Ajal seseorang akan tiba, melihat sosok gadis yang amat disukainya itu berada di ujung tanduk telah membuat pikiran Hendrik kalut. Secara tak sadar dia mendorong mereka berdua hingga masuk ke dalam gerbong penumpang.
Saat kereta hendak memasuki lorong yang gelap, bebatuan besar menggelinding dari bukit atas dan terjatuh menutupi lubang menuju lorong. Akibatnya kereta pun menabrak dan seluruh gerbong di belakangnya pun terguling ke samping, sebagian kaca jendela juga pecah setelah kereta itu tidak dapat bergerak lagi.
Hendrik, Albert dan Mina yang berada di dalam satu gerbong pun jatuh ke arah jendela yang sudah berubah posisi. Selang beberapa saat akhirnya Mina yang sempat pingsan itu terbangun dan melihat dua orang itu masih tak sadarkan diri dalam keadaan terluka.
Mina pun bergegas menghampiri Hendrik dengan penuh amarah setelah tahu dia mendapatkan kesempatan yang jarang dia miliki.
Mina mengambil pecahan kaca jendela dan di saat yang sama pula Hendrik terbangun dalam keadaan terkejut. Kedua matanya terbelalak kaget, menatap Mina yang sedang mengarahkan ujung pecahan kaca tepat di lehernya.
Napas yang menggebu-gebu, tatapan kebencian yang begitu dalam terlihat jelas di depan mata. Tangan gadis itu gemetaran entah karena alasan apa. Namun, Hendrik hanya diam dan perlahan mengubah ekspresinya yang tadi terkejut menjadi sedih.
Pria itu tidak lagi menatap sosok mantan kekasihnya, dia memilih menghindari seolah pasrah dengan apa pun yang akan dilakukan oleh Mina kepadanya.
“Lakukanlah. Ini kesempatanmu,” ucap Hendrik.
Dahi yang lebar itu tergores, bagian lengan dan kakinya terasa kebas dan sulit bergerak. Hendrik yang terbaring di sebelah kaca jendela yang pecah kini lebih terlihat seperti sedang menyodorkan leher di depan taring hewan buas di hadapannya.
"Ada apa denganku?" Mina bertanya-tanya dalam batin. Dia kebingungan karena tangannya yang gemetar dan berhenti bergerak di posisi itu.
Gerakan tangan yang sempat agresif dengan mengarahkan ujung pecahan kaca mendadak berhenti saat benar-benar akan mengenai pria itu. Mina pun terdiam cukup lama sampai akhirnya meneteskan air mata.
"Ibu, Ayah, Ema. Padahal kesempatan ini nggak akan datang dua kali, tapi kenapa aku tidak bisa melakukannya?" Sekali lagi dia sedang bertanya-tanya dalam batin. Mina sendiri tahu tidak ada jawaban atas pertanyaan itu.
“Kenapa tidak melakukannya?”
“Keluargaku meninggal di tangan kalian bertiga. Lalu bagaimana bisa aku membiarkan kalian?”
“Karena itu, kenapa kamu berhenti?”
***
Kecelakaan kereta api yang telah dibajak kini sudah diatasi berkat Guntur. Pada saat itu Mina sengaja menjatuhkan pecahan kaca dan tidak lagi menggebu-gebu seperti kesurupan sebelumnya.
Hendrik bertanya mengapa Mina tidak melakukan itu di saat kesempatan ada di tangannya. Namun, Mina tidak menjawabnya sama sekali. Dia hanya pergi keluar dari kereta itu dengan langkah sempoyongan.
Selain Mina, beberapa orang yang diutus oleh Guntur hanya menemukan satu pria di dalam kereta dan dia adalah Aldi yang sekarang sudah ditangkap untuk diinterogasi. Hilangnya Hendrik dan Albert masih dalam pencarian.
“Ke mana perginya mereka, Mina?” tanya Nindia.
Mina menggelengkan kepala dan menjawab, “Saya tidak tahu.”
Nindia menatap tajam, tatapan itu ditujukan untuk Mina yang mungkin telah melakukan sesuatu pada mereka.
“Saya nyaris menghabisi mereka, karena gagal saya pergi menyelamatkan nyawa saya sendiri,” ungkap Mina.
Nindia kemudian pergi menuju ke kereta itu.
Mina menghela napas sejenak dengan hati yang gelisah dia menatap kereta yang terguling dari kejauhan.
Dia mengingat kemarahannya sendiri pada mereka yang jelas Mina sendiri tidak dapat memaafkan para penjahat itu. Namun, setelah melepaskan amarah dan mengambil kesempatan itu untuk menghabisi mereka, yang seharusnya bisa dilakukan dalam sekejap mata, tapi semua amarah itu langsung lenyap seolah hanya lewat sebentar.
Notifikasi pesan di ponselnya muncul, seseorang mengirim pesan bersamaan dengan kedatangan seorang pria dengan syal hitam dari arah belakang.
[Sebenarnya tidak boleh ada orang yang tahu tentang keberadaan kami termasuk mereka.]
“Jadi, Anda akan membungkam saya?”
Pria dengan syal hitam itu menggelengkan kepala dan kembali mengetik sebuah pesan untuknya dibaca.
[Kecuali jika kamu memilih salah satu dari dua pilihan kami. Pertama, kamu harus merahasiakan ini sampai mati. Kami akan mengurungmu ke tempat yang jauh tanpa kebebasan. Lalu yang kedua, ikut bergabung dengan kami.]
Mina menghela napas lantas tersenyum. Lalu beberapa kali mengedipkan mata dan pergi meninggalkan stasiun tanpa menjawabnya.
Selangkah mundur ke belakang, mengingat kenangan lama yang tak mudah dilupa.
"Semoga kita tidak bertemu lagi, kak." Mina berharap dalam hatinya lantas berbalik badan dan pergi meninggalkan tempat itu.
Dari semua kenangan yang baik dan buruk saling bertumpang tindih. Nasib dan segala takdir manusia telah lama diatur. Namun, karena ketidaktahuan itu membuat seolah-olah manusia sendiri merasa sedang membuat takdirnya sendiri.
Keinginan yang egois akan membuat seorang manusia merampas banyak hal. Merenggut suatu hal yang berharga hanya demi hal yang berharga lainnya.
Mina berjalan pergi meninggalkan semua kenangan itu dalam keadaan sedih.
Sedih karena telah kehilangan keluarganya yang paling berharga dan sedih karena kehilangan perasaannya yang sama berharganya.
Rasa sakit yang gadis itu rasakan jadi semakin berlipat ganda. Tidak bisa ditampung hanya dengan beberapa tetes air mata. Hanya bisa diam sambil memendam itu dalam batin yang terluka.
Kehilangan telah membuat "balas dendam" menjadi penerangnya dalam duka. Namun, apa yang terjadi setelah dia membalaskan dendamnya? Mina sama sekali tidak pernah terpikirkan apa jawabannya.
["Mina, kenapa menutup teleponnya?"]
“Maaf, Lia.”
["Ya sudah. Bukan masalah karena yang penting kamu baik-baik saja."]
Akhir dari balas dendamnya tidak berjalan dengan baik. Segala rencana yang dibuat berhati-hati hingga mengungkap jati diri seseorang yang tak terduga pun pada akhirnya menjadi sia-sia.
["Mina, kamu serius ingin balas dendam?"]
Pertanyaan Lia yang secara tiba-tiba itu membuat Mina terkejut lantas terdiam sejenak. Panggilan masih terhubung, Lia menunggu.
Kemudian Mina memanggil nama sahabatnya itu dengan suara lembut sembari mengatur napas dalam-dalam lalu akhirnya tangis pun pecah.
“Aku ...nggak bisa ngelakuin itu, Lia. Aku nggak bisa balas dendam karena aku nggak bisa melihat orang yang kusuka juga menderita karena aku. Maaf,” ucap Mina dengan suara yang gemetar. Lututnya terasa lemas sehingga dia jatuh ke lantai.
“Kalau aku melakukan hal yang pernah dilakukan mereka pada keluargaku, bukankah sama saja aku seperti mereka?” lanjutnya yang masih menangis.
Hubungan timbal balik yang tak mengenal belas kasihan telah membuat hatinya kembali runtuh. Dalam sekejap penerangan yang hanya ada di atasnya kini mulai menerangi seluruh tempat di sekitarnya.
Lia tersenyum seolah telah lama menunggu jawaban Mina yang seperti itu. Dia pun merasa bersyukur karena Mina telah menyadari hal terpenting baginya saat ini, yaitu dirinya sendiri.
Mengubah pribadi menjadi lebih baik adalah balas dendam yang terbaik. Rela memaafkan bukan berarti dia seorang pengecut, tapi juga bukan lemah, melainkan bijak.
Terlepas semua hal yang telah terjadi, Mina melepaskan balas dendam yang telah lama membelenggunya.