Banu menghela napas panjang saat baru saja sampai di rumah. Ia pun segera turun dari motor yang sudah terparkir di garasi. Kemudian Banu melenggang masuk ke dalam rumah. Suasana sepi sudah menjadi makan sehari-hari bagi Banu.
Tanpa suara, tanpa tawa.
Banu pun menaiki tangga menuju lantai dua—tempat kamarnya berada. Baru saja hendak memegang knop pintu kamarnya. Suara kecil memanggil namanya dari bawah. Terdengar langkah kecil seseorang menaiki tangga.
"Abang... Abang. Abang Banu..."
Terlihat lah seorang anak perempuan berusia enam tahun berlari sambil memegang sebuah boneka beruang yang masih dibungkus plastik.
"Iya, kenapa Naya?" tanya Banu seramah mungkin.
"Abang, Naya mau nanya."
"Papa abang, mana?"
Kening Banu berkerut. Ia pun lantas berjalan melihat ke lantai bawah untuk melihat apakah ada Pradipta atau tidak. Pradipta sedang disibukkan oleh beberapa goodie bag yang Banu sangat yakni itu berisi main baru untuk Naya. Kemudian, selepas melihat Pradipta yang berada di ruang tamu. Banu kemudian berjongkok agar sejajar dengan tinggi adik tirinya itu.
"Papa ada di bawah, Naya."
Seketika raut wajah Naya berubah seakan marah. Naya pun mengelengkan kepala kuat. Seolah marah.
"Engga! Itu bukan Papa abang! Itu papa Naya!" kelakar Naya. Dan ia pun lantas menghempas tangan Banu dari lengannya. Dan pergi menuruni tangga.
Banu hanya bisa mengelengkan kepala dan menarik napas dalam. Dan kemudian ia masuk ke dalam kamar. Melangkah menuju jendela kamar. Ditatap langit senja yang sedikit mulai mengelap, karena mendung. Banu suka melihat warna langit ketika senja. Sebab, begitu damai dan menenangkan hati dan pikiran Banu meskipun hanya sebentar.
Banusastra berdecak singkat saat teringat kembali perkataan Naya-adik tirinya. Naya masih terlalu dini untuk bisa mengerti dan memahami maksud dari ucapannya terhadap Banu. Maka dari itu, yang umurnya lebih tua harus bisa memahami.
Usai Naya pergi, Banu terdiam cukup lama. Ia berkecamuk dengan pikirannya sendiri. Setelah merasa cukup membaik, Banu berdiri dan mengambil handuk yang tergantung di belakang pintu. Seragam sekolah yang ia pakai sejak pagi belum sempat ia ganti. Bergegas Banu memutuskan untuk mandi dan membersihkan diri.
Selepas mandi serta menganti pakaian, Banu merebahkan tubuh di tempat tidur. Menatap langit-langit kamar yang sudah meremang, karena lampu kamar sudah ia matikan yang tersisa hanya cahaya lampu tidur.
Sepi dan sunyi suasana rumah Banu. Pradipta-Ayah tiri Banu, Harsana-Mama kandung Banu dan Kanaya atau Naya. Sedang pergi keluar mencari angin malam atau lebih tepatnya jalan-jalan malam. Banu sebenarnya diminta untuk ikut, namun Banu lebih memilih untuk di rumah saja.
Banu sudah tidak bisa lagi untuk berpura-pura terlihat baik-baik saja melihat Harsa bersama Pradipta. Ada luka yang tertoreh begitu dalam di sana yang belum bisa disembuhkan—ketika melihat kebersamaan Pradipta dengan Harsa bahkan Naya.
Perasaan Banu hampa. Kini, hanya dirinya yang ia punya. Meski ia memiliki sahabat yang selalu ada, tetapi Banu tidak ingin apa yang menjadi masalahnya bahkan bebannya ia bagikan kepada teman-temannya. Jadi, ia tidak boleh beban dipundak mereka dengan berbagi keluh kesahnya. Karena, semua memiliki masalah, dan keluh kesahnya tak perlu dibagi cukup dirinya saja yang mengetahui.
Banu menarik napas dalam, lalu memejamkan mata. Ia rindu Riznan-Ayah kandungnya-yang kini sudah bahagia di surga. Banu meneteskan air mata secara tiba-tiba tanpa bisa ia duga. Beruntungnya ia sedang berada di kamar sendirian bukan ketika bersama teman-temannya.
Hati Banu begitu rapuh. Kini memori-memori indah bersama Riznan pun menyeruak begitu saja. Rasanya terlalu cepat rona kebahagiaan yang ia miliki saat itu. Memiliki keluarga utuh dalam arti keluarga bahagia bagi beberapa orang.
Dalam kesunyian, semesta seolah menamparnya. Ada duka yang terus-menerus tersalurkan ketika Banu dalam keheningan. Di antara harapan hidup yang mengawang. Ia yang ternyata tak pernah benar-benar pergi. Ia datang kembali setiap kali Banu terdiam dalam hening.
Suara-suara tahlil dan yasin kala itu seakan berputar menyeruak ke dalam memori kepedihan.Sejak januari tahun itu. Banu kehilangan tempat dan arah tujuan untuk sekadar berkeluh kesah berbagi kebahagiaan. Dunia kebahagiaan Banu rutuh seketika ketika kehilangan sosok yang menjadi inspirasinya telah pergi untuk selamanya.