Loading...
Logo TinLit
Read Story - Di Antara Luka dan Mimpi
MENU
About Us  

Waktu seperti melambat ketika rintik hujan mulai turun, pelan-pelan membasahi kaca jendela mobil yang sedikit buram oleh embun. Aira memejamkan mata sejenak, menikmati suara hujan yang jatuh satu-satu, seperti irama alam yang sedang berbisik dalam sunyi. Angin yang masuk dari celah jendela membawa aroma tanah basah, dan dalam diam itu, ada ketenangan yang tak bisa dijelaskan dengan kata.

 

Tanpa terasa, mobil pun berhenti. Suara mesin padam, digantikan oleh suara lembut umi dari kursi depan,

"Aira, yuk... udah sampai rumah. Eh, tapi payungnya belum diambil."

 

Aira cepat menjawab sambil tersenyum kecil,

"Ahhh Maa syaa Allah, nggak apa-apa Mi... Aira aja yang ngambil payung yaa mi, Aira sambil mau ngerasain rintik hujan sebentar saja.”

 

Tanpa menunggu jawaban dari umi, Aira langsung membuka pintu mobil dan melangkah keluar. Begitu pintu mobil dibuka, hawa luar langsung menyambutnya—dingin dan basah, tapi bukan yang menusuk. Namun hawa sejuk yang pelan-pelan menyusup ke sela kulit, seperti tangan lembut yang menenangkan kepala yang lelah. Udara hujan itu khas... aroma tanah basah bercampur dedaunan yang menggigil, menyapa hidungnya seperti kenangan lama yang diam-diam dirindukan.

 

Aira melangkah keluar. Kakinya menyentuh tanah yang sedikit licin, dan suara rintik hujan di atas genting rumah tetangga menenangkan telinganya. Dunia terasa melambat. Tidak ada suara berisik di kepalanya, tidak ada rasa gelisah yang menyesakkan, dan tidak ada detak cemas yang memburu. Yang ada hanya dia, udara dingin, dan rintikan hujan yang menenangkan hatinya.

 

Rintik hujan jatuh di wajahnya—menyentuh pipi, alis, dan ujung dagunya. Rasanya seperti disentuh oleh sesuatu yang lebih dari sekadar air. Seperti ada bisikan lembut dari langit yang terasa: "Istirahatlah dulu... kamu sudah sejauh ini."

 

Aira memejamkan mata sebentar, berdiri diam, membiarkan tetes-tetes itu membasahi jilbab dan pundaknya. Di bawah rintikan hujan yang lembut itu, Aira seolah menemukan ketenangan yang selama ini ia cari. Hujan yang turun pelan memberi ruang bagi hatinya untuk bernapas lega. Tapi ia tahu, ketenangan itu hanya bisa ia rasakan saat hujan rintik-rintik seperti ini, bukan saat hujan deras yang gemuruh—karena suara keras itu selalu membawa ingatan yang membuatnya takut.

 

Ia menengadah sedikit, membiarkan rintik-rintik itu menyentuh wajahnya. Diam-diam, Aira menikmati rasa damai yang jarang mampir di hatinya akhir-akhir ini.

 

Saat itu, dalam sunyi dan basah, Aira merasakan damai yang sudah lama tidak mampir. Rasanya seperti dipeluk dari langit.

 

Namun suara umi membuyarkan lamunannya.

“Airaaa... jangan lama-lama di bawah hujan, nanti kamu sakit! Cepat buka gerbangnya!”

 

Aira tersenyum kecil. Langkahnya kembali bergerak, tapi hatinya masih tertinggal sebentar di tempat tadi—di bawah rintik hujan yang memberi ruang untuk bernapas lebih pelan.

 

Tangan kecilnya menggenggam handle gerbang besi itu, lalu mendorongnya pelan sampai terbuka lebar. Suara gesekan gerbang menambah irama hujan yang terus menetes di sekitar.

 

Sesaat setelah membuka gerbang, Aira kembali menghela napas panjang. Rintik hujan masih membasahi tubuhnya, tapi kali ini terasa lebih hangat, seperti pelukan lembut dari rumah yang sudah lama ia rindukan. Ia memandang ke arah mobil yang terparkir dengan rapi di halaman, lalu berjalan kembali ke dalam rumah.

 

Di dalam, aroma masakan hangat sudah menyambutnya. Umi sudah menyiapkan makanan favoritnya, ikan balado. Aira segera melepas sandalnya, mengganti baju dengan pakaian hangat yang nyaman, dan duduk di meja makan dengan senyum tipis yang mulai terbentuk.

 

Setelah makan, Aira kembali ke kamarnya—tempat yang selalu memberinya rasa nyaman. Di kamar yang hangat itu, Aira duduk di dekat jendela. Suara rintik hujan masih terdengar samar-samar, menemani kesendiriannya. Tak lama kemudian, ponselnya bergetar dengan dering notifikasi masuk dari grup WhatsApp teman-temannya.

 

Percakapan di grup itu mengalir seperti aliran sungai kecil yang menyegarkan, membuat hatinya hangat meskipun jarak memisahkan mereka.

 

“Assalamualaikum teman-teman, sudah pada sampai rumah belum?”

“Alhamdulillah, aku sudah sampai,” balas yang lain.

“Aku juga, Alhamdulillah,” seru yang lain lagi.

 

Lalu percakapan berlanjut dengan santai dan penuh canda:

 

“Gimana nih persiapan untuk setoran hafalan besok?” tanya seorang teman.

“Eh, berarti kita besok kan ya mulai ziyadahnya?” jawab yang lain.

“Emang iya ya? Bukannya lusaa?” tanya yang lain lagi, agak bingung.

“Eh iya kah? Duh ana lupa,” balas yang lain sambil tertawa.

“Wkwk iya habibtyyy, lusaa kok, tenang kita baru gek masuk rumah,” sahut yang lain menghibur.

“Hehe iya juga yaa, ma'akumun Najahhhh 🌻🌻”

 

Aira pun ikut nimbrung dalam percakapan itu, membalas dengan emoji senyum dan ikut berbincang santai bersama mereka. Meskipun sedang berlibur di rumah, rutinitas hafalan tetap berjalan, setoran hafalan lewat zoom masih harus ia jalani tiap tiga kali seminggu sesuai jadwal.

 

Setelah selesai berbincang di WhatsApp, rasa rindu pada pondok dan teman-temannya kembali mengusik hatinya. Suasana rumah yang sunyi, hanya ditemani umi dan adik kecilnya, membuat Aira sering teringat canda tawa dan kehangatan yang dulu selalu mengisi hari-harinya di pondok.

 

Namun, rasa rindu yang tadi hangat perlahan berubah menjadi kekhawatiran yang dingin. Ia memeluk lutut di atas ranjang, menyandarkan dagu pada lengan, dan membiarkan pikirannya menepi. Ada sesuatu yang diam-diam mengendap di dadanya. Sesuatu yang tak bisa ia tolak lebih lama.

 

Semester baru akan segera dimulai. Ia tahu itu. Dan meski dari luar ia tampak tenang dan siap, ada bagian dalam dirinya yang belum benar-benar pulih.

Pikirannya mulai berisik. Suara-suara khawatir yang sempat diam kini kembali berbisik.

Kambuhannya bisa datang sewaktu-waktu. Obat-obatan yang harus diminum masih banyak.

Belajarnya belum bisa faham secepat dulu. Konsentrasinya pun masih sangat mudah buyar.

Kadang ia takut dan pertanyaan-pertanyaan itu mulai muncul, satu per satu, mengendap di benaknya:

"Apakah aku masih cukup kuat untuk melewati semuanya? Apakah aku bisa? Apakah aku mampu?”

 

Aira menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Dingin dari ubin kamar terasa menembus telapak kakinya, tapi itu tak sebanding dengan dingin yang perlahan merayap di hatinya. Ia memeluk tubuhnya sendiri, berusaha menenangkan bagian dalam dirinya yang mulai gemetar.

 

Lalu, seperti yang selalu ia lakukan saat hatinya mulai sesak, ia mengambil buku diary dari rak kecil di samping tempat tidur. Jilidnya sudah sedikit usang, tapi lembar-lembar di dalamnya menyimpan banyak sisa hari yang ingin terus ia ingat.

 

Lalu Aira membuka lembaran diarynya, pena mulai menari di atas kertas:

 

"Tentang Waktu"

Ada waktu untuk jatuh dan diam di dasar,ada waktu untuk bangkit dan bertahan,

dan mungkin, hari ini… waktuku untuk bertahan dan terus berjuang.

Tapi waktu tidak pernah memaksaku untuk sempurna.

Ia hanya memintaku untuk terus berjalan, meski perlahan, meski dengan langkah yang goyah.

Karena setiap luka, pada akhirnya akan punya waktunya sendiri untuk sembuh."

 

Tulisan itu mengalir pelan di halaman, menjadi teman setia di tengah sunyi sore yang menyelimuti kamar.

 

Setelah selesai menulis, Aira menatap tulisan tangannya lama-lama. Ada air yang mengambang di pelupuk matanya, tapi ia tahan dan tak membiarkanya menetes. Lalu ia hanya tersenyum kecil, kemudian menutup bukunya, memeluknya sebentar, dan membaringkan tubuhnya ke kasur.

 

Cahaya sore menyelinap dari celah tirai jendela, menyapa lembut wajahnya yang mulai tampak letih. Suara hujan yang tadi sempat reda, kini turun lagi perlahan-lahan—tidak deras, tapi cukup untuk menciptakan ritme yang damai. Aira memiringkan tubuhnya, menghadap ke arah jendela. Tangan kirinya masih menggenggam buku harian yang hangat oleh pelukan tadi.

 

Di kejauhan, terdengar suara anak-anak kecil tertawa dari gang sebelah, samar oleh rintik hujan. Suara yang biasa, tapi sore ini terdengar begitu asing. Ada rasa yang tak bisa ia jelaskan. Sesuatu yang menggantung di dada—bukan sedih, bukan juga bahagia. Mungkin... sejenis perenungan.

 

Sore hari ini terasa panjang, ia memandang keluar dengan tatapan kosong yang tidak benar-benar kosong. Ia tahu, sore ini bukan sore yang mudah. Tapi ada secercah ketenangan yang bisa ia genggam, walau kecil. Dan mungkin, itu cukup untuk sekarang.

 

Lalu, suara panggilan umi dari arah dapur memecah keheningan.

"Airaa... bantu umi bentar, Nak."

 

Aira bergumam pelan, "Iya, Mi..." dan bangkit pelan dari kasur. Buku hariannya ia taruh rapi di balik bantal, seolah menyimpannya seperti rahasia kecil yang hanya miliknya.

 

Langkah-langkahnya terdengar ringan saat ia berjalan melewati ruang tengah. Udara rumah terasa hangat, wangi makanan yang sedang dimasak umi perlahan memenuhi ruang—mengusir sisa dingin dari hujan yang masih turun di luar.

 

Habis membantu umi di dapur—menyiapkan lauk sederhana dan membereskan meja makan—Aira kembali ke kamarnya saat adzan maghrib berkumandang dari surau dekat rumah. Suara adzan yang lirih dan tenang itu entah kenapa menyentuh bagian terdalam hatinya. Ada rasa yang menggumpal. Bukan karena apa-apa, hanya saja... hari ini terasa begitu penuh, meski tidak banyak kejadian besar.

 

Aira mengambil mukena putihnya, yang sudah digantung sejak tadi siang. Ia duduk sebentar sebelum memakainya, memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam. “Bismillah,” gumamnya lirih.

 

Shalat maghrib berjalan tenang. Ia lebih lambat dari biasanya, membiarkan setiap gerakan terasa—setiap sujud menjadi ruang untuk melepas beban yang tak bisa selalu ia ceritakan. Setelah salam terakhir, ia terdiam agak lama. Tangannya masih bersedekap di pangkuan. Lalu pelan-pelan ia menengadahkan tangan, berdoa dalam diam. Hanya bibir yang bergerak, tapi isi hatinya penuh suara.

 

“Ya Allah… kuatkan aku untuk semester baru nanti. Aku takut, tapi aku tahu Engkau bersamaku.”

 

Usai berdoa, ia menoleh ke arah jendela. Langit malam sudah mulai menyelimuti langit sore yang tadi kelabu. Awan masih menggantung, tapi hujan sudah berhenti. Hanya sisa-sisa embun di kaca yang menjadi bukti bahwa sore tadi pernah turun hujan.

 

Aira kembali ke kamarnya. Tidak langsung rebahan. Ia mengambil buku hariannya lagi, membukanya ke halaman baru. Di sekelilingnya, lampu kamar menyala temaram, menambah suasana hening yang damai. Tangannya mulai menulis lagi, pelan-pelan, seperti merajut ulang harapan yang tadi sempat goyah:

 

“Waktu berjalan, tak menunggu siapa pun. Tapi aku percaya… setiap detik yang kulewati, tak pernah sia-sia di sisi-Mu, Ya Rabb. Jika harus melambat, maka biarlah kulambatkan langkahku sambil tetap menggenggam cahaya-Mu. Dan jika harus jatuh, biarlah aku jatuh dalam pelukan kasih-Mu.”

 

Ia berhenti sejenak, menatap kata-katanya sendiri. Kali ini, air matanya tak sanggup lagi ia tahan. Butiran itu mengalir, dibarengi senyum tipis yang perlahan muncul di wajahnya.

 

Lalu, ia mencoba menenangkan dirinya sendiri dengan suara lirih,

“Malam ini belum tentu tenang. Tapi untuk sementara waktu, aku merasa cukup. Cukup dengan doaku. Cukup dengan usahaku. Dan cukup dengan cinta kecil yang masih tersisa dalam diriku... untuk bertahan.”

 

Setelah itu, Aira mengusap air matanya. Malam kian larut—suara detak jam terdengar lebih jelas, dan kesunyian mulai menyelimuti rumah. Dengan gerakan lembut, ia merapikan bantal dan selimut di kasurnya, seolah sedang menyiapkan pelukan hangat untuk dirinya sendiri. Di sudut ruangan, lampu kecil yang temaram memancarkan cahaya redup, menciptakan bayangan lembut di dinding yang seolah ikut menenangkan suasana.

 

Ia duduk sejenak di tepi kasur, lalu kembali menatap jendela yang kini hanya memantulkan kilauan lampu jalan dari kejauhan. Pikiran-pikiran yang sempat bergejolak mulai reda, digantikan oleh rasa syukur kecil yang menghangatkan hati. Dengan napas yang pelan dan teratur, ia merasakan tubuhnya mulai rileks.

 

Aira menarik selimut menutupi tubuhnya, lalu memejamkan mata. Dalam keheningan malam, doa-doa kecil kembali terucap lirih, memohon kekuatan dan keteguhan untuk hari esok yang penuh tantangan. Hatinya percaya, bahwa tak ada kesulitan tanpa hikmah di baliknya, meskipun hikmah itu masih belum bisa ia lihat.

 

Keesokan harinya.🌻— β€‹β€‹β€‹β€‹β€‹

 

Pagi itu, Aira terbangun sebelum alarm berbunyi. Suasana rumah masih hening, dingin pagi menyelinap lewat celah jendela kecil di kamar. Perlahan, ia bangkit dan melangkah keluar kamar dan menuju tempat wudhu, setelahnya ia kembali melangkah menuju sudut rumah tempat mushola kecil yang selalu memberinya ketenangan. Suara adzan Subuh yang lembut masih terngiang di udara, seolah mengajak hatinya untuk tenang dan berserah.

 

Di setiap rakaat, Aira berusaha meresapi setiap gerakan dan doa, mencari kedamaian dan kekuatan dari Sang Pencipta. Doa-doa yang terucap bukan hanya harapan, tapi juga bentuk syukur atas kesempatan hari baru yang diberikan.

 

Usai sholat, Aira duduk sejenak, memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam, menyerap ketenangan yang mengalir ke seluruh tubuhnya. Setelah itu, Aira bergegas menyiapkan perlengkapan hafalannya. Buku catatan, Al-Qur’an kecil, dan pulpen sudah ia rapikan dengan teliti di meja belajarnya yang sederhana. Meski tubuhnya kadang lelah, semangatnya tak pernah pudar. Ia ingin membuktikan pada dirinya sendiri bahwa keterbatasan bukanlah halangan untuk terus maju.

 

Sambil menunggu waktu setoran, Aira menatap keluar jendela kamar. Matahari pagi mulai mengintip malu-malu di balik pepohonan, menerangi langit yang cerah. Suara burung berkicau seolah mengiringi harapannya untuk hari yang lebih baik.

 

Ketika waktu setoran lewat Zoom tiba, layar di depan matanya menyala, menampilkan wajah-wajah sahabat dan ustadzah yang selalu memberinya semangat. Suara mereka hadir membawa kehangatan, menghapus rasa sepi yang sering ia rasakan di rumah.

 

Meski jarak memisahkan, hati mereka tetap terikat oleh doa dan harapan yang sama. Saat waktu Aira untuk menyetor tiba, Aira menguatkan dirinya, membisikkan dalam hati, “Aku bisa. Aku harus bisa.” Dan setelah itu, ia memulai setorannya, satu ayat demi ayat, satu langkah demi langkah, hingga akhirnya ia selesai menyetorkan hafalannya.

 

Setoran hari itu tak panjang, hanya beberapa halaman yang berhasil ia sampaikan. Tapi bukan jumlah yang ia hitung. Melainkan keberaniannya untuk tetap mencoba, untuk tidak menyerah. Setelah Zoom ditutup, Aira menyandarkan punggungnya ke kursi. Ia memejamkan mata sejenak, membiarkan udara pagi masuk lewat jendela dan mengisi ruang dadanya dengan pelan.

 

Ada lelah yang bersisa, tapi juga rasa lega. Ia merasa telah melakukan bagiannya hari ini. Dan itu cukup.

 

Dari arah dapur, terdengar suara piring dan sendok yang beradu. Umi sedang menyiapkan sarapan. Aira tersenyum kecil, bangkit perlahan, dan melangkah ke luar kamar, membiarkan hangatnya pagi mengiringi langkahnya menuju aroma nasi goreng dan teh hangat—penghujung manis dari pagi yang dilalui dengan keberanian.

 

Siang hari datang perlahan, menyusup lewat tirai tipis jendela kamar Aira. Matahari tidak terlalu terik. Seperti waktu yang sedang berjalan di atas kaki-kaki ringan. Tak ada agenda muluk hari itu, hanya hari yang mengalir apa adanya. Aira menghabiskan waktunya dengan hal-hal sederhana: membantu umi membereskan dapur, mengelap meja makan, duduk di ruang tamu sambil membaca buku-buku motivasi, sesekali ia menyalin potongan kalimat yang menyentuh hatinya ke dalam buku catatannya, sembari ditemani suara tawa adiknya yang bermain di ruang depan.

 

 

Sore harinya, Aira duduk di depan rumah sambil menyeruput teh hangat. Angin sepoi-sepoi berembus lembut, menggoyangkan ujung kerudungnya. Ia menatap langit yang perlahan berubah warna, mengamati awan yang berarak pelan. Hari-hari di rumah selalu berjalan dalam ritme yang lembut, seperti lagu yang dimainkan dengan hati. Tapi tiba-tiba saja ia merasakan ada yang berbeda, entah ada hal yang ia lupakan ataukah memang ada sesuatu yang mencemaskan?. Tiba-tiba saja ada debaran yang mengintip pelan-pelan di balik ketenangan sore itu.

 

DUG!.

“Aira udah packing nak?, besok kan udah waktunya balik ke pondok”. Suara umi memecahkan keheningan sore itu.

 

“Oh iya, Mii!!” sahut Aira cepat dengan nada tersentak.

“Astaghfirullah, Aira lupa, Mii... 😭😭😭” ucapnya kali ini dengan nada pasrah.

 

Umi pun hanya memberikan senyuman manis dan ucapan yang sedikit menenangkan.

 

“Gapapa, Nak, wajar kok. Sekarang kan sudah ingat. Kamu bisa mulai packing nanti malam ya nak, sambil mempersiapkan apa yang perlu dipersiapkan sebelum kembali ke pondok. Obatnya jangan sampai lupa ya Nakk,” ucapnya dengan nada lembut.

 

Aira mengangguk dengan wajah masih linglung, “kenapa aku bisa lupa hari sepenting besok yaa?”, gumamnya dalam diam. "Ternyata waktu berjalan secepat ini yaah...". Ucapnya lagi sambil menghembuskan nafasnya.

 

Lalu Aira menutup gelas teh hangatnya perlahan, dan berdiri dari tempat duduknya. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan debar yang masih bergetar di dadanya. Malam ini, ia harus mulai membereskan barang-barangnya—sebuah rutinitas yang sekaligus membuatnya bersemangat dan sedikit gugup.

 

Di kamarnya, ia membuka tas yang selama ini selalu setia menemaninya di pondok. Satu per satu, pakaian dan perlengkapan lainnya ia tata rapi. Sambil memilah-milah barang-barangnya, pikirannya terbang jauh membayangkan wajah-wajah baru di pondok, terutama anak baru atau adik kelas yang katanya akan datang juga besok. Ada rasa penasaran dan harap yang tak bisa ia sembunyikan.

 

Setiap helai baju yang ia lipat seperti mengisi ruang kosong di hatinya, dan ia berusaha menguatkan dirinya sendiri bahwa meskipun tak mudah, ia akan kembali melangkah ke jalan itu… dan kali ini harus dengan keberanian penuh. Karena ia tahu, perjalanan ini bukan hanya tentang kembali ke tempat yang sudah dikenal, tapi juga tentang menghadapi hal baru dengan hati yang tenang dan dada yang lapang.

 

Setelah semua barang tertata rapi di dalam tas, Aira duduk di tepi ranjangnya. Tangannya menggenggam buku catatan kecil berwarna coklat tua—yang kini mulai penuh dengan tulisannya sendiri. Tapi malam ini, ia tidak ingin menulis. Ia hanya diam. Membiarkan pikirannya berkeliaran seperti debu-debu yang menari dalam cahaya temaram lampu kamar.

 

Esok adalah waktu untuk kembali. Tapi bersamanya, kembali pula rasa-rasa yang sempat ia kubur dalam-dalam.

 

Tik... tok... tik... tok... — detak jam seperti gema hati yang belum juga tenang.

 

Setiap detiknya, seperti mengingatkan: waktu terus berjalan, tak peduli siapa yang masih terjaga dalam diam.

 

Aira masih terjaga dalam diam. Cahaya lampu kamar menyorot samar ke dinding, menciptakan bayangan lembut dari kipas yang berputar perlahan di langit-langit. Di dalam hati, perasaan-perasaan yang tadi hanya mengendap, mulai naik ke permukaan.

 

Ia membatin dalam lirih, “Besok aku akan kembali. Tapi aku tak tahu, apakah aku akan kembali sebagai diriku yang masih tetap bisa berjuang… atau seseorang yang sedang belajar menjadi baru lagi?.”

 

Tangannya meremas sudut selimut dengan pelan. Detak jantungnya terasa sedikit lebih cepat, seperti menyambut sesuatu yang tak bisa ditebak. Ada rasa takut yang tidak bisa ia tolak, namun ada pula semacam cahaya hangat yang membuatnya tetap ingin melangkah.

 

“Mungkin aku akan terjatuh lagi. Tapi mungkin… aku juga akan menemukan sesuatu yang indah di tengah jatuhku.” Gumamnya berusaha menenangkan dirinya sendiri.

 

Lalu ia menoleh ke arah tasnya yang sudah tertutup rapat. Obat-obat masih di dalam sana. Buku catatan pun sudah ia selipkan. Semua tampak siap. Tapi dirinya? Entahlah. Siap atau tidak, waktu tetap akan berjalan.

 

Lalu, dengan satu hembusan napas panjang, Aira menutup matanya. Ia tak sedang menanti pagi datang secepatnya, tapi ia hanya sedang menyiapkan hatinya—untuk hari yang baru, untuk kejutan yang belum ia ketahui, dan untuk apapun yang akan Allah tuliskan esok hari.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Qodrat Merancang Tuhan Karyawala
1016      689     0     
Inspirational
"Doa kami ingin terus bahagia" *** Kasih sayang dari Ibu, Ayah, Saudara, Sahabat dan Pacar adalah sesuatu yang kita inginkan, tapi bagaimana kalau 5 orang ini tidak mendapatkan kasih sayang dari mereka berlima, ditambah hidup mereka yang harus terus berjuang mencapai mimpi. Mereka juga harus berjuang mendapatkan cinta dan kasih sayang dari orang yang mereka sayangi. Apakah Zayn akan men...
SABTU
2447      1008     10     
True Story
Anak perempuan yang tumbuh dewasa tanpa ayah dan telah melalui perjalanan hidup penuh lika - liku, depresi , putus asa. Tercatat sebagai ahli waris cucu orang kaya tetapi tidak merasakan kekayaan tersebut. Harus kerja keras sendiri untuk mewujudkan apa yang di inginkan. Menemukan jodohnya dengan cara yang bisa dibilang unik yang menjadikan dia semangat dan optimis untuk terus melanjutkan hidupn...
Dimension of desire
209      177     0     
Inspirational
Bianna tidak menyangka dirinya dapat menemukan Diamonds In White Zone, sebuah tempat mistis bin ajaib yang dapat mewujudkan imajinasi siapapun yang masuk ke dalamnya. Dengan keajaiban yang dia temukan di sana, Bianna memutuskan untuk mencari jati dirinya dan mengalami kisah paling menyenangkan dalam hidupnya
Finding My Way
626      428     2     
Inspirational
Medina benci Mama! Padahal Mama tunawicara, tapi sikapnya yang otoriter seolah mampu menghancurkan dunia. Mama juga membuat Papa pergi, menjadikan rumah tidak lagi pantas disebut tempat berpulang melainkan neraka. Belum lagi aturan-aturan konyol yang Mama terapkan, entah apa ada yang lebih buruk darinya. Benarkah demikian?
Perjalanan yang Takkan Usai
345      289     1     
Romance
Untuk pertama kalinya Laila pergi mengikuti study tour. Di momen-momen yang menyenangkan itu, Laila sempat bertemu dengan teman masa kecil sekaligus orang yang ia sukai. Perasaan campur aduk tentulah ia rasakan saat menyemai cinta di tengah study tour. Apalagi ini adalah pengalaman pertama ia jatuh cinta pada seseorang. Akankah Laila dapat menyemai cinta dengan baik sembari mencari jati diri ...
Aku yang Setenang ini Riuhnya dikepala
63      55     1     
True Story
Kertas Remuk
110      91     0     
Non Fiction
Tata bukan perempuan istimewa. Tata nya manusia biasa yang banyak salah dalam langkah dan tindakannya. Tata hanya perempuan berjiwa rapuh yang seringkali digoda oleh bencana. Dia bernama Tata, yang tidak ingin diperjelas siapa nama lengkapnya. Dia hanya ingin kehidupan yang seimbang dan selaras sebagaimana mestinya. Tata bukan tak mampu untuk melangkah lebih maju, namun alur cerita itulah yang me...
Atraksi Manusia
461      341     7     
Inspirational
Apakah semua orang mendapatkan peran yang mereka inginkan? atau apakah mereka hanya menjalani peran dengan hati yang hampa?. Kehidupan adalah panggung pertunjukan, tempat narasi yang sudah di tetapkan, menjalani nya suka dan duka. Tak akan ada yang tahu bagaimana cerita ini berlanjut, namun hal yang utama adalah jangan sampai berakhir. Perjalanan Anne menemukan jati diri nya dengan menghidupk...
BestfriEND
34      30     1     
True Story
Di tengah hedonisme kampus yang terasa asing, Iara Deanara memilih teguh pada kesederhanaannya. Berbekal mental kuat sejak sekolah. Dia tak gentar menghadapi perundungan dari teman kampusnya, Frada. Iara yakin, tanpa polesan makeup dan penampilan mewah. Dia akan menemukan orang tulus yang menerima hatinya. Keyakinannya bersemi saat bersahabat dengan Dea dan menjalin kasih dengan Emil, cowok b...
Resonantia
322      279     0     
Horror
Empat anak yang β€˜terbuang’ dalam masyarakat di sekolah ini disatukan dalam satu kamar. Keempatnya memiliki masalah mereka masing-masing yang membuat mereka tersisih dan diabaikan. Di dalam kamar itu, keempatnya saling berbagi pengalaman satu sama lain, mencoba untuk memahami makna hidup, hingga mereka menemukan apa yang mereka cari. Taka, sang anak indigo yang hidupnya hanya dipenuhi dengan ...