Banu menatap wajah Kala dengan perasaan campur aduk. Ia sangat khawatir dengan keadaan Kala sampai-sampai ia seperti ini. Tanpa Banu sadari Kala mulai membuka matanya.
"Aaaaa!!!" teriak Kala yang terkejut melihat wajah Banu tepat di atas wajahnya. Kala langsung bangun dan tidak sengaja Banu mencium kening Kala ketika Kala bangun dari posisi tidur.
"Waaaa!" Kala kembali berteriak saat tahu keningnya tidak sengaja dicium oleh Banu.
Banu lantas menutup mulut Kala takut dikira sebagai penjahat. Karena beberapa orang pengendara motor yang melewati halte melihat ke arah mereka dan kebetulan hujan sudah reda jadi jalanan sudah sedikit lebih ramai daripada saat hujan tadi.
"Kamu?!" ucap Kala menatap tajam Banu.
"Sorry.. gua gak sengaja," kata Banu sambil menyatukan kedua tepak tangan tandan meminta maaf.
"A-ara mana?" Kala tidak menggubris ucapan Banu. Ia justru menanyakan di mana keberadaan Ara-adiknya.
"Adek lo udah dianterin pulang sama Andra. Tadi nyokap lo telepon suruh minta cepet antar Ara pulang."
Mendengar perkataan Banu, Kala kemudian lantas berdiri untuk segera pulang juga. Tapi, tubuhnya menolak ia justru sempoyongan ketika berdiri. Banu yang melihat itu sigap memegang tubuh Kala.
"A-aku harus pulang," lirih Kala.
"Duduk dulu Kal. Lo belum benar-benar pulih. Nanti gua antar Lo pulang."
Kala masih sedikit pusing akibat terkena guyuran hujan yang lebat. Terlebih sejak istirahat pertama di sekolah perutnya belum diisi kembali oleh makanan.
"Lo gak apa-apa?"
"Ini diminum dulu terus makan rotinya sedikit. Muka Lo pucet banget soalnya," ujar Banu.
Mendengar ucapan Banu manik mata Kala sedikit berair. Ia terkesima, ternyata masih ada orang yang peduli terhadapnya dan menganggap jika dirinya ada di dunia ini.
'Kala, lo waktu itu nolongin gua sekarang kita gantian,' monolog Banu dalam hati.
Ia membuka 'kan bungkus roti cokelat pada Kala setelah ia minum air mineral. Dan Banu melepaskan jaket denim yang ia gunakan, kemudian mengenakannya di tubuh Kala.
"Eh... Engga usah..." tolak Kala
"eem... Siapa nama kamu, maaf aku lupa," jawab Kala polos.
Banu tertawa renyah sudut bibirnya tersenyum dengan gemas mendengar ucapan Kala.
"Gua Banusastra. Lo bisa panggil gua Banu," tutur Banu mengulurkan tangan tanda perkenalan.
"Kala segera menelan rotinya. Dan membalas uluran tangan Banu. Aku Arumi Nasha Anikala. Biasa dipanggil K-"
"Kala," sambung Banu seketika. Kala menolehkan pandangan ke arah Banu. Banu pun seketika tersenyum.
"Udah mau jam lima sore nih, Kal. Gua antar Lo pulang ya," ajak Banu. Ketika sudah melihat Kala selesai memakan roti dan terakhir meminum air mineralnya.
"Ayo boleh, sastra. Eh... Banu maksudnya."
***
"Makasih ya, sastra. Eh, Banu maksudnya," tutur Kala.
"Sama-sama, Kal. Gua pamit ke rumah Andra ya. Lo sehat-sehat ya, Kal." Kala hanya mengangguk kan kepala. Setelah Banu pergi Kala memasukkan sepeda motornya ke dalam garasi rumah.
"Bagus. Tau pulang juga Lo!" sindir Aksa.
Kala yang masih memarkirkan motor menoleh ke sumber suara. Dilihatnya Aksa sudah berdiri diambang pintu garasi rumah dengan kedua lengan melipat di depan dada.
"Enak ya pacaran. Terus temen pacar Lo itu disuruh anter Ara pulang, gitu?" Kala mendengar ucapan Aksa melotot dibuatnya.
"Ditelepon ga diangkat di chat ga di balas. Mendingan HP Lo, Lo jual aja. Punya HP kaya ga punya HP!" Kala otomatis langsung mengecek ponselnya. Dan ternyata ponsel kehabisan baterai, pantas saja ia tidak mendengar jika ada yang menelepon.
"Gua aduin bunda!"
"Bun... Bunda... Kala nih!"
Aksa melangkah lebar Kala berusaha meraih lengan Aksa. Ketika sudah berhasil meraih lengan Aksa-abangnya. Tangan Kala justru ditepis. Tanpa perlu Aksa berteriak berkali-kali, Dalisha sudah muncul dari dapur menatap Kala penuh emosi.
"DARI MANA AJA KAMU KALA! KAMU TAU GARA-GARA KAMU ARA JADI DEMAM!"
"BUKANNYA ANTERIN ARA PULANG MALAH ENAK-ENAK PACARAN!"
PLAK!
Satu tamparan tiba-tiba menghampiri pipi Kala. Ia sangat terkejut, sebab ini pertama kali ia mendapat perlakuan itu dari Dalisha.
"KENAPA MAMA TELEPON GAK DIANGKAT? ASIK YA PACARANNYA?!"
"KAMU DIAJAK NGOMONG ORANG TUA KOK DIEM AJA. KENAPA?"
"Kala ga pacaran ma... HP Kala baterainya abis ma. Dan Kala ga pacaran kok, ma. Itu teman Kala, tadi bensin motor Kala abis. Jadi Ara dianterin pulang sama Andra tetangga sebelah rumah kita," jawab Kala.
"OH GITU, UDAH PINTER BOHONG SEKARANG? MAKIN GEDE MAKIN PINTER BOHONG?!"
"KAMU PACARAN KAN? BUKTINYA TADI KAMU DIANTERIN TUH. SAMA COWOK TADI."
"Kala gak bohong kok, ma."
"BAGUS MAKIN GEDE MAKIN PINTER NGEJAWAB JUGA YA."
Benak Kala terasa teriris mendengar kalimat itu keluar dari mulut sang mama. sudah merasa muak dengan semuanya. Dada Kala terasa sesak, namun ia berusaha untuk tidak mengeluarkan air mata untuk terlihat baik-baik saja. Ia tidak ingin Aksa dan mamanya tahu jika ia sedang menutupi rasa sakitnya.
"Maaf ma, Kala pamit ke kamar."
"KAMU MAU KE MANA? MAMA BELUM SELESAI NGOMONG MALAH DITINGGAL KE KAMAR."
"LIHAT AKSA KELAKUAN ADEK KAMU."
Kala mendengar ucapan Dalisha. Tapi, Kala tetap melangkah kaki menuju kamarnya yang terletak di lantai dua. Sesegera mungkin masuk ke kamar dan menguncinya dari dalam. Ia pun menelungkan kepala di atas meja belajarnya. Menanggis sejadi-jadinya dan menyendiri.
'Anak pertama kebanggaan, anak terakhir kesayangan, anak tengah babu.'
Kala mencengkeram rambutnya frustrasi. Jika Aksa juara umum sekolah maka Kala harus bisa mengimbanginya, jika Ara terjatuh saat bermain maka Kala disalahkan, Jika Kala sakit maka Aksa dan Ara tidak peduli. Tidak ada yang peduli dengannya bahkan orang tuanya sendiri.
Dalisha tidak menanyakan mengapa Kala baru pulang, mengapa bisa Ara di antara oleh Andra, dan Dalisha bahkan tidak tahu kejadian yang sebenarnya. Kala menghembuskan napas kasar. Ia terkekeh sambil memeluk dirinya sendiri. Ia, hanya punya dirinya sendiri.
Kala mendongak menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Dan ia masih mengenakan seragam sekolah. Ia melepaskan jaket denim yang dipinjamkan Banu. Kala berjalan ke arah pintu kamar yang mengarah ke balkon kamar. Membuka membuka pintu tersebut untuk sekadar menatap langit malam yang kebetulan sedang bulan purnama dengan beberapa bintang yang menghiasinya. Karena suasananya masih sedikit menyedikan jadi Kala melanjutkan untuk menangis
***
Banu membuka pintu kamar Andra yang berada di lantai dua. Ia ingin mengambil ponsel untuk menghubungi Harsana-bundanya. Mengabari jika hari ini ia menginap di rumah Andra. Sudah biasa bagi Banu untuk menginap di rumah Andra begitu pun sebaliknya, jika salah satu dari mereka hanya sendiri di rumah.
Selesai mengirimkan pesan pada Harsana. Banu terdiam sejenak. Karena ia mendengar suara seseorang sedang menangis, nangisanya terasa sangat menyayat hati. Tiba-tiba saja bulu kuduk Banu berdiri, ia merinding sendiri. Merasa penasaran Banu melangkah kaki membuka pintu balkon kamar. Dan ia mendapati seorang gadis bernama Kala yang masih mengenakan seragam putih abu-abu sedang menangis di balkon kamarnya. Mata Banu mengamati pergerakan Kala.
"Gimana keadaan Lo? Udah mendingan?" tanya Banu yang hari ini sengaja menginap di rumah Andra.
Kebetulan Andra yang meminta Banu untuk menginap dengan alasan ia sudah masak banyak tapi, ayahnya ternyata pergi keluar kota dan tidak ada yang menghabiskan masakan Andra nanti.
Kala menautkan kedua alisnya. Ia berprasangka jika dirinya sekarang sedang kesepian dengan alasan ia mendengar suara Banu-cowok yang sore itu menolongnya. Kala mengusap wajah kasar karena sudah tiga kali ia mendengar suara Banu seperti berputar di dalam pikirannya. Sementara itu, Banu yang sudah sedikit emosi memanggil-manggil nama Kala tapi ia tidak kunjung melihat ke arahnya. Banu pun membuka ponsel dan menyalakan flash di ponselnya. Mengarahkan pada Kala supaya cewek itu sadar jika ia sudah berkali-kali memanggil namanya, namun tidak kunjung direspon. Seketika Kala menoleh ke arah kiri tempat di mana Banu memainkan flash dari ponselnya.
"BANU?!" teriak Kala terkejut, namun Kala langsung menutup mulut dengan kedua telapak tangan. Takut teriaknya didengar oleh mamanya.
Banu melambaikan tangan dari seberang balkon kamar Kala. Membuat Kala tiba-tiba tersenyum senang. Melihat raut wajah Kala yang mendadak senang. Banu tahu jika Kala sedang tidak baik-baik saja.
"Kenapa? Kok masih pakai seragam sekolah?"
"Gak apa-apa," jawab Kala. "Kamu sendiri kok juga belum ganti baju?" tanya Kala yang berusaha mengalihkan pembicaraan.
Bukannya menjawab pertanyaan dari Kala. Banu malah melihat ke arah bawah. Ia pun bersiap untuk menaiki tralis balkon kamar Andra dan berpegangan pada besi balkon kamar Kala yang letaknya hanya tiga puluh sentimeter dari kamar Andra. Hanya butuh sekali lompat ia sudah berada di balkon yang sama dengan Kala. Kala otomatis memundurkan tubuh saat Banu hampir menabrak tubunya.