belia bertanya, lengkap dengan senyuman manisnya yang khas.
Randy seketika menghentikan aksinya menggaruk tengkuk, dan membalas dengan senyuman lebar yang menampilkan deretan gigi putih nun berjajar rapi. “Ini terlalu susah.”
“Apanya yang susah? Coba, mana yang kamu nggak paham?”
“Semuanya!” keluh Randy. “Oh Tuhan, kenapa sih di dunia ini ada yang namanya fisika? Bisa nggak sih dihapus saja?”
“Sayang sekali, jawabannya tidak mungkin karena segala sesuatu yang ada di alam ini sangat erat kaitannya dengan fisika dan matematika.” Menyadari kalau jawabannya membuat Randy cemberut, Rindu malah tertawa puas. “Mau bibirmu dimonyong-monyongin juga percuma, Ran, soal ini nggak akan selesai sendiri. Kerjain!”
Dengan terpaksa Randy meraih kembali buku tulis bersampul cokelat miliknya, lalu meletakkannya di atas LKS yang juga sudah terbuka. “Aku kan bukan kamu yang jago dalam segala hal, Rin.”
“Aku nggak sepintar itu kok!” Rindu meralat, lantas memberikan buku catatannya untuk Randy lihat. “Oh iya, kalau nggak salah waktu kamu ulang tahun kemarin, Pak Bagaskara ngasih kamu hadiah buku persiapan UN ya?”
“Iya. Kenapa?”
“Terus sekarang di mana? Kenapa nggak pernah kelihatan? Padahal kan sebentar lagi kita mau UN.”
“Ada di gudang.”
“Kok ditaruh gudang sih, Ran?”
Melihat reaksi Rindu, Randy pun buru-buru berdiri. “Kalau mau, boleh buat kamu. Ayo kita ambil.”
“Serius?” Mata Rindu berbinar. “Mau banget.”
Ingatan Randy terputus bersamaan dengan rasa mual yang mendadak datang memenuhi perut. Kendati tahu bahwa isi perutnya tidak akan mengotori lantai, Randy tetap bergegas meninggalkan ruangan. Menuju toilet sebelum akhirnya menumpahkan semua di sana.
Randy merasakan sekujur tubuh gaibnya gemetar hebat, seiring datangnya kembali ingatan masa lalu. Nyatanya, sekalipun dia telah bercinta dengan begitu banyak perempuan, namun apa yang terjadi di antara dia dan Rindu di gudang belakang rumah pada malam itu ….
Menyadari bahwa apa yang mereka lakukan membuahkan hasil, Randy merasa semuanya begitu berbeda.
Bersusah payah Randy menahan supaya tubuhnya tidak jatuh. Tangannya mencoba meraih dan berpegangan pada pinggiran wastafel, sayangnya, karena dia arwah, maka semua sia-sia saja.
Randy ambruk.