Hari-hari setelah mid semester berjalan seperti biasa. Tidak ada class meeting atau hari tenang seperti pasca ulangan kenaikan kelas. Alih-alih jeda untuk bernapas sebentar, pelajaran langsung dilanjutkan, juga remidial bagi siswa-siswi yang nilainya tidak memenuhi standar minimal. Tugas berentetan tiada habisnya.
Alya, meski tidak ada satu pun mata pelajaran yang harus mengulang, tetap harus menerima ceramah dan omelan dari Ayah. Seperti biasa, lantaran nilai matematikanya mentok di angka tujuh delapan. Itu saja sudah bagus, gerutu Alya. Separuh teman sekelasnya, termasuk Fifi, harus ikut remidial matematika. Kejutan, mungkin juga bagi para guru, Andre dan gengnya dapat nilai di atas rata-rata hampir untuk semua mata pelajaran. Tentu saja itu berkat bantuan contekan dari Alya. Gadis bertahi lalat tersebut benci sekali, sebetulnya, tapi dia sudah terikat perjanjian dengan teman-teman barunya itu.
Termasuk dengan Sandra, yang kata Andre, berhasil dapat nilai bagus dari ayah Alya. Akhirnya, tiga hari jelang ulangan, Alya bertindak nekat. Sandra dan Andre terus menghantuinya setiap saat. Alya tak punya jalan lain selain menurut dan segera menyelesaikan semua ini. Setelahnya, dia bisa bebas. Bernapas. Alya ingin kembali pada kehidupan normalnya lagi, seperti sebelum dekat dengan Andre. Alya si tahi lalat, Alya si cupu, tak disangka dia merindukan masa-masa dijuluki begitu.
Siang itu, hari Minggu, saat Ayah dan Ibu sedang pergi, Alya mengendap-endap lagi di ruang kerja Ayah. Pintu dibiarkan terbuka separuh, dia mulai membuka-buka laci, mencari laptop Ayah. Gadis itu menggigit bibir. Keringat dingin mengalir di punggung dan jantungnya berdentam-dentam seperti genderang perang. Meski tahu Ayah tidak di rumah, tetap saja, dia sadar betul perbuatannya ini salah.
Desir angin lembut yang berembus dari ventilasi ruang kerja Ayah membuatnya meremang. Bukan karena takut hantu atau apa, tapi lebih karena rasa bersalah. Alya benar-benar merasa seperti pencuri. Dia tahu, perasaan bersalah ini, mungkin akan menggelayut di hatinya sepanjang dia bernapas.
Laptop Ayah tidak ada di laci. Alya beringsut menggeledah lemari. Jantungnya menggebuk dada dalam satu sentakan keras saat matanya menangkap benda tersebut, berada di dalam ransel besar Ayah yang ritsletingnya menganga. Bergetar, tangan gadis bertahi lalat itu terulur. Beban laptop Ayah terasa berat sekali di tangannya. Beban dosa, begitu pikirnya. Dia minta maaf pada Tuhan, pada dua malaikat pengawas yang sejak kecil sudah dipercayainya.
Keringat dingin membasahi telapak tangan dan mulai bermunculan di pelipisnya. Ini kali pertama Alya membuka laptop Ayah—dadanya berdesir saat laptop tersebut berkedip dan menampilkan wallpaper. Fotonya dan Abram sewaktu masih kecil.
Kedua mata Alya memanas. Dia semakin gentar. Pertanyaan-pertanyaan mulai mengusik. Bagaimana jika Abram tahu apa yang dilakukannya? Seberapa dalamkah dia akan kecewa? Adiknya yang terkenal baik, jujur, kenapa bisa begini? Jemari gadis itu beberapa kali tergelincir saat mengarahkan kursor, menelusuri dokumen. Dia tidak boleh berlama-lama larut dalam perasaannya jika ingin tugas kriminal ini cepat selesai.
Alya tak sadar menggigit bibir semakin kuat saat menemukan folder yang dicari-carinya—Ulangan Mid. Tangan Alya semakin licin. Dua sisi batinnya berperang lagi. Tarik ulur lagi. Apa yang dicarinya sudah ada di depan mata sekarang. Apakah dia harus pergi, ketika dia sudah senekat ini? Klik. Sial. Alya mendesah. Folder itu tidak terkunci. Ayah, antara ceroboh atau memang begitu percaya diri tidak akan ada yang berniat melakukan tindakan culas seperti putrinya. Alya berharap folder tersebut terkunci agar dia punya alasan gagal menjalankan misi pada Andre dan Sandra.
Namun, semesta seperti mendukung tindak kriminalnya. Gadis itu mengembuskan napas. Baiklah. Pertama dan terakhir, Alya berjanji. Semoga Tuhan mengampuninya. Dia merogoh flashdisk dari saku celana dan menancapkannya di laptop. Lekas saja. Ada banyak file di folder tersebut, tapi dari penamaannya, Alya tahu soal mana yang harus dia curi. Ayahnya hanya mengampu kelas dua belas, dan ini kumpulan soal mid semester dari tahun ke tahun.
Klik. Copy. Beralih ke flashdisk. Klik. Paste. Klik. Alya menahan napas saat file itu ditransfer, berpindah dari kerahasiaan ke tangan licik Sandra. Tangan liciknya. Tak butuh satu menit, file tersebut sudah berpindah. Tugas Alya selesai. Antara lega dan rasa bersalah yang semakin berat di dada, dia bergegas mematikan laptop Ayah. Menaruhnya kembali di ranselnya, memastikan tidak ada perbedaan seperti semula.
Berjingkat-jingkat, gadis itu keluar dari ruang kerja Ayah, menutup pintunya sepelan mungkin, seolah takut para pengawasnya terbangun. Padahal Tuhan selalu bangun, batin Alya pedih sembari mengenyakkan diri di kursi belajarnya, bersiap menghubungi Andre.
*
Alya sedang sibuk membaca novel tebal Cantik Itu Luka yang dia pinjam dari perpustakaan, di jam istirahat, ketika Fifi dengan napas terengah meneriakkan namanya di depan pintu kelas. Alya nyaris terlonjak karena suara cempreng Fifi yang naik satu oktaf dari biasanya. Di telinga Alya, itu kedengaran seperti dua tutup panci yang ditepuk-tepukkan.
"Gawat, Ya!" Gadis itu mulai bicara setelah napasnya sudah lebih teratur.
Alya mengernyit. "Apanya yang gawat?"
"Kamu. Kamu bikin kesalahan apa sama Kak Sandra? Bu Siti nyariin kamu, suruh ke ruang BK sekarang juga!" Fifi menjelaskan.
Novel tebal yang sedang dipegang Alya terjatuh, bersamaan dengan jantungnya yang seketika mencelus. "A-aku nggak bikin salah apa-apa sama Kak Sandra. Ke-kenapa—"
"Soalnya Kak Sandra juga ada di ruang BK. Kebetulan tadi aku lewat depan ruang itu, terus Bu Siti ngelihat aku. Aku langsung disuruh manggil kamu." Belum juga Alya selesai bertanya, Fifi sudah memotong pembicaraan. "Kayaknya masalah serius, Ya. Wajah Bu Siti kayak marah banget.”
Bukan hanya jantung Alya yang sekarang berdentam-dentam tak karuan, perutnya juga terasa terjun bebas. Alya ingin muntah rasanya. Ketakutan yang selama ini dia khawatirkan akan terjadi, sepertinya akan meledak hari ini. Kenapa Sandra bisa ada di ruang BK dan Bu Siti menyuruhnya ke sana juga, selain masalah soal ulangan itu? Dia tidak pernah ada urusan dengan Sandra selain urusan itu.
Si gadis bertahi lalat tersebut menelan ludahnya yang terasa pahit. Riwayatnya akan tamat. Dia sudah bisa membayangkan bagaimana reaksi teman-teman apabila berita ini tersebar. Belum lagi, kemarahan ayahnya yang harus dia hadapi nanti. Tamat, Ya, tamat! Gadis itu gemetaran.
"Ya, kalau menurutku, daripada kamu bengong kayak gini, mending segera temui Bu Siti. Sebelum dia sendiri yang nyamperin kamu ke kelas.” Fifi membawa Alya kembali pada kenyataan. Kenyataan tak terhindarkan yang harusnya bisa dia hindari sejak awal. Bagaimana bisa dia begitu percaya diri kalau semuanya akan berjalan mulus?
“Ya, kamu nggak salah apa-apa, kan? Kenapa komukmu kayak habis lihat hantu? Kalau kamu emang nggak salah dan nggak punya masalah sama Kak Sandra, kamu nggak perlu takut, Ya."
Alya menatap Fifi lekat-lekat, menahan desakan air mata yang mulai menyengat. Dia benar-benar ingin lari dari ini.
“Nggak apa-apa, Ya, hadapin.” Fifi, seperti menerima transferan kekalutan dari mata Alya, menguatkan sahabatnya itu. “Ayo, aku antar ke BK.”
Alya mengangguk pelan. Lidahnya bahkan terasa kelu untuk menjawab Fifi. Gadis itu tidak punya pilihan lain. Dengan sisa-sisa keberanian, dia melangkah gontai menuju ruang BK—ruangan yang selama dua tahun bersekolah di sini belum pernah Alya masuki selain untuk berkonsultasi soal universitas top dengan Bu Siti.
Tolong aku, ya, Tuhan. Gadis bertahi lalat tersebut mendesah pasrah.
"Masuk, Alya." Bu Siti berkata tegas saat Alya maju mundur mengetuk pintu ruang BK yang sudah setengah terbuka.
Fifi mengangguk memberi dukungan. “Ayo, nggak apa-apa. Mau aku ikut masuk?”
Alya menggeleng. “Balik aja ke kelas, Fi.”
Gadis bertubuh gempal yang jenaka tersebut tak mengatakan apa-apa lagi. Dia hanya berkecumik—fighting!—lalu beranjak kembali ke kelas dengan setengah hati. Dia tidak pernah melihat Alya begitu gundah.
Sepeninggal Fifi, Alya melangkah masuk. Tak hanya ekspresi Bu Siti yang terlihat murka, dia juga tersentak karena tak hanya Sandra, tapi Andre juga ada di sana.[]