Pernikahan mungkin adalah hal yang indah. Itulah yang dulu wanita itu percayai saat menyerahkan sepenuh hatinya pada seorang pemuda yang bahkan belum lulus SMA. Mereka belum lulus SMA, dihinggapi cinta besar yang menggebu-gebu, nyaris menabrak selusin aturan. Saat ibu si pemuda akhirnya memutuskan untuk menikahkan mereka segera setelah lulus—bahkan belum menerima ijazah—dia lega. Akhirnya, dia bisa lari dari belenggu bapaknya yang otoriter dan keras—yang sedikit-sedikit tak segan menghajarnya—juga dari rumah sumpek yang terlalu banyak penghuni.
Cinta di masa-masa itu memang indah, seolah hanya dengan itu, badai apa pun bisa dilewati. Suaminya merupakan putra dari keluarga yang cukup berada di kota kecil tersebut—usaha orangtuanya berdagang sembako melejit sukses. Maka, pasangan muda itu tak perlu mencari kerja ke sana kemari. Orangtua si suami—mertuanya—memberi modal untuk membuka toko di rumah.
Semua berjalan mulus, awalnya. Pernikahan yang indah, seperti ekspektasinya. Mertua yang baik, suami yang—walau kadang masih kekanakan—setidaknya bisa memberinya uang. Walaupun, dia menyadari, sang suami lebih sibuk tidur dan main PS, jarang membantunya mengelola toko. Tak mengapa, dia masih maklum. Mereka masih begitu muda. Dan biar bagaimanapun, ini semua pemberian orangtua suaminya.
Dua tahun kemudian, lahirlah putri cantik mereka. Raina. Mata sipit dan lesung pipi bayi mungil itu meluluhkan hati siapa saja. Desas-desus tentangnya yang menikah muda karena hamil duluan pun lenyap. Nyatanya memang tidak begitu. Dia dan suaminya menikah karena saling cinta.
Dan waktu bergulir. Roda berputar. Takdir kehidupan berganti. Yang di atas tidak akan selamanya di atas, yang di bawah perlahan bangkit, jika terus mengayuh tanpa goyah. Begitulah nasib membenamkan ekspektasinya. Usaha sang mertua bangkrut. Tak menunggu lama, usahanya di rumah menyusul. Modal tidak kembali, semua digunakan untuk bertahan hidup. Tabiat sang suami yang memang dasarnya pemalas, tetap tak tergerak meski menyaksikan kehidupan mereka berderak retak.
Umurnya baru dua puluhan awal saat itu, belum terlalu matang untuk mengemban peran sebagai istri, apalagi ibu. Kesulitan hidup yang tiba-tiba membuat emosinya mudah tersulut. Pertengkaran hampir setiap hari terjadi, sementara suaminya masih tak mau apa-apa. Alih-alih mulai bekerja, lelaki itu malah sibuk menjual sisa-sisa barang yang masih bisa dia jual—kursi meja tamu, lemari jati, sampai emas terakhir milik sang istri.
Dia mungkin memang belum siap menjadi seorang ibu. Namun, naluri keibuan tak perlu menanyakan siap atau tidakkah seseorang. Bahkan sejak Raina masih dalam bentuk janin, keinginan untuk melindungi dan memberi yang terbaik padanya sudah tumbuh. Bingung dan geram karena tingkah sang suami, tak peduli akan seperti apa rumah tangganya—atau bahkan putrinya yang kala itu masih balita—dia memutuskan pergi.
Merantau ke kota besar adalah pilihan satu-satunya yang terbetik di pikirannya kala itu. Mungkin gajinya lebih tinggi, dan yang terpenting, dia tidak akan melihat hidung suaminya yang selalu membuatnya meradang. Berat hati, dia meninggalkan Raina kecil yang diasuh kedua mertua. Saat itu bercerai belum terpikirkan olehnya. Dia masih memiliki setitik harapan untuk bertahan.
Satu bulan sekali, dia pulang untuk melepas rindu pada Raina yang tak mengenalnya. Balita itu takut pada sang mama. Terkoyaklah hati perempuan itu. Dia melakukan semua ini demi putrinya, bukan? Suaminya—dia sangka akhirnya berubah juga—mau bersusah-susah jadi tukang ojek. Tak mengapa. Dia sudah cukup senang.
Musim berganti. Tahun bergulir. Dia mulai merasa lelah. Kerja siang malam, tapi gajinya habis hanya untuk mencukupi kebutuhan. Suaminya, si pemalas, sudah bosan bekerja. Lelaki itu merasa aman mengandalkan istrinya.
Geregetan, dia nekat mendaftarkan diri ke PJTKI—mengemis-ngemis modal pada bapaknya yang ganas. Tidak ada yang bisa dia harapkan bagi lulusan SMA di negeri ini. Gajinya secuil, kerjaannya tiada habis. Tak menunggu lama, karena dia bersemangat dan masih muda—mudah saja belajar bahasa—dia dapat panggilan. Hongkong adalah tempat menetapnya untuk dua tahun ke depan.
Dia dan suaminya resmi berpisah, meski belum mengurus perceraian. Rumah tangga itu tergantung-gantung tanpa kepastian, demikian lamanya. Raina dipindah tangankan pada ibu dan bapaknya—mungkin menjalani didikan penuh kekerasan sama seperti dia dulu. Dia tidak pernah mengharapkan itu. Akan tetapi, dia tak punya pilihan. Setiap bulan, dia mengirim uang untuk Raina, untuk orangtuanya. Dia tak mau peduli lagi pada nasib sang suami—lelaki itu saja tega menjadikannya tulang punggung yang kepayahan begini.
Bergelut dengan kesabaran, meringkuk dengan tangisan di malam-malam yang selalu terasa panjang—meratapi nasibnya, merindukan putrinya—dia menegarkan hati. Setiap dua tahun dia kembali ke tanah air, berharap putrinya yang terus tumbuh tanpa pernah dia dampingi, menyambutnya dengan hangat. Memeluknya, berterimakasih padanya.
Namun, dia tak pernah menerima itu semua. Rainanya, setiap kali ikut menjemput di bandara, hanya menatapnya asing—berjarak saat dia mendekat, menjawab seadanya saat dia bicara. Dia selalu merasa kecewa pada dirinya sendiri. Dia marah sekali pada sang suami. Tapi, yang paling membuatnya pedih adalah karena sejujurnya, dia sudah tahu sejak awal, pengorbanannya akan dibayar dengan hal ini—kehilangan Raina.
Sekarang, di umurnya yang menginjak empat puluh, saat seharusnya luka tentang mantan suami sudah lebur dan jauh terkubur, dia tetap merasa terhantui. Melihat Raina beranjak dewasa menumbuhkan rasa bangga sekaligus perih di dadanya. Bangga, karena nyatanya dia bisa membesarkan sang putri seorang diri—tumbuh melebihi ekspektasinya, cantik, bahkan bisa berkuliah. Perih, karena menyadari di dalam darah gadis itu juga mengalir darah sang mantan suami, yang kini menjadi orang yang paling dia benci. Menatap Raina selalu mengingatkannya pada lelaki tak bertanggungjawab itu.
Dia masih bergumul dengan perasaannya. Masih kecewa karena ekspektasi pernikahannya yang indah, kandas—sebab pasangannya tak mau bertumbuh. Tanpa dia sadari, ekspektasi itu dia bebankan pada Raina. Dia jadi sangat selektif dan selalu ingin tahu berlebihan siapa yang jadi pacar putrinya. Obesesinya untuk menjauhkan Raina dari pemuda-pemuda seperti bapaknya begitu kuat.
Di sisi lain, merasa berkuasa atas Raina karena dialah yang bersusah payah membesarkan anak itu, dia juga terobsesi mengatur semua hal tentang Raina. Harus kuliah apa, harus jadi apa, harus berpenampilan seperti apa. Muaranya hanya satu—agar sang putri bernasib mujur, mendapat pasangan yang tepat—tidak seperti dirinya.
Dia tidak pernah tahu Raina keberatan dengan itu semua. Sejak dulu, Raina kelihatan menurut-menurut saja. Tidak pernah protes, tidak pernah mengeluh. Ya, dia akui, dia memang tidak pernah bertanya apakah Raina bahagia dengan perlakuannya. Sampai tadi, saat gadis itu menumpahkan semua. Hatinya terasa bagai ditusuk belati. Kenyataan yang selama ini disangkalnya, menyeruak, dia sadari penuh kini—pengorbanannya tidak juga bisa memenangkan hati sang putri.
Salahkah aku? Wanita itu mendesah berat.
*
Bagi Raina, Bapak adalah sosok kabur yang sama tidak dikenalnya. Kenangan satu-satunya tentang pria itu hanya sebuah foto saat dirinya masih lima tahun, mungkin, berdiri di taman, Bapak merangkulnya. Dia terlihat ceria. Bapaknya juga tersenyum lebar. Kalau dilihat dari foto tersebut, Bapak tidak terlihat seperti lelaki kurang ajar. Sama seperti Bagas, gadis itu mengesah. Semua menyangka Bagas adalah pacar green flag.
Raina sejak kecil tak pernah benar-benar menyadari siapa orangtuanya. Bapak, dia hanya ada beberapa tahun untuknya. Sementara Mama, hanya menemuinya satu bulan sekali, dua tahun sekali. Yang ada hanya kiriman uang. Pengasuhnya adalah Kakek dan Nenek, paman dan bibi, yang mengurusnya sambil lalu tanpa pernah serius memperhatikannya.
Raina tidak pernah merasa terisi. Jiwanya selalu kosong. Dia tumbuh jadi remaja minderan, selalu murung dan tidak percaya diri, merasa dirinya tidak diterima di mana-mana. Status Mama yang seorang TKW dan janda, jujur saja, membuatnya malu. Dia selalu berkelit setiap kali ada yang menanyakan itu. Tentang bapaknya, apalagi. Dia bahkan bingung harus mengarang cerita bohong macam apa untuk menutupi bapaknya yang masih ada, tapi tak pernah melakukan tugasnya.
Hasilnya, Raina menjadi pribadi yang tertutup. Dia tak punya banyak teman, karena tidak siap harus membagi rahasia keluarganya. Dia menurut apa kata Mama, selama ini, karena memang tidak punya pilihan lain. Mama selalu mengancam tidak akan mengirim uang, akan melemparnya pada Bapak—yang Raina dengar seperti hendak menelantarkannya. Semua itu membuatnya bertanya-tanya, tuluskah Mama mengurusnya, apakah wanita itu bahkan menyayanginya layaknya ibu-ibu lain, karena dia merasa menjadi beban. Dan sebagai beban, tentu dia tidak boleh rewel.
Saat dia SMP, Mama pulang dari Hongkong dan bertemu Bapak. Saat itu, Raina mengira kedua orangtuanya akan memulai kesempatan kedua. Setitik harap muncul di hatinya. Biar bagaimanapun, dia ingin merasakan bagaimana hidup dalam sebuah keluarga utuh, di satu atap. Dia tidak peduli meski bapaknya pengangguran atau apa. Dia hanya ingin seperti teman-teman, pergi sekolah diantar Bapak atau Mama.
Akan tetapi, harapan Raina tidak pernah terwujud. Bapak dan Mama bertemu bukan untuk rujuk, melainkan meresmikan perceraian di pengadilan—mengakhiri rumah tangga yang selama ini menggantung tanpa tujuan. Raina tidak tahu harus menamai perasaannya dengan sebutan apa. Remuk, dia sudah terlalu terbiasa remuk. Hampa, setiap hari dia juga merasakannya. Raina masih ingat, saat itu, kali terakhir dia melihat Bapak, Bapak memberinya uang saku. Lima puluh ribu— sebelum pria itu benar-benar pergi dari kehidupannya.
Ketika Mama akhirnya mulai bisa berdikari, terlihat sudah melupakan masa lalunya, barulah Raina sedikit punya gairah hidup. Dia selama ini selalu menumpang, merasa tidak seperti yang lain. Kini, Mama sudah bisa membangun rumah sendiri, bahkan lebih dari yang dia bayangkan. Dia mulai tahu bagaimana rasanya hidup enak, dan ketiadaan orangtua sebagai satu hal pokok terlupakan. Tak mengapa dia mengurus hidupnya sendiri.
Meski, seiring dengan naiknya roda kehidupan mereka, Mama juga semakin erat mencengkeramnya. Raina tidak pernah punya pilihan karena semua keputusan hidupnya ada di tangan Mama. Mama memang menyerahkan uang sepenuhnya padanya, tapi di lain sisi, Mama juga terlalu banyak bertanya, seolah Raina tidak bisa dipercaya. Seolah Raina akan membawa kabur semua itu, tidak bertanggungjawab seperti Bapak. Raina menguatkan diri.
Namun, dia pikir, kali ini Mama memang sudah keterlaluan. Menyuruhnya bertahan bersama Bagas dengan dalihnya, sama dengan menjerumuskannya dalam penderitaan tiada akhir. Karena itu Raina bicara. Dia sudah muak dengan semuanya. Bagas, satu-satunya pacar yang padanya dia berani membuka diri, membeberkan semua kisah pilu hidupnya, berkhianat. Rasa sakit Raina tentu berlipat-lipat. Bagas benar-benar tak menghargai kepercayaan yang dia beri.
Gadis itu menerawang menatap langit-langit kamar. Mamanya belum menelepon lagi sampai semalam ini. Aneh, biasanya dia kesal setiap kali Mama menelepon, mengirim pesan, berkali-kali dalam sehari. Hari ini, seperti ada lubang dalam dadanya. Apakah ini rasa bersalah karena dia membuat Mama menangis tadi? Atau apakah dia baru menyadari bahwa kecerewetan Mama dan segala bentuk intimidasinya adalah wujud perhatian dan kasih sayangnya?
Raina mengembuskan napas berat. Tangannya meraih ponsel yang sejak tadi tergeletak diam, menelusuri balon percakapan dengan Mama. Dia menekan tombol panggil. Nada dering berdengung di telinganya. Namun, hanya itu. Tidak ada jawaban. Tidak ada sahutan.[]