Tanpa pikir panjang Dalisha langsung pergi ke rumah sakit tempat di mana Kala berada. Dengan menarik mobil yang ia kendarai sendiri. Ia beberapa kali menyalip mobil yang ada di depannya, karena ingin cepat sampai menemui Kala. Ada rasa bersalah yang mengerogoti hatinya saat ini.
Disisi lain Kala menatap Banu yang kini sedang menyuapinya. Banu gemas dengan. Kala yang tidak mau makan. Bagaimana akan sembuh jika makan saja malas?
"Udah, aku udah kenyang," ucap Kala. Ia menolak suapan yang diberikan Banu.
"Satu lagi. Ini terakhir lho." Kala menggeleng.
"Nanti nyariin kalo ga dimakan. Ayo satu suap lagi ya?" Dengan terpaksa Kala menerima suapan terakhir dari Banu. Setelah itu, Banu memberikan minuman pada Kala.
"Oke sip selesai. Makan udah, minum obat juga udah."
"Tos dulu dong!" kata Banu. Kala memingikuti perintah Banu. Banu pun mengusap kepala Kala. Kala tersenyum malu-malu.
Tidak butuh waktu lama hanya sekitar tiga puluh menit Dalisha sampai di rumah sakit. Kini, ia berada tepat di depan pintu kamar Kala dirawat.
Ketika membuka pintu berharap putri nya sedang tertidur ditemani Aksa. Namun, yang ia dapati justru Banu. Anak laki-laki itu sedang duduk menemani Kala.
'Tolong hilangkan pikiran negatif itu, Dalisha!' monolog Dalishq dari dalam hati. Sebenarnya ia ingin mengusir anak itu, tapi setelah ia ingat jika mereka tidak bersalah, ia pun mengurungkan niatnya itu.
"Assalamualaikum.."
Banu yang mendengar suara Dalisha lantas memutar tubuhnya. Banu pun berdiri dari kursinya. Banu tersenyum getir, ia melirik Kala yang dirinya yakin Kala merasakan hal yang sama.
"Wa—waalaikum salam.." jawab Kala dan Banu secara bersamaan.
Dalisha tersenyum pada Banu. Banu dengan ragu menyalami Dalisha, beruntungnya Dalisha mau. Ia tahu apa yang dirasakan Banu. Anak itu pasti takut pada dirinya. Dalisha lantas mengusap punggung Banu. Ketika itu, ia melihat sertifikat olimpiade milik Kala yang berada di nakas. Kini, Dalisha melangkah mendekati Kala.
Ia tiba-tiba saja membawa tubuh Kala ke dalam pelukannya. Air mata meleleh dipipi nya. Dada Dalisha bergemuruh ia merasa sangat bersalah pada anak keduanya. Karena, bisa-bisa dirinya percaya dengan foto kiriman dari seseorang yang ia sendiri tidak tahu siapa pengirimnya. Dalisha mengusap punggung dan kepala Kala berkali-kali. Sebelum berkata, menyeka air mata yang mengalir pada pipinya. Melepas pelukannya. Ia menatap wajah Dalisha.
"Maafin bunda ya, sayang."
"Maaf karena bunda udah terlalu jahat sama kamu. Bunda gak mendengar penjelasan dari kamu. Bunda egois."
"Bunda—"
"Bunda lebih mendengarkan orang lain daripada anak bunda sendiri."
Kala mengangguk kecil. "Maafin Kala juga, bunda. Kala harusnya dengerin kata Bunda. Tapi, Kala malah bantah itu."
Kala terdiam. Ia menatap Dalisha. Di dalam kepalanya sebenarnya ingin menumpahkan semua emosi yang ada pada pikiran serta dadanya. Namun, nyatanya ia tidak mampu tidak ada kata yang keluar sedikitpun dari mulutnya. Mulutnya seakan terkunci.
"Selamat ya sayang. Selamat atas juara satu lombanya," lirih Dalisha.
Ia kembali memeluk tubuh Kala. Sebenarnya Kala sejak tadi menahan air mata. Tetapi, pertahanan itu runtuh. Air matanya pun luruh. Kala membalas dekapan sang Bunda, memeluknya dengan erat. Merasakan kehangatan yang selama ini ingin ia rasakan saat melihat Aksa atau Ara yang dipeluk oleh Dalisha. Jujur saja dari ketiga anak Bunda, hanya Kala yang tidak pernah merasakan kehangatan dipeluk sang Bunda.
"Maafin Bunda ya, sayang. Izinkan bunda memperbaiki semuanya."
Ucapan Dalisha membuat bibir Kala melengkung tersenyum. Sebab baru kali ia ini ia diapresiasi.
Baru kali ini ia merasa keberadaannya dianggap ada. Meski sebenarnya ia ragu dengan perkataan sang Bunda, ia masih takut apakah setelah ini semua akan baik-baik saja. Tapi, setidaknya ada sedikit harapan yang mengobati luka-lukanya.
Usai memeluk Kala. Dalisha menatap Banu, ia pun lantas memberikan pelukan juga untuk Banu. Ia menatap wajah anak itu, ia memegang pundak Banu.
"Maafin tante ya, Banu." Banu mengangguk kan kepala.
Di tempat lain Ghani masih menunggu Vira di luar ruang guru. Sementara Vira masih terdiam diposisinya sambil terus menangis. Merasa sengsara oleh keadaan. Bu Sesil masih sibuk dengan laptop dan printnan. Ia sedang menyiapkan surat panggilan untuk orang tua Vira.
"Ibu sangat kecewa dengan perilaku kamu, Vira."
"Kamu hampir sama membuat Banu dan Kala batal ikut olimpiade. Dan kamu membuat Kala sampai jatuh sakit!"
"Ibu maaf saya menyesal," ucap Vira dengan suara pelan.
"Jangan minta maaf ke ibu. Minta maaf ke orang yang udah kamu sakitin," lanjut Bu Sesil yang kebutulan wali kelas Vira.
Bu Sesil pun duduk pada bangkunya. Ia sudah selesai mencetak surat panggilan untuk orang tua Vira. "Ini, kamu berikan pada orang tua kamu. Dan setelah itu, kemungkinan kamu akan diskors sampai tiga hari," jelas Bu Sesil.
"Ibu.." keluh Vira. Hatinya gua dah gulana, perasaanya tidak tenang. Bagaimana mungkin ia memberikan surat itu pada orang tua nya?
"Ada yang mau ditanyakan lagi, Vira?"Vira mengelenggkan kepala. Selepas itu, ia pun langsung terdiri dari kursinya dan pamit dengan Bu Sesil.
***
Vira keluar dari ruang guru, ternyata ia di sana masih ada Ghani yang menunggunya. Ghani menlihatnya ia melambaikan tangan supaya Vira menghampirinya. Mau tidak mau Vira menurut, ia duduk di samping Ghani, namun tiada kata yang ia sampaikan. Vira memilih bungkam seribu bahasa saat Ghani menanyakan apa yang terjadi.Vira hanya bisa menyerahkan surat yang ia pegang.
Vira kembali terdiam rasanya ia begitu sulit untuk menelan air liurnya sendiri. Ada perasaan gugup dan takut yang membayanginya. Ia mulai sadar bahwa apa yang dilakukan salah. Seharusnya ia bisa mengendalikannya dirinya sendiri. Vira masih terdiam dengan tatapan kosong. Ghani pun menjentikkan jari supaya Vira sadar dari lamunannya.
"Ayo kita pulang Vir," ajak Ghani tanpa mau menghakimi.
Sebenarnya Ghani sungguh ingin marah pada Vira ia sungguh kecewa. Namun, ia tahu ini bukan waktu yang tepat. Vira pasti butuh menenangkan pikiran. Ghani takut kalau ia menambahi pikiran Vira semakin berkecamuk. Ghani mengandung tangan Vira sepupunya itu. Vira hanya mrnurut tanpa penolakan. Mereka menuju perjalanan pulang dengan Ghani yang mengendarai motor.
"Ghani," kata Vira lirih.
"Iya?" jawab Ghani.
"Menurut lo gua salah ya?" tanya Vira disela perjalanan menuju rumah.
Ghani tak menjawab, ia hanya melirik Vira dari kaca spion motor. Vira beberapa kali menyeka air mata yang hampir jatuh dipelupuk matanya. Wajah Vira sudah sembab. Ghani memutuskan untuk pergi ke taman sebelum pulang ke rumah.
"Kok ke sini Ghani?" tanya Vira bingung.
Ghani lagi-lagi tidak menjawab pertanyaan Vira. Ia memilih mengengam tangan Vira setelah cewek itu turun dari motor. Mereka menuju danau yang berada di taman kebetulan lokasi danau sepi dari pada lokasi taman. Jadi, Ghani memilih tempat tersebut supaya orang-orang tidak semakin terang-terang mengamati wajah Vira yang sembab akibat menangis.
Sampai di tepi danau di sana ada tempat duduk beli. Ghani dan Vira pun duduk di sana. Suasana lumayan sepi hanya ada beberapa orang dengan jarak yang lumayan jauh dari mereka berada.
"Vir, gua kalo lagi sedih datengnya ke sini."
"Dulu waktu kecil sebelum Ayah sama Bunda gua memutuskan untuk berpisah. Mereka sering ajak gua ke sini."
"Dulu suasana di tempat ini rame banyak orang jalan, banyak wahana air juga. Dan di sana tempat sewa perahu." Ghani menuju pada sebuah gubuk kecil yang sudah reyot yang dipastikan itu adalah tempat sewa perahu.
"Jadi, gua ajak lo ke sini supaya lo bisa menumpahkan kesedihan lo di sini. Lo mau teriak, lo mau lepar batu kerikil ke danau itu boleh Vir. Yang penting rasa sedih lo hilang," jelas Ghani.
Vira mengeratkan tangannya. Ia melainkan kuku jarinya. "Makasih Ghan. Makasih udah peduli sama gua."
Ghani mengganggu lantas tersenyum ia merangkul pundak Vira. Dan Vira pun kepalanya bersandar di pundak Ghani.
"Ghan, lo belum jawab pertanyaan gua," cecar Vira tiba-tiba.
Ghani tercekat dibuatnya lidahnya merasa kelu. Mau tidak mau ia harus mengatakannya pada Vira, walaupun itu menyakitkan.
"Gua sebenarnya ga nyangka banget kalo lo gitu, Vir. Gua pikir foto yang gua liat di HP lo itu cuma buat koleksi pribadi lo."
"Kalo tau kejadiannya kaya gini. Bakal gua apus foto itu, Vir," ujar Ghani ia memandang lurus.
"Tapi nasi udah jadi bubur Vir. Yang lo lakuin adalah kesalahan, karena udah masuk ketindakan bullying dan fitnah," lanjut Ghani.
"Terus gua harus apa?" resah Vira.
"Hadapin apapun itu resikonya, Vir. Cuma itu yang bisa lo lakuin sekarang," pungkas Ghani.
"Tapi, gua takut Ghan," lirih Vira.
Ghani meraih pergelangan tangan Vira. Ghani berkata, "Gua ada di sini Vir. Jangan takut. Semua akan baik-baik aja."
"Setiap orang pasti punya kesalahan. Gak ada yang perlu ditakutkankan. Masalah gak perlu dipermasalahkan cuma butuh dihadapi dan dilewati. Karena, itu yang buat kita semakin kuat," terang Ghani. Vira tersenyum tipis setidaknya ia bisa sedikit bernapas lega.
"Makasih ya, Ghani. Lo emang sepupu terbaik gua! Kalo gak ada lo gua gak tau harus gimana."
Ghani tersenyum. Ia mengusak pucuk rambut Vira. "Makasih juga Vir. Udah ngebolehin gua untuk hadir tengah-tengah keluarga lo. Kalo gak ada keluarga lo yang nampung anak broken home gak tau arah ini. Gua gak tau harus kemana."
"Sorry, gua ngerepotin lo, Ayah dan Bunda lo terus."
Suasana mendadak menjadi semakin melow setelah Ghani menyatakan itu. Vira memeluk erat Ghani.
Ghani tinggal satu rumah dengan Vira. Ibu Vira merupakan tante Ghani. Ayah dan Ibu Ghani berpisah saat Ghani memasuki sekolah tengah pertama. Dan mereka sudah punya keluarga masing-masing. Sementara Ghani tidak tahu harus pergi ke mana. Ayah dan Bunda Vira pun merasa iba jadi, Ghani tinggal dengan keluarga Vira.
Terkait permasalah Vira sebenarnya Ghani sendiri pun terkejut terkait masalah Vira. Apalagi sebelum ia tahu kasus tersebut. Vira memberinya uang, ia pikir itu adalah uang tutup mulut dari Vira supaya Ghani tidak memberitahu orang lain jika Vira menyukai Banu. Ketika Ghani memergoki Vira memperhatikan foto Banu dan Kala dari ponselnya.