“Karena mimpi bukan milik mereka yang tak pernah terluka, tapi milik mereka yang tetap melangkah meski terluka berkali-kali.”
Langit sore kala itu tenang. Tidak sepenuhnya cerah, tapi juga tidak muram—seperti hati Aira yang hari ini terombang-ambing antara harapan dan luka, antara lelah dan keinginan untuk terus berjalan. Sinar jingga perlahan melebur ke dalam kelam, mengingatkan bahwa setiap hari, sesulit apa pun, akan menemukan akhirnya.
Aira duduk di beranda kecil, tempat yang sejak dulu menjadi saksi bisu pergulatan batinnya. Tempat di mana ia berada dengan tangan gemetar itu dulu menulis mimpi-mimpi yang seakan terlalu jauh untuk digapai, mimpi yang ia kira hanya untuk mereka yang kuat, mereka yang sehat dan tidak mudah tumbang oleh kehidupan.
Namun, hidup mengajarkannya bahwa mimpi tidak pernah hanya bisa menjadi milik mereka yang sempurna. Mimpi adalah hak semua jiwa, bahkan bagi mereka yang rapuh, yang tubuhnya sering melemah, dan pikirannya kadang-kadang kosong tak berdaya. Mimpi datang dan pergi, terkadang bersembunyi di balik kabut penderitaan, namun selalu menunggu untuk dijemput oleh keberanian hati yang paling dalam.
Tubuhnya sering kali terasa berat, hampir menyerah, seolah energi yang tersisa hanya cukup untuk menahan diri dari terjatuh. Malam-malamnya basah oleh tangis tanpa suara, karena ia belajar bahwa tidak semua luka harus ditangisi dengan kata-kata. Beberapa luka cukup dikenang dalam keheningan, disembunyikan agar tidak semakin menggerogoti hati yang sudah rapuh.
Begitu banyak rasa sakit hingga Aira sampai pada suatu titik dimana saat dunia di matanya kini telah berubah. Warna-warna yang dulu cerah kini memudar menjadi hitam dan putih yang dingin dan hampa. Bahkan bunga-bunga, yang dulu menjadi pelipur lara dan sumber harapan, kini hanya tampak sebagai bayangan tanpa warna. Ia kehilangan kemampuan melihat keindahan dunia yang dulu mampu ia lihat. Namun, di balik semua itu, Aira masih mampu melihat satu warna yang paling kuat dan paling abadi: warna harapan yang tak pernah pudar dari dalam dirinya. Hingga ia mampu bangkit kembali.
Meski langkahnya masih tertatih, meski sering terjatuh dan ingin menyerah, Aira tetap memilih untuk berdiri dan berjalan lagi. Karena bagi Aira, perjuangan bukan tentang siapa yang sampai duluan, atau siapa yang paling cepat. Perjuangan sejati adalah tentang siapa yang masih ada, yang tetap bertahan saat dunia terasa paling berat, dan saat hampir tidak ada tenaga untuk melangkah.
Ia mulai memahami, bukan kemenangan atau kegagalan yang akan dikenang, melainkan keberanian untuk tidak menyerah pada keadaan, keberanian untuk tetap percaya bahwa Tuhan telah menulis cerita yang indah di balik semua luka dan kesedihannya.
Dengan perlahan, Aira menutup matanya. Mengangkat wajahnya ke langit sore yang mulai merona. Angin lembut menyapa pipinya, seperti pelukan kasih yang selama ini ia nanti—pelukan dari Sang Maha Pengasih yang selalu hadir, meski tak tampak.
“Ya Allah,” bisiknya lirih,
“Jika jalan ini adalah takdir untuk menggapai mimpiku, maka…
aku akan tetap melaluinya dengan segenap hati yang tersisa.
Meski harus berjalan dalam luka, dalam gelap. Tapi aku percaya Engkau selalu menyertaiku.”
Ia membuka mata, menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya perlahan. Langkahnya kembali mengayun ke depan. Tidak sempurna, tidak cepat, tapi pasti. Dengan hati yang lebih kuat dari sebelumnya, dengan kepercayaan bahwa Allah selalu menyertainya, dan dengan keyakinan bahwa setiap langkah, sekecil apa pun, adalah bagian dari perjalanan menuju takdir terindah-Nya.
Di balik luka-luka yang pernah menggores, tersimpan kekuatan yang belum pernah ia sadari. Di balik gelap yang pekat, tersembunyi fajar yang selalu menunggu untuk terbit.
Aira melangkah, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk mereka yang pernah percaya padanya, untuk mimpi-mimpi yang belum selesai, dan untuk Dia yang tak pernah meninggalkannya.
Perjalanan ini belum selesai.
Tapi ia percaya selama ia tetap berada di jalan-Nya, selama ia terus melangkah dan tak berpaling dari mimpi itu—ia tahu, cepat atau lambat, ia akan sampai.