Loading...
Logo TinLit
Read Story - Tebing Cahaya
MENU
About Us  

Roni melambaikan tangan, meninggalkan mereka di simpang jalur. Suara kaleng paku menjauh, berubah jadi gumam jangkrik yang malas siang. Tinggal dua orang, dua irama nafas, dan satu garis setapak yang terlalu sempit untuk menampung jarak aman.

Heningnya terasa asing—bukan hening alam, tapi hening yang ditinggalkan seseorang. Kalau tadi ada suara Roni yang selalu menyisip gurau, kini udara hanya penuh dengan dedaunan dan detak langkah.

Ridhan menunduk, menekan ujung sepatunya ke tanah, lalu mencatat sesuatu di buku tipis berkulit hitam. Pensilnya bergerak cepat, huruf-hurufnya kecil, rapi, hampir keras kepala. “Kemiringan ± 18–22 derajat di segmen ini,” gumamnya, nyaris tanpa suara. Ia mengeluarkan meteran, menembak fokus kompas pada satu objek yang paling stabil di area, menarik pita besi hingga berhenti pada angka yang ia perlukan—klik kecil yang disiplin, dingin, seperti seseorang menutup pintu sebelum hujan datang.

Ahyi berdiri di sisi yang lebih tinggi, capingnya menyimpan bayangan setengah wajah. Ia melipat tangan, menunggu. “Kamu sungguh mau ukur pakai alat kota di sini?” tanyanya datar. “Aku sudah bilang: tanah ini gampang pecah kalau hujan besar. Tidak perlu angka untuk tahu.”

Ridhan tidak menoleh, hanya menarik lagi pita besinya beberapa sentimeter, kali ini sembari mengecek altimeter di jam yang sedang dikenakannya. “Orang yang akan membaca laporanku hidup di kota. Kalau tidak ada angka, cerita kita akan kalah sebelum sempat duduk.”

“Jadi aku ini apa? Firasat jalan kaki?” Suara Ahyi naik setengah tingkat, tidak meledak, tapi menusuk.

“Panduan,” kata Ridhan singkat. “Tapi tetap kubutuhkan data.”

Ahyi terkekeh pendek, nada getir. “Panduan? Seperti papan petunjuk jalan yang bisa kau tinggalkan begitu saja setelah selesai dipotret?” Ia menunduk, menusuk tanah dengan ujung bambu kecil yang dibawanya. “Kamu tahu, di desa, kalau orang hanya mengandalkan papan, mereka tersesat di musim hujan. Karena papan bisa lapuk. Tapi jejak kaki—itu yang benar-benar bertahan.”

Ridhan berhenti menulis sebentar, menatapnya dengan tatapan datar yang sulit diterjemahkan. “Jejak kaki tidak bisa dibawa ke rapat.”

“Kamu selalu bicara soal rapat, laporan, meja kota.” Ahyi menghela nafas keras, menyingkap wajahnya dari bayangan caping. “Seolah-olah tanah ini hanya ada supaya kamu bisa bicara lebih lantang di sana.”

Ada jeda. Angin lewat, membawa aroma tanah basah bercampur besi samar. Ridhan menutup buku, menepuk sampulnya pelan. “Kalau tanah ini mau bertahan, harus ada yang bicara di meja itu. Kalau tidak, dia hanya jadi cerita di warung kopi.”

Kalimat itu jatuh seperti batu kecil ke air dangkal. Riaknya mungkin tak besar, tapi cukup untuk menimbulkan gelombang dalam dada Ahyi. Ia tidak menjawab; hanya mengencangkan ikatan rafia di bahunya, lalu berkata pendek: “Kalau begitu, jalan. Jangan lama di tikungan. Tanah di bawah sini tidak suka orang ragu.”

Alur makin merapat, tanah licin seperti disapu tangan yang malas. Pohon jati berhenti; gantinya semak keras, ranting-ranting pendek yang siap menagih kulit siapa saja yang tergesa.

Ahyi mengibaskan capingnya, keringat menetes di sisi pipi. “Berhenti di sini sebentar. Lihat, tanahnya retak halus. Kalau diinjak keras, bisa pecah.”

Ridhan jongkok, membuka buku catatan, menoreh cepat. “Retakan transversal. Kemiringan kira-kira 25 derajat. Potensi geser tinggi.”

Ahyi mendecak. “Kamu menulis seolah-olah tanah ini mau baca catatanmu.”

“Tidak. Aku menulis supaya orang kota mau percaya,” jawab Ridhan, suaranya datar.

Ahyi mengangkat bahu, menoleh dengan tatapan yang menantang. “Kalau begitu, biarkan orang kota jalan sendiri ke sini. Biar tanah yang jawab mereka.”

Ridhan berdiri, menutup bukunya dengan satu ketukan. “Kalau tanah menjawab mereka, jawabannya bisa jadi kuburan.”

Keduanya diam sebentar. Hanya ada bunyi air samar di bawah sana, seolah memanggil tanpa suara.

Mereka bergerak—dua siluet menebas cahaya jati yang turun seperti sobekan-sobekan hijau. Jalur mulai menyempit; akar jati menyembul seperti rangka huruf yang belum selesai ditulis.

Ahyi melangkah duluan, tubuhnya condong sedikit ke arah bukit, jemari kadang menyentuh batang pohon sebagai pegangan. Ridhan di belakang, dua langkah jarak, tapi seolah jarak itu ikut menyimpan dinginnya.

“Jangan injak tanah yang terlalu rata,” ucap Ahyi, tanpa menoleh. “Kalau rata, artinya air baru saja lewat. Lebih licin dari yang kelihatan.”

Ridhan bergeser ke sisi lain, sepatunya menekan tanah yang lebih kusam. “Kalau kau tahu kenapa licin, berarti bisa ditulis,” katanya. “Itu tetap data.”

“Kalau kau butuh semua kuterjemahkan jadi data, lalu apa gunanya aku?” Ahyi menahan diri, tapi nadanya keras.

“Panduan,” ungkapRidhan lagi tanpa menoleh.

Ahyi menghentikan langkah, menoleh setengah, tatapannya menusuk. “Panduan bukan papan petunjuk, Ridhan. Aku bukan huruf di pinggir jalan.”

Ridhan berhenti tepat di belakangnya. “Kalau bukan huruf, kau jejak kaki. Aku tetap membacanya.”

Ahyi menahan nafas, entah karena kesal atau karena jarak mereka tinggal setengah lengan. Ia berbalik cepat, melanjutkan langkah dengan hentakan kecil—tapi tanah di bawahnya sedikit tergerus, grusak, membuat tubuhnya miring.

Refleks, Ridhan menangkap siku Ahyi, menariknya kembali ke jalur padat. Cengkeramannya keras, langsung ke tulang.

“Lepaskan,” suara Ahyi tajam, pipinya panas karena marah, bukan malu.

Ridhan menatap lurus, suaranya datar tapi keras kepala. “Kalau kulepas sekarang, tanah yang menanggungmu, bukan aku.”

Ahyi merenggut lengannya, berhasil bebas. “Kamu selalu merasa harus jadi penyelamat. Padahal kalau saja kamu mau dengar, aku tidak akan melangkah salah.”

“Dan kalau aku hanya dengar, tanpa bertindak, kau mungkin sudah hilang,” balas Ridhan.

Mereka berdiri beberapa detik, terlalu dekat, terlalu tegang. Hanya suara ranting berderak dan gesekan serangga yang berani masuk di antara mereka.

Ahyi akhirnya melangkah lagi, suaranya setengah mengejek. “Aku bisa pulang tanpa kamu, tahu.”

Ridhan mengangkat kamera ke matanya, menekan shutter sekali—klik yang terdengar lebih seperti argumen ketimbang arsip. “Kalau begitu, jangan biarkan aku menulis peta jalan pulangmu.”

Tanah memerah, lembap; ada bagian yang tampak padat, padahal kue rapuh menunggu berat.

Ridhan memilih sisi luar—dekat jatuh lembah. Langkahnya tidak cepat, tidak juga pelan. Kamera menggantung di dada seperti saksi yang menahan batuk.

“Jangan injak yang mengilap,” perintah Ahyi. “Itu licin. Ambil yang kusam, seret kaki, jangan menjejak.”

Ridhan mengubah pijakan tanpa komentar. 

Satu belokan kemudian, jalur mengecil jadi satu telapak. Kiri: semak keras yang akan memar tapi tak memaafkan. Kanan: udara yang langsung menjadi jurang. Ahyi melenggang duluan, badan condong ke arah bukit; tangan kirinya kadang menyentuh batang kecil—pegangan yang tidak diumumkan. Ridhan mengikuti, jarak dua langkah.

Angin bawah lembah membawa bau logam samar; bau tersebut seperti darah tua yang lupa tanggal kadaluarsa.

“Berhenti,” kata Ahyi mendadak.

“Kenapa?”

“Dengar.”

Ridhan menahan nafas. Bukan suara—justru ketiadaan. Burung yang biasanya menyambar rendah di sela jati, memindahkan jalur. “Danau.”

“Danau,” ulang Ahyi. “Jalan ini akan mengantarmu tanpa peringatan.”

Jalur setelahnya lebih licin. Semak rendah mengambil alih, dedaunan kecil berdesir seperti rahasia berpindah tangan. Di sisi kiri, pancang bambu lama—miring; sisa rafia pudar memutih.

“Dulu kamu lewat jalur ini?” tanya Ahyi.

“Tidak. Jalur panjang,” jawab Ridhan. “Lebih aman.”

“Kenapa sekarang pilih yang ini?”

“Karena kamu bilang ini tercepat.”

Ahyi tertawa pendek, kering. “Berarti kamu juga dengar aku.”

“Aku dengar arah. Bukan kalimat.”

“Kalimat juga arah,” sahut Ahyi.

Ridhan berhenti dua detik, menulis: Segmen-3: jejak longsor lama; akar permukaan rapat (stabil); merisik = tanda berat berlebih. Ia menulis merisik: kata yang bukan teknis, tapi akurat.

“Pinjam bukumu,” kata Ahyi. Ia menulis pada halaman kosong dengan pensil tumpul: Jika daun merisik, bukan berarti minta dilihat. Bisa jadi minta dibiarkan. Ia mengembalikan. “Biar orang kotamu mengenal bahasa yang tidak lulus laboratorium.”

“Kalimat bagus,” ujar Ridhan.

“Kalimat bagus tidak cukup. Di sini orang bertahan dari simpul yang benar dan pijak yang tidak sombong.”

Turunan licin. Ahyi mengulurkan seutas rafia. “Pegang ini. Bukan untukmu. Untuk jalur.”

“Aku tidak butuh tali.”

“Jalurmu yang butuh. Rafia bukan untuk menahan jatuh, tapi untuk berkata ‘hei, pelan’.”

Ridhan mengaitkan ke pergelangan, bukan mengepal. Satu kali tumitnya menyentuh permukaan mengilap: cip samar.

“Stop,” Ahyi menahan. “Langkah berikutnya geser, bukan jejak.”

Ridhan menurut. Rafia mengetat di kulit, kendor lagi. Cara ia memegang kamera berubah sehelai—bukan lebih kuat, lebih sadar.

Danau bekas tambang tak jadi kejutan; ia mendahului dengan selipan toska di sela daun. Lalu, pada satu belokan, ruang lain mundur agar danau menjadi satu-satunya kalimat. Airnya padat-datar, memantulkan langit tanpa kompromi: cermin yang membuat orang ragu pada wajah sendiri.

Bau logam halus—Fe, Mn—menggantung di udara. Bibir tanah tergerus, garisnya seperti meja diampelas terlalu tipis. Papan larangan yang mereka lewati tadi tinggal huruf ompong, “D__ARANG __NANG”, ompong dimakan hujan. Tapi di jalur berikutnya papan lain masih berdiri—lengkap, meski miring. Huruf-huruf DILARANG BERENANG separuh ditutupi lumut, seolah kata-kata itu pun belajar sabar menghadapi tanah yang berubah.

Ahyi berhenti empat meter dari bibir. Tangan refleks menahan lengan Ridhan yang satu jengkal terlalu dekat. “Jangan di situ. Tanahnya terpotong dari bawah. Sekali ambles, kau tidak punya pijakan balik.”

Ridhan menatap tangan di lengannya. Ahyi cepat sadar, melepas seperti anak yang menyentuh kompor. Tapi Ridhan tidak mundur. “Aku tahu risikonya. Aku perlu foto formasi di bawah overhang. Data penting.”

“Kenapa semua harus jadi data? Laporan? Angka?” suara Ahyi meninggi, tetap jernih. “Kamu pikir kunang-kunang peduli angka?”

“Kalau hanya cerita, orang kota akan bilang mitos,” Ridhan menurunkan kamera, menatap. “Kalau kubawa data, mereka dengar. Kalau kau mau sesuatu bertahan, jangan cuma cerita. Bawa bukti.”

“Kalau begitu,” Ahyi menegak, “buktikan dulu kamu bisa hormat pada yang tidak bisa dihitung.”

Angin masuk di antara kalimat, menegakkan bulu halus di lengan. Air setenang kaca. Jauh di bawah: plop—buih kecil pecah, seperti seseorang menghela nafas setelah menahan ingatan.

Ridhan maju setengah jengkal—cukup untuk memangkas ruang. “Kalau aku tidak hormat,” suaranya pelan, “aku tidak akan biarkan kau di sini bersamaku.”

Mata mereka bertemu. Terlalu dekat untuk dihindari. Ahyi memalingkan wajah, menggeser langkah—tanah kiri lapuk. Cisak. Tubuh condong. Refleks kebanggaan menolak bantuan; tidak cukup.

Ridhan menariknya—tegas, dekat. Kamera menekan tulang rusuk; rafia menggores kulit tipis di pergelangan.

“Lepaskan!” suara Ahyi pecah, separuh marah, separuh bingung.  

Ahyi merasakan denyut di pergelangannya—bukan hanya dari cengkeraman Ridhan, tapi juga dari darahnya sendiri yang berdegup terlalu cepat. Wajahnya panas, matanya berair bukan karena takut, tapi karena marah yang tak tahu harus dilempar ke mana.

Ridhan menahan genggamannya, nada rendah tapi menekan. “Kalau kulepas, kau hilang ke bawah.”

Tali rafia di pergelangan Ahyi bergesek, meninggalkan garis merah tipis. Kamera di dada Ridhan menekan tulang rusuknya—keras, menyakitkan—membuat jarak di antara mereka hilang sama sekali.

Nafas keduanya bertemu, kasar, pendek; seolah udara pun enggan memberi ruang. Ahyi berusaha menarik diri, tetapi genggaman Ridhan menahannya di ambang batas: setengah aman, setengah terperangkap.

Di antara mereka, seolah tanah, jurang, dan udara bersekongkol untuk memperlihatkan betapa rapuhnya pijakan manusia. Ahyi percaya pada bahasa tanah: retakan kecil, bunyi geser, aroma besi samar. Ridhan percaya pada angka, pada data yang bisa dicetak dan diperdebatkan di meja rapat. Namun detik ini tubuh mereka lebih jujur dari kata-kata: satu menolak jatuh, satu menolak melepas. Dua cara bertahan hidup bertabrakan—dan tidak ada teori yang bisa jadi penengah.

Mereka sama-sama tidak memberi ruang untuk koin maaf yang ringan. Nafas disetel pendek agar kalimat tak keburu jadi luka.

“Kalau begitu, laporkan saja tanpa aku.” Ahyi berbalik dua langkah; bahu kaku seperti papan. “Aku tidak diminta menemanimu. Aku ikut karena kupikir kau butuh tahu jalan. Salah besar.”

Ridhan menahan yang panjang—penjelasan, klarifikasi, bahkan maaf—dan memilih yang pendek, karena yang panjang terdengar kalah. “Kalau kau tidak ikut, aku tetap jalan. Tapi lebih lama sampai pulang.”

“Kamu keras kepala.”

“Dan kamu cepat marah.”

“Lebih baik cepat marah daripada lambat mengerti.” Ahyi menoleh seperempat—ujung tatapnya tajam. “Kamu datang bawa tripod dan angka, seolah tanah rapi kalau diberi tabel.”

“Tanah tidak rapi,” sahut Ridhan. “Itu sebabnya orang jatuh.”

“Orang jatuh karena sombong pada jarak,” balas Ahyi, melangkah setapak mendekat. “Kamu dengar tanah sebagai hambatan. Aku dengar sebagai peringatan.”

“Dan peringatan yang tidak dicatat akan hilang di rapat,” kata Ridhan. “Aku tidak mau kalah di meja karena kita menang di jalan.”

“Kalau begitu menangkan meja sendirian.” Ahyi menyelipkan rambutnya kasar—gerak yang sengaja tidak manis. “Aku tidak butuh jadi catatan kaki di laporanmu.”

“Tapi kau tetap di sini,” potong Ridhan. “Dan kau tadi tetap menahan lenganku saat aku terlalu dekat.”

“Karena kalau kamu lenyap, desa dapat masalah,” tajam Ahyi. “Bukan karena kamu.”

Sunyi jatuh—sunyi tegang, bukan kosong. Air di bawah seperti menunggu siapa yang pertama menukar marah dengan ceroboh.

Ridhan memalingkan wajah ke bibir tebing, mengukur ulang jarak tanpa bergerak. “Kita pulang lewat semak,” katanya rata. “Jembatan kayu. Bukan lewat lidah.”

“Setuju,” kata Ahyi. “Mulai sekarang jarak setengah meter. Untuk tanah. Bukan untuk kita.”

Ridhan menatap lurus. “Setengah meter cukup untuk hidup.”

“Dan terlalu dekat untuk bohong.”

Mereka berbalik. Jalur alternatif memaksa bahu bersisian di ruang pelit. Udara di bawah daun lebih rapat; ronce-ronce serangga menggigit ujung kalimat. Pada turunan, Ahyi nyaris terpeleset lagi—kali ini ia menahan pada dahan rendah. Ridhan tidak menyentuh; tangannya sempat terangkat setengah, lalu turun—mematuhi aturan baru seperti denda.

“Belajar cepat,” gumam Ahyi—pujian yang dibungkus denting.

“Aku selalu cepat kalau taruhannya orang lain,” jawab Ridhan.

“Kalau taruhannya kamu?”

“Aku lambat. Itu sebabnya aku masih ada.”

— Etik vs ego —

Mereka tiba di batang tumbang—jembatan licin yang memanjang di atas parit dangkal. Ahyi turun dulu, mengetes dengan ujung telapak. “Geser, jangan jejak,” ucapnya tanpa menoleh.

Ridhan mengikuti.Di tengah batang, jembatan bergetar halus. Dua tangan terangkat refleks; dua tangan kembali turun, seolah ada etika kecil yang menahan ego di udara.

Begitu mencapai tanah padat, Ahyi berhenti. “Dengar.”

Dari jauh: tung—sekali. Kentongan. Ingat.

Ridhan mengulang pelan, hampir tanpa suara. “Ingat.”

“Ingat apa?” tantang Ahyi.

“Bahwa marah tidak boleh lebih berat dari tubuh,” ujar Ridhan. “Kalau tidak, tanah yang memilih kita.”

Ucapan itu menahan Ahyi sedetik. “Dan ingat,” balasnya, “kalau kau tarik aku tanpa izin lagi, aku marah sungguhan. Marah yang tidak bisa ditulis angka.”

“Kalau kau melangkah salah lagi,” jawab Ridhan, sama pelan, “aku tetap tarik. Marahmu urusanku setelahnya.”

Sesuatunya menyala tipis—bukan manis, bukan romantis—keberanian yang tahu diri akan dihukum. Ahyi menghela nafas, memutar caping, melangkah lagi. “Bagus. Kita sepakat untuk tidak sepakat.”

“Sepakat.”

Langkah mereka menemukan tempo—bukan karena cocok, melainkan karena jalur memaksa. Ranting menggores lengan; tidak ada yang mengeluh. Di simpang kecil, Ahyi menandai pancang tua dengan simpul baru—cepat, yakin. Ridhan memotret sekali. Klik tunggal, seperti stempel.

“Jangan jadikan tali ini gambar cantik,” kata Ahyi, masih menatap simpul.

“Ini untuk ‘sebelum’, supaya ‘sesudah’ punya lawan,” sahut Ridhan.

“Dan untuk memastikan kalau nanti ada yang memindah, kita tahu siapa yang bohong,” tambah Ahyi.

“Tidak semua kebohongan pakai tangan,” balas Ridhan. “Beberapa pakai agenda.”

“Makanya jangan datang dengan brosur,” Ahyi menusuk.

“Aku datang dengan angka,” tepis Ridhan.

“Angka juga bisa jadi brosur, kalau dipilih hanya yang manis.”

Ridhan menutup buku catatannya, mengetuk sampul dua kali—kebiasaan yang enggan diakui sebagai jimat. “Aku tidak pilih manis. Aku pilih cukup.”

“Cukup untuk rapat,” ujar Ahyi. “Belum tentu cukup untuk ibu-ibu.”

“Makanya ada kamu.”

“Dan kamu tidak perlu melembutkan nadamu untuk bilang begitu,” potong Ahyi, cepat. “Aku tidak sedang menagih terima kasih.”

“Kamu menagih hormat.”

“Bukan. Menagih jarak. Supaya kamu pulang.”

Mereka berjalan lagi. Bau dapur masuk paru: nasi yang mengembang, minyak yang sekali pakai. Dunia kembali besar. Marah mengecil—bukan padam—disimpan seperti pisau lipat: masih tajam, tidak mengancam.

Dua langkah sebelum pagar bambu vila, Ridhan berhenti. “Ahyi.”

“Ya?”

“Jarak setengah meter,” katanya. “Besok juga.”

“Besok aku tidak janji ikut,” Ahyi menatap lurus. “Aku tidak ingin jadi catatan kaki.”

Ridhan tidak bergeser. “Kau bukan catatan kaki.”

“Buatmu?”

“Buat rapat.”

Ahyi mendengus—pendek, sinis. “Persis masalahnya.” Ia melangkah melewatinya, bahunya hampir menyentuh tapi tidak jadi. “Kalau kamu butuh jalan tercepat, kau sudah tahu. Kalau kamu butuh orang, belajar menoleh.”

“Menoleh membuat orang jatuh,” ujar Ridhan.

“Tidak menoleh membuat orang sendirian,” balas Ahyi.

Pagar bambu menyambut dengan bunyi kecil—krek—seolah mengerti orang membawa sesuatu pulang yang tidak bisa ditaruh di meja. Di serambi, kursi tua menerima debu di sol sepatu mereka seperti akuntan yang telaten: siapa pergi, siapa kembali, siapa menyimpan angka, siapa memendam amarah.

Ahyi tidak masuk. Ia menahan diri di ambang, membetulkan caping. “Mulai sekarang, kalau kamu mau ke tebing, bilang. Biar aku hitung jalur. Aku tidak janji menemani.”

“Kalau aku tidak bilang?”

“Kentongan tidak selalu bunyi,” ucapnya, tajam. “Tapi orang di sini tahu kapan harus mencari.” Ia menatapnya, satu detik—panjang—cukup untuk menaruh pisau di meja tanpa menyarungkannya. “Dan aku tahu caramu berjalan.”

“Bagaimana caraku berjalan?”

“Seperti angka.” Ahyi menyamping. “Lurus. Benar. Dan sendirian.”

Ia pergi, menuruni anak tangga. Langkahnya ringan, tapi bahunya keras. Ridhan menatap punggung itu hingga hilang di balik bayang kebun—bukan untuk memanggil, hanya untuk memastikan jarak setengah meter tetap terjaga bahkan ketika orangnya sudah tidak ada.

Di kejauhan, danau menutup diri seperti mulut rapat. Di dalam, udara menutup luka kecil di pergelangan—jejak cengkeraman yang akan hilang besok; kecuali di ingatan. Kentongan tidak berbunyi lagi sore itu. Bukan karena desa berhenti, hanya karena desa setuju: hening adalah alat.

Malam nanti, entah kunang-kunang singgah atau tidak, satu hal sudah diputuskan: tidak ada rekonsiliasi di ambang pintu. Yang ada—angka disusun, jalur diingat, marah dilipat rapi agar besok punya tempat untuk berkembang. Di bawah semua itu, sesuatu yang lebih sunyi dari mitos bergerak pelan: ketegangan yang menolak padam karena belum diberi jawaban.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • dwyne

    Roni sama Ahyi chemistrynya dapet banget berduaaa... Gaya bahasanya sukaa... puitis, tapi enggak yang terlalu mendayu-dayu. Ibaratnya dessert manisnya pas. Hehehehe...

    Comment on chapter Chapter 1 Jejak Langkah di Desa Tanpo Arang
Similar Tags
Memorabillia: Setsu Naku Naru
7439      1998     5     
Romance
Seorang laki-laki yang kehilangan dirinya sendiri dan seorang perempuan yang tengah berjuang melawan depresi, mereka menapaki kembali kenangan di masa lalu yang penuh penyesalan untuk menyembuhkan diri masing-masing.
Oh, My Psychopaths CEO!
1235      818     2     
Romance
Maukah kau bersama seorang pembunuh gila sepertiku?
Kesempatan
21123      3485     5     
Romance
Bagi Emilia, Alvaro adalah segalanya. Kekasih yang sangat memahaminya, yang ingin ia buat bahagia. Bagi Alvaro, Emilia adalah pasangan terbaiknya. Cewek itu hangat dan tak pernah menghakiminya. Lantas, bagaimana jika kehadiran orang baru dan berbagai peristiwa merenggangkan hubungan mereka? Masih adakah kesempatan bagi keduanya untuk tetap bersama?
Karena Aku Bukan Langit dan Matahari
681      482     1     
Short Story
Aku bukan langit, matahari, dan unsur alam lainnya yang selalu kuat menjalani tugas Tuhan. Tapi aku akan sekuat Ayahku.
Love Invitation
588      415     4     
Short Story
Santi and Reza met the first time at the course. By the time, Reza fall in love with Santi, but Santi never know it. Suddenly, she was invited by Reza on his birthday party. What will Reza do there? And what will happen to Santi?
Matahari untuk Kita
2932      997     9     
Inspirational
Sebagai seorang anak pertama di keluarga sederhana, hidup dalam lingkungan masyarakat dengan standar kuno, bagi Hadi Ardian bekerja lebih utama daripada sekolah. Selama 17 tahun dia hidup, mimpinya hanya untuk orangtua dan adik-adiknya. Hadi selalu menjalani hidupnya yang keras itu tanpa keluhan, memendamnya seorang diri. Kisah ini juga menceritakan tentang sahabatnya yang bernama Jelita. Gadis c...
14 Days
1026      712     1     
Romance
disaat Han Ni sudah menemukan tempat yang tepat untuk mengakhiri hidupnya setelah sekian kali gagal dalam percobaan bunuh dirinya, seorang pemuda bernama Kim Ji Woon datang merusak mood-nya untuk mati. sejak saat pertemuannya dengan Ji Woon hidup Han Ni berubah secara perlahan. cara pandangannya tentang arti kehidupan juga berubah. Tak ada lagi Han Han Ni yang selalu tertindas oleh kejamnya d...
Gadis Kecil Air Tawar
515      371     0     
Short Story
Mulailah berbuat baik terhadap hal-hal di sekelilingmu.
Mengejarmu lewat mimpi
2249      906     2     
Fantasy
Saat aku jatuh cinta padamu di mimpiku. Ya,hanya di mimpiku.
The Second Lady?
483      355     6     
Short Story
Tentang seorang gadis bernama Melani yang sangat bingung memilih mempertahankan persahabatannya dengan Jillian, ataukah mempertahankan hubungan terlarangnya dengan Lucas, tunangan Jillian?