Segala hal seolah berhenti berdenyut di sekitar Alya. Bu Siti, wajah garangnya—kedua mata mendelik di balik lensa kacamata, bibir mengkerut ke bawah, kernyitan di dahinya yang berlapis-lapis—juga Andre dan Sandra yang bersamaan menoleh kepadanya. Ruang mendadak senyap seolah udara tak lagi ada eksistensinya, menghentikan semua suara. Alya hanya bisa mendengar jantungnya yang berdentum dan darah yang menderu, berkumpul di telinga. Gadis itu pelan meraba pipi, menepuk-nepuknya. Mimpikah ini?
Namun, tidak. Dalam sedetik, segalanya kembali. Hiruk pikuk siswa di luar ruangan BK, saling tertawa, berceloteh. Sound horeg dari salah satu ponsel siswa, terdengar jelas sekali, lalu hilang perlahan seiring langkah yang menjauh. Dan suara Bu Siti, yang bahkan terasa asing bagi Alya, menegurnya.
“Duduk, Alya.” Guru BK setengah baya itu mengedikkan dagu, menunjuk bangku panjang yang menyisakan ruang kosong di samping Sandra. Andre duduk di sebelahnya. Kemudian, dua siswa yang tidak Alya kenal—pastinya kelas dua belas—duduk di seberang mereka. Setelah Alya mengenyakkan diri di kursi dengan perut bergelenyar dan keringat dingin, Bu Siti menempatkan diri di tengah-tengah mereka.
"Kamu bisa menebak kenapa Ibu memanggilmu ke sini, Alya?"
Alya membasahi bibirnya yang kering. Ludahnya membatu. Jika dilihat dari banyaknya orang yang ada di ruang tak seberapa luas ini, masalah pasti sudah merembet ke mana-mana, lebih dari yang dia kira. Ekor mata gadis itu tak sengaja melirik Andre, yang entah kenapa gesturnya begitu santai seperti mereka sedang nongkrong di D’Sunset Coffe saja.
“Ibu dengar desas-desus. Soal mid semester matematika kelas dua belas kemarin bocor.” Mata Bu Siti tak lepas dari Alya, yang mulai menggerak-gerakkan kaki gelisah. Perutnya mendadak terasa mulas. “Ada yang bilang kamu yang membocorkan soal itu, Alya.”
Bu Siti menghela napas, sarat kekecewaan. Sekali lagi dia menatap Alya, yang sudah pasti tak berani mengangkat wajahnya. “Alya, Ibu hanya akan tanya sekali. Benarkah desas-desus itu?”
Tak ada jawaban. Alya tak punya jawaban. Tak punya nyali.
“Alya mendadak jadi tuna wicara.” Bu Siti terkekeh. Alya berjengit mendengar kalimat itu. “Barangkali kamu mau dengar kronologinya, kenapa persoalan ini bisa sampai menyebar?”
Hanya detak detik jam dinding yang terdengar, juga dengung AC yang berdesir pelan. Alya semakin menunduk. Tangannya memilin-milin ujung jilbab. Genderang di dadanya tak terkendali lagi, melemaskan seluruh persendian tubuhnya.
“Kiki, coba kamu ceritakan biar Alya dengar.” Pandangan Bu Siti teralih pada siswi berjilbab lebar yang duduk di depan Sandra.
"Baik, Bu." Kiki menjawab takzim, lalu berdeham. "Jadi, dua hari sebelum ulangan mid semester Matematika, Sandra ngajakin saya ke toilet. Katanya dia pengin ngobrol. Akhirnya saya nurut, dan di situ, dia bilang kalau dia punya soal ulangan Matematika. Dia minta bantuan saya buat ngerjain soal itu buat dia contek. Dia juga bilang, itu bakal jadi rahasia antara saya sama Sandra saja.
“Saya menolak, karena menurut saya itu perbuatan curang. Saya nggak mau ngelakuin itu meski jaminannya nilai saya bakal bagus. Lagi pula saya nggak percaya itu memang soal ulangannya. Sandra bilang dia dapat dari anak Pak Mukhlas.”
Alya tak bisa menggambarkan apa yang dirasakannya. Sekujur tubuhnya seolah tak berdaya. Kegentaran di dadanya terbit di mata. Dia tak akan bisa lama menahan air matanya.
“Rupanya di toilet ada Ana.” Kiki melanjutkan penjelasan. “Dia dengar obrolan saya dan Sandra. Dan nggak tahu siapa yang mulai, persoalan ini jadi nyebar gitu aja." Gadis berkacamata tebal itu menunduk, sementara murid satunya, yang Alya tebak adalah Ana, semakin resah.
"Sandra, benar kamu dapat soal itu dari Alya?" Bu Siti menatap Sandra dengan mata berkilat-kilat.
Sandra terdiam, tapi tidak lama kemudian dia pun bersuara. "Benar, Bu, saya dapat dari Alya. Tapi bukan saya yang minta soal itu, Alya sendiri yang nawarin ke saya."
Disambar geledek pun tak akan mampu menandingi sensasi yang Alya rasakan sekarang. Gadis itu seketika mendongak, mengarahkan tatapan nanar, tajam, dengan matanya yang mulai berair, pada Sandra. Sandra hanya memutar bola mata, seolah menganggap hal ini hanya lelucon belaka.
"Kenapa Alya bisa menawarkan kamu soal ulangan? Ada apa sebenarnya?" Bu Siti tidak bisa menyembunyikan kebingungan.
Sandra menghela napas dan diam sejenak. Dia melirik Andre yang reaksinya masih tenang-tenang saja. Sedetik kemudian, dia kembali bicara. "Alya tahu kalau saya bakal ngadain pesta ulang tahun dan ngundang Juicy Luicy. Alya ngefans sama band itu, Bu, karena itu dia pengin banget saya undang ke pesta. Dia nawarin saya soal Matematika ayahnya biar dia bisa datang ke pesta saya. Saya nggak kenal Alya sebelumnya, Bu, Alya nyampein semuanya lewat Andre, karena tahu kalau saya dan Andre memang berteman dekat."
Andre, sekarang juga menoleh pada Sandra yang tak balas menatapnya. Mungkin cowok itu juga merasa dijebak. Dada Alya semakin bergemuruh. Mendengar semua omong kosong dan keculasan Sandra, entah bagaimana membangkitkan kemarahannya. Rasa takut, cemas, gentar itu berubah menjadi amarah yang siap meledak. Segala hal tentang Andre, Sandra, yang selama ini bertumpuk-tumpuk, membuatnya gelisah, terluka, seolah menyatu. Bom atom itu kini mendapat momen yang tepat untuk dimuntahkan.
Maka, dengan tangan gemetar dan geligi bergemeletukan, Alya bangkit dari kursi. Air matanya tak terbendung lagi. Dia menenangkan diri sejenak, mengusap pipinya yang basah dengan ujung jilbab. Tahu suaranya akan bergetar dan tangisnya akan meledak lebih parah, Alya tak peduli. Sudah waktunya dia bicara.
"Mereka semua bohong, Bu!”
Semua mata tertuju padanya. Bu Siti diam, mempersilakan Alya memberi penjelasan.
“Sandra yang minta saya mencuri soal ulangan! Dia dan Andre mengancam saya. Katanya mereka bisa memanipulasi nilai-nilai saya kalau saya nggak mau ngelakuin itu.”
Bu Siti menatapnya nyalang. Menunduk, Alya meneruskan ucapannya. “Andre dan teman-temannya memanfaatkan kelemahan saya, Bu. Mereka nyuruh saya kerjain semua tugas-tugas mereka, nyuruh saya kasih contekan pas ulangan, dan paling parah ini.”
Kalau saja sebuah tatapan bisa membunuh, Alya pasti sudah mati berdiri lantaran Andre dan Sandra yang menghunjamnya dengan tatapan mereka. Alya tahu, meski dia masih tidak berani mengangkat kepala. Gadis itu merasa wajahnya terbakar karena merasa bodoh dan malu setengah mati.
“Kenapa kamu mau melakukan itu, Alya?” Bu Siti menggeram.
Kali ini, Alya merasa skakmat. Dia tidak bisa berkelit lagi. Memang benar, Andre dan teman-temannya salah, tapi Alya toh menurutinya juga.
“Ka-karena saya pengin berteman dekat dengan Andre dan gengnya, Bu.”
Desah napas Bu Siti yang sarat kekesalan membuat Alya mengkerut. “Alya, Alya …” gumam guru BK itu.
Dari ekor mata, Alya melirik Andre yang sekarang menyeringai licik padanya. Senjata makan tuan. Maju mundur kena.
“Intinya benar ada kecurangan dalam ulangan matematika kemarin. Ibu tidak peduli cerita versi siapa yang benar. Yang jelas, kalian semua harus dihukum. Ibu akan beri skorsing dan panggil orangtua kalian ke sekolah.”
“Bu, ta-tapi saya nggak—”
“Kamu seharusnya lapor ke saya, Kiki. Walaupun kamu akhirnya tidak membantu Sandra, kamu sudah tahu ada kecurangan. Membiarkan kejahatan terjadi sama dengan kejahatan itu sendiri.”
Kiki menunduk sambil menggigiti bibir. Siswa berprestasi itu tidak menyangka di tahun terakhirnya akan terlibat masalah pelik semacam ini.
“Alya …” Bu Siti mengalihkan perhatian pada Alya. Gadis itu sudah berhenti menangis, menyisakan sembap di kedua mata. “Ibu kecewa sekali sama kamu, Alya. Ibu akan kasih kamu hukuman tegas, buat pelajaran.”
Alya terdiam seribu bahasa. Lima menit selanjutnya, setelah Bu Siti berceramah tentang etika dan kejujuran, mereka semua dipersilakan kembali ke kelas. Alya keluar dengan langkah kaki diseret-seret. Pikirannya jelas sudah tidak ada di sekolah. Dia membayangkan bagaimana Ayah akan membantainya. Bisikan untuk mati saja terbetik sekilas di benaknya. Hidupnya toh sudah seperti berakhir.
Langkah tergesa menyusulnya, lalu bahu Alya ditarik cepat. Gadis itu tersentak sambil mengaduh. Sandra dan Andre berdiri pongah di depannya. “Kamu bakal tahu akibatnya, Tahi Lalat!”[]